Kejahatan
Internasional ditijau Dari segi kejahatan perang
A. Ruang
Lingkup Pembahasan Hukum Pidana Internasional Hukum pidana internasional
adalah sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang
kejahatan internasional yang dilakukan oleh subyek-subyek hukumnya untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Berdasarkan definisi ini dapatlah disimpulkan
adanya 4 unsur yang secara terpadu atau saling kait antara satu dengan lainnya,
yaitu:
1. Hukum
pidana internasional itu merupakan sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas
hukum,
2. Hal
atau obyek yang diaturnya yaitu kejahatan atau tindak pidana internasional,
3.
Subyek-subyek hukumnya yaitu pelaku-pelaku yang melakukan kejahatan atau tindak
pidana internasional,
4.
Adanya suatu tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan oleh hukum pidana
internasional itu sendiri.
Istilah
hukum pidana internasional sudah menunjukkan adanya sekumpulan kaidah-kaidah
dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional.
Istilah ini menunjukkan bahwa kaidah-kaidah dan asas-asas hukum tersebut
benar-benar internasional, jadi bukan nasional ataupun domestik. Kaidah-kaidah
dan asas-asas hukum pidana yang benar-benar internasional adalah kaidah-kaidah
dan asas-asas hukum yang dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian-perjanjian
internasional yang substansinya (baik langsung ataupun tidak langsung) mengatur
tentang kejahatan internasional. Sebagai contohnya, Konvensi tentang Genosida
(Genocide Convention) 1948, Konvensi tentang Apartheid 1973, konvensi-konvensi
tentang terorisme, seperti Konvensi Eropa tentang Pemberantasan Terorisme 1977,
dan lain-lain.
Sedangkan istilah kejahatan internasional menunjukkan adanya suatu peristiwa kejahatan yang sifatnya internasional, atau yang lintas batas Negara, atau yang menyangkut kepentingan dari dua atau lebih Negara. Kejahatan-kejahatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan internasional adalah kejahatan-kejahatan yang diatur di dalam konvensi-konvensi seperti genosida, apartheid, terorisme, dan lain-lain. Lingkup pembahasan hukum pidana internasional meliputi empat objek studi sebagai berikut:
Sedangkan istilah kejahatan internasional menunjukkan adanya suatu peristiwa kejahatan yang sifatnya internasional, atau yang lintas batas Negara, atau yang menyangkut kepentingan dari dua atau lebih Negara. Kejahatan-kejahatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan internasional adalah kejahatan-kejahatan yang diatur di dalam konvensi-konvensi seperti genosida, apartheid, terorisme, dan lain-lain. Lingkup pembahasan hukum pidana internasional meliputi empat objek studi sebagai berikut:
1.
Tindak pidana internasional sejarah perkembangan, konsepsi, dan
konvensi-konvensi internasional yang berkaitan erat dengan tindak pidana
internasional.
2.
Masalah yurisdiksi kriminil atas tindak pidana internasional.
3.
Prosedur penegakan hukum pidana internasional termasuk masalah perkembangan
kerjasama bilateral dan multilateral di dalam mencegah dan memberantas tindak
pidana internasional.
4.
Instrumen penegakan hukum pidana internasional perkembangan masalah pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional.
Ada
beberapa kasus kejahatan internasional yang jika dilihat dari segi tempat
terjadinya adalah di dalam wilayah suatu Negara, semua pelakunya maupun
korbannya adalah warga Negara dari Negara yang bersangkutan. Demikian juga
korban berupa harta benda seluruhnya milik dari Negara atau warga Negara
tersebut, jadi secara fisik dan kasat mata sama sekali tidak ada dimensi
internasionalnya. Akan tetapi karena peristiwanya sedemikian rupa sifatnya,
misalnya para korban yang jumlahnya demikian banyaknya dan adalah orang-orang
yang tidak berdosa dan tidak tahu menahu masalahnya, serta sama sekali tidak
ada hubungannya dengan motif, maksud, maupun tujuan dari si pelakunya,
masyarakat internasional baik Negara-negara maupun orang perorangan dari
pelbagai Negara tanpa memandang perbedaan-perbedaan agama atau kepercayaan,
etnis, paham politik, bahasa, dan perbedaan-perbedaan lainnya, secara spontan
memberikan reaksi keras atas peristiwa tersebut, dengan mengecam dan
mengutuknya sebagai tindakan biadab, tidak berperikemanusiaan.
Pada
hakikatnta semua itu menunjukkan bahwa masyarakat internasional tidak dapat
membenarkan perbuatan seperti itu, apapun motif, maksud, ataupun tujuannya,
sebab bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan
universal, kesadaran hukum, dan rasa keadilan umat manusia.
Sebagai contoh adalah peristiwa perang saudara di ex-Yugoslavia yang telah menimbulkan korban-korban manusia tak berdosa di luar batas-batas perikemanusiaan yang terjadi selama masa akhir dasawarsa delapan puluhan dan awal Sembilan puluhan. Demikian juga peristiwa yang hampir sama terjadi di Rwanda pada kurun waktu awal dasawarsa akhir enam puluhan dan awal sampai akhir tujuh puluhan, peristiwa yang sama terjadi di Kamboja dalam suatu perang saudara antara faksi-faksi yang berpengaruh di Kamboja. Kejahatan-kejahatan semacam ini, antara lain kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan terhadap hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights), dan kejahatan perang (war crimes).
Sebagai contoh adalah peristiwa perang saudara di ex-Yugoslavia yang telah menimbulkan korban-korban manusia tak berdosa di luar batas-batas perikemanusiaan yang terjadi selama masa akhir dasawarsa delapan puluhan dan awal Sembilan puluhan. Demikian juga peristiwa yang hampir sama terjadi di Rwanda pada kurun waktu awal dasawarsa akhir enam puluhan dan awal sampai akhir tujuh puluhan, peristiwa yang sama terjadi di Kamboja dalam suatu perang saudara antara faksi-faksi yang berpengaruh di Kamboja. Kejahatan-kejahatan semacam ini, antara lain kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan terhadap hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights), dan kejahatan perang (war crimes).
B.
Beberapa Kejahatan Internasional ditinjau dari Segi Kejahatan Perang
•
Masalah Kamboja
Invasi
(serbuan) Vietnam ke Kamboja pada tahun 1978 segera menarik perhatian dunia.
Negara-negara barat yang dipelopori oleh Amerika Serikat mengutuk invasi
Vietnam tersebut, sedangkan Negara-negara Blok Timur yang dipelopori oleh Uni
Soviet mendukung sikap Vietnam itu.
Sikap Vietnam juga dikecam keras oleh Negara-negara ASEAN. Para Menlu ASEAN mengeluarkan suatu komunike bersama tanggal 7 Januari 1979 di Jakarta. Dalam komunike itu dinyatakan bahwa ASEAN mengutuk invasi bersenjata Vietnam ke Kamboja, serta menegaskan hak-hak rakyat Kamboja untuk menentukan masa depannya yang terbebas dari campur tangan pihak luar dan menyerukan penarikan pasukan asing dari Kamboja.
Pernyataan ASEAN itu ditolak oleh Vietnam. Penolakan itu mengakibatkan munculnya sikap pro dan kontra , yang diikuti oleh pernyataan-pernhyataan perang yang muncul hampir di seluruh wilayah Kamboja. Suara ASEAN yang diwakili oelh Perdana Menteri Singapura Siunathamby Rajaratnam menyatakan bahwa ASEAN sebagai organisasi regional yang anti terhadap komunis, tetapi bukan bertujuan menghancurkan Vietnam. ASEAN hanya menginginkan agar Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja, tanpa syrat apa pun. Selanjutnya, ASEAN bersedia menerima segala keputusan rakyat Kamboja, apakah mereka memilih Heng Samrin yang berkuasa atas dukungan Vietnam atau memilih Pol Pot yang didukung rezim Khmer.
Sikap Vietnam juga dikecam keras oleh Negara-negara ASEAN. Para Menlu ASEAN mengeluarkan suatu komunike bersama tanggal 7 Januari 1979 di Jakarta. Dalam komunike itu dinyatakan bahwa ASEAN mengutuk invasi bersenjata Vietnam ke Kamboja, serta menegaskan hak-hak rakyat Kamboja untuk menentukan masa depannya yang terbebas dari campur tangan pihak luar dan menyerukan penarikan pasukan asing dari Kamboja.
Pernyataan ASEAN itu ditolak oleh Vietnam. Penolakan itu mengakibatkan munculnya sikap pro dan kontra , yang diikuti oleh pernyataan-pernhyataan perang yang muncul hampir di seluruh wilayah Kamboja. Suara ASEAN yang diwakili oelh Perdana Menteri Singapura Siunathamby Rajaratnam menyatakan bahwa ASEAN sebagai organisasi regional yang anti terhadap komunis, tetapi bukan bertujuan menghancurkan Vietnam. ASEAN hanya menginginkan agar Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja, tanpa syrat apa pun. Selanjutnya, ASEAN bersedia menerima segala keputusan rakyat Kamboja, apakah mereka memilih Heng Samrin yang berkuasa atas dukungan Vietnam atau memilih Pol Pot yang didukung rezim Khmer.
Masalah
Kamboja kemudian menjadi kompleks akibat campur tangan pihak-pihak tertentu,
seperti RRC dan Amerika Serikat. Untuk memecahkan masalah Kamboja, pada bulan
Juli 1988 di Istana Bogor (Indonesia), berkumpul berbagai pihak yang terlibat
dan berkepentingan dalam penyelesaian masalah Kamboja. Prakarsa itu dikenal
dengan Jakarta Informal Meeting (JIM). Pada bulan Februari 1989, pertemuan itu
dilanjutkan dengan mengadakan JIM II. Pertemuan itu berhasil menemukan dua
masalah yang dianggap penting dalam penyelesaian masalah Kamboja, yaitu:
1.
Penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja akan dilaksanakan dalam kaitannya dengan
penyelesaian politik menyeluruh. Vietnam mulai memberikan janji dan bersedia menarik
pasukannya dari Kamboja.
2.
Muncul upaya untuk mencegah kembalinya rezim Pol Pot, yang semasa berkuasa di
Kamboja telah melakukan pembantaian keji terhadap sekitar sejuta rakyat.
Upaya
menyelesaikan konflik Kamboja mulai memasuki tingkat internasional, yaitu
dengan mengambil tempat di Paris. Dalam konferensi ini hadir wakil dari 20
negara, termasuk ASEAN dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Konferensi
ini disebut dengan ICK (Internasional Conference on Kampuchea atau Konferensi
Internasional mengenai Kamboja). KOnferensi berlangsung tanggal 30-31 Juli
1989. ICK diharapkan mampu membentuk sebuah badan yang mengawasi penarikan
mundur pasukan Vietnam dari Kamboja dan melakukan perjanjijan perdamaian.
Perjalanan
panjang upaya penyelesaian masalah Kamboja akhirnya menemui titik harapan perdamaian.
Pada tahun 1991, pasukan perdamaian PBB memprakarsai gencatan senjata
pihak-pihak yang bertikai. Pada tahun itu juga Pangeran Norodom Sihanouk
diangkat sebagai kepala Negara. Pada tahun itu juga diadakan pemilihan umum.
Dalam pimilihan umum itu, Norodom Ranariddh dan Hun Sen terpilih sebagai
perdana menteri.
•
Perpecahan Negara Yugoslavia
Ketika
Yugoslavia dibentuk sebagai Negara sosialis oleh Joseph Broz Tito, terdapat
unsure-unsur yang berbeda dalam kehidupan setiap masyarakatnya. Yugoslavia
terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan, sehingga ketika system dan
rezim komunis dihapuskan muncul golongan-golongan yang saling bertentangan.
Dalam Negara federasi Yugoslavia tersebut terdapat enam kelompok etnis, yaitu
etnis Serbia, Kroasia, Slovenia, Montenegro, Macedonia, dan Bosnia.
Konflik
yang terjadi dewasa ini sebenranya merupakan kelanjutan dari konflik yang sudah
pernah terjadi pada Perang Dunia II, ketika etnis Serbia pernah membantu Rusia
melawan Jerman yang dibantu oleh etnis Kroasia. Selain faktor tersebut, faktor
lain yang turut memperkeruh konflik adalah perbedaan agama dan budaya. Perang
saudara di Yugoslavia tidak dapat dihindarkan lagi. Kroasia dan Slovenia
memproklamasikan kemerdekaan mereka pada tanggal 25 Juni 1991. Slovenia dan Kroasia
masih tetap mau menerima status Konfederasi Yugoslavia yang longgar. Akan
tetapi, Serbia menolak pandangan tersebut.
Milosevic memberikan pernyataan agar bentuk konfederasi tidak dilaksanakan di Yugoslavia, karena bentuk konfederasi akan membubarkan Negara Yugoslavia. Untuk menghindari konflik di Yugoslavia, Macedonia dan Bosnia-Herzegovina mencoba menjadi penengah yang baik. Menurut mereka, Yugoslavia sebaiknya menjadi Masyarakat Republik Yugoslavia (Uni Republic Yugoslavia atau Uni Negara-negara Yugoslavia).
Milosevic memberikan pernyataan agar bentuk konfederasi tidak dilaksanakan di Yugoslavia, karena bentuk konfederasi akan membubarkan Negara Yugoslavia. Untuk menghindari konflik di Yugoslavia, Macedonia dan Bosnia-Herzegovina mencoba menjadi penengah yang baik. Menurut mereka, Yugoslavia sebaiknya menjadi Masyarakat Republik Yugoslavia (Uni Republic Yugoslavia atau Uni Negara-negara Yugoslavia).
Dalam
perkembangan selanjutnya, pada tahun 1992 pertentangan-pertentangan yang
terjadi di Yugoslavia diwarnai oleh pertentangan antara Serbia dan
Bosnia-Herzegovina. Ketika Bosnia-Herzegovina memproklamasikan kemerdekaannya
pada bulan Maret 1992, pasukan Yugoslavia segera menyerbu Bosnia-Herzegovina.
Pertikaian tidak bisa dihindarkan lagi. Ribuan orang Muslim Bosnia terbunuh
dalam konflik dengan Serbia. Serbia juga telah melakukan pengeboman atas
Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina. Tindakan Serbia tersebut menarik
perhatian dunia internasional.
PBB
meminta agar tentara Serbia segera segera ditarik dari Bosnia. NATO
berkali-kali mengancam akan melakukan serangan terhadap Serbia. PBB memutuskan
melakukan blockade ekonomi terhadap Yugoslavia. Persengketaan antara Serbia dan
Bosnia-Herzegovina hingga saat ini sudah diselesaikan secara tuntas.
Permasalahan di bekas Negara Yugoslavia itu kemudian mereda setelah pihak-pihak
yang bertikai (Serbia, Kroasia, dan Bosnia) menandatangani Perjanjian Paris pada
Desember 1995. Perjanjian itu berisi pembagian wilayah untuk Federasi Muslim
–Kroasia (51%) dan Serbia (49%).
• Perang
Teluk
Perang
Teluk merupakan peperangan yang terjadi di daerah Teluk Persia dan sekitarnya.
Perang Teluk merupakan perang antara Irak dan Iran, perang Irak dan Pasukan
Multinasional pimpinan Amerika Serikat, dan penyerangan pasukan Amerika Serikat
terhadap Irak.
a. Perang
Irak dengan Iran (1980-1988)
Perang
Irak dengan Iran berlangsung sejak tahun 1980 hingga tahun 1988. Perang ini
disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya:
- Irak
khawatir akan meluasnya pengaruh Revolusi Iran di bawah Imam Khomaini. Pada
waktu berlangsung Revolusi Iran, Imam Khomaini berhasil menggulingkan
pemerintahan dari dinasti Reza Shah Pahlevi (1979). Keberhasilan Revolusi Iran
menyebabkan lahirnya Republik Islam Iran yang dipelopori oleh kaum Mullah
(Ulama Syiah).
- Irak
secara sepihak membatalkan perjanjian dengan Iran tanggal 22 September 1989.
Perjanjian Irak dengan Iran itu adalah perjanjian Algier (1975) mengenai
penguasaan bersama atas daerah Shat el Arab yang kaya akan minyak.
- Ketika
Irak berada di bawah pemerintahan Saddam Husein, Saddam Husein ingin
mengembalikan daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan Babylonia di
masa lalu. Menurut sejarah masa lalu, negeri Irak merupakan pewaris dari
Kerajaan Babilonia yang pernah diperintah oleh Raja Nebukadnezar. Untuk
memujudkan cita-citanya, irakmelancarkan serangan ke Iran, sehingga meletuslah
Perang antara Irak dengan Iran.
Pada tanggal 22 September 1980, Irak melancarkan serbuannya ke Iran, namun pasukan Iran berhasil membendung pasukan Irak. Walaupun sebenarnya yang menjadi tujuan utama adalah mencegah meluasnya pengaruh fundamentalisme Revolusi Iran, namun di sisi lain Saddam Husein ingin menggulingkan Pemerintahan Republik Islam Iran di bawah Imam Khomaini.
Pada tahun 1981, pasukan Iran berhasil menghancurkan instalasi minyak Irak. Serangan iran itu memicu Negara-negara yang mendukung Irak seperti Inggris, Perancis, Uni Soviet, dan Amerika Serikat untuk melakukan serangan balik. Pada tahun 1984, Saddam Husein semakin bertekad untuk menghancurkan Iran dengan menggunakan senjata kimia, yang sesungguhnya telah dilarang penggunaannya pada tahun 1925. PBB berusaha keras untuk mengatasi Perang Irak-Iran. Akhirya pada bulan Juni 1988, Iran bersedia menyetujui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 598 tahun 1988.
Pada tanggal 22 September 1980, Irak melancarkan serbuannya ke Iran, namun pasukan Iran berhasil membendung pasukan Irak. Walaupun sebenarnya yang menjadi tujuan utama adalah mencegah meluasnya pengaruh fundamentalisme Revolusi Iran, namun di sisi lain Saddam Husein ingin menggulingkan Pemerintahan Republik Islam Iran di bawah Imam Khomaini.
Pada tahun 1981, pasukan Iran berhasil menghancurkan instalasi minyak Irak. Serangan iran itu memicu Negara-negara yang mendukung Irak seperti Inggris, Perancis, Uni Soviet, dan Amerika Serikat untuk melakukan serangan balik. Pada tahun 1984, Saddam Husein semakin bertekad untuk menghancurkan Iran dengan menggunakan senjata kimia, yang sesungguhnya telah dilarang penggunaannya pada tahun 1925. PBB berusaha keras untuk mengatasi Perang Irak-Iran. Akhirya pada bulan Juni 1988, Iran bersedia menyetujui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 598 tahun 1988.
Kemudian
pada pertengahan Agustus 1990 Saddam Husein menerima seluruh persyaratan yang
diajukan oleh Iran diberlakukannya kembali perjanjian Algier (1975) yang telah
dilanggar oleh Saddam Hussein serta ditaatinya Resolusi Dewan Keamanan PBB No
598 tahun 1988. Berakhirlah Perang teluk antara Irak dan Iran. Hubungan kedua
Negara kini mulai membaik.
b.
Perang Irak dengan Pasukan Multinasional
Terjadinya
krisis di Teluk Persia adalah sebagai akibat pendudukan Irak atas Kuwait
tanggal 2 Agustus 1990. Peristiwa ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari
perselisihan antara Irak dan Kuwait menyangkut ladang minyak Rumeila yang
berada di perbatasan kedua Negara tersebut. Hal ini jugaa disebabkan oleh
pelanggaran yang dilakukan oleh Kuwait dan Uni Emirat Arab terhadap kuota
minyak dan menurunkan harha minyak dari ketetapan yang telah disepakati dalam
OPEC.
Untuk
menghindari pertikaian di antara kedua belah pihak, Arab Saudi berusaha
mensponsori perundingan yang dilaksanakan di Jeddah. Akan tetapi pada saat
perundingan itu berlangsung, seratus ribu pasukan Irak telah menerobos wilayah
Kuwait untuk melakukan pendudukan. Pendudukan Irak atas Kuwait menimbulkan
reaksi dari berbagai pihak. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi No. 660
yang isinya mengutuk tindakan Irak atas Kuwait. Selanjutnya Dewan Keamanan PBB
menjatuhkan blockade dan embargo atas Irak, kecualii untuk obat-obatan dan
makanan yang didasarkan pada masalah kemanusiaan.
Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan 12 resolusi untuk Irak dan yang terakhi dikeluarkan pada tanggal 29 November 1990. Resolusi itu merupakan sebuah ultimatum agar Irak meninggalkan Kuwait tanggal 15 Januari 1991 atau pasukannya akan dihancurkan oleh pasukan multinasional di bawah pimpinan Amerika Serikat.
Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan 12 resolusi untuk Irak dan yang terakhi dikeluarkan pada tanggal 29 November 1990. Resolusi itu merupakan sebuah ultimatum agar Irak meninggalkan Kuwait tanggal 15 Januari 1991 atau pasukannya akan dihancurkan oleh pasukan multinasional di bawah pimpinan Amerika Serikat.
Kedatangan
pasukan multinasional dipimpin Amerika Serikat mendapat tanggapan serius dari
pihak Irak. Irak, di bawah pimpinan Saddam Hussein, terus memperkuat pasukannya
untuk menghadapi segala kemungkinan dari pasukan multinasional. Munculnya
berbagai tanggapan dan kritik dari dunia luar, serta ancaman dari pasukan
multinasional membuat Saddam Hussein memberikan pernyataan akan mundur dari
Kuwait. Akan tetapi, hal ini menjadi buyar karena tentara Amerika Serikat dan
sekutunya melakukan pengeboman terhadap pertahanan Irak. Tindakan ini dibalas
oleh Irak dengan melakukan pengeboman terhadap kota Jubail di Arab Saudi. Kota
Jubail merupakan kota tempat pasukan multinasiona bermarkas, sekaligus tempat penyulingan
minyak dan air yang cukup penting.
Upaya
perdamaian di Teluk menjadi sangat sulit dicapai. Apalagi George Bush (Presiden
Amerika Serikat saat itu) tidak menunjukkan sikap yang simpatik kepada Irak.
George Bush tetap berpedoman bahwa Irak harus meninggalkan Kuwait tanpa syarat,
seperti yang telah ditetapkan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No.660.
Di pihak
lain, Irak tetap menuntut berbagai persyaratan sebelum meninggalkan Kuwait.
Syrarat-syarat yang dituntut oleh Irak adalah sebagai berikut:
a.
Bersamaan dengan mundurnya tentara Irak, tentara Amerika Serikta dan sekutunya
harus meninggalkan kawasan Teluk Persia.
b.
Israel harus mundur dari daerah pendudukannya di jalur Gaza, Tepi Barat Sungai
Jordan, dan Dataran Tinggi Golan.
c.
Suriah harus meninggalkan Libanon Selatan.
d. Semua
Resolusi PBB yag dikenakan kepada Irak, termasuk embargonya harus dibatalkan.
e.
Kuwait harus menyelenggarakan pemilihan umum secara resmi.
f.
Amerika Serikat dan Pasukan Multinasional harus membayar rampasan perang sebagai
ganti rugi akibat gempuran-gempurannya selama ini.
g. Semua
utang Irak harus ditundan pencicilannya. Tuntutan Saddam Hussein
tersebut memperoleh tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak, sehingga pada
tanggal 26 Februari 1991 atas perintah Saddam Hussein, tentara Irak
meninggalkan Kuwait yang sudah diduduki sejak bulan Agustus 1990.
Tujuan penarikan pasukan Irak dari Kuwait adalah untuk memenuhi Resolusi Dewan Keamanan PBB No.660 dan juga desakan yang sudah berulang kali disampaikan oleh Gorbachev. Akan tetapi, pasukan Multinasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat terus mengejar pasukan Irak yang sudah mundur itu dan terus melakukan pengeboman terhadap kota Baghdad dan kota-kota penting di Irak. Perang pun terus berlanjut karena ambisi Amerika. Sekjen PBB saat itu, Javier Perez de Cuellar menyatakan agar gencatan senjata secepatnya dilaksanakan untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak.
Irak akhirnya menerima semua syarat yang diajukan oleh pihak Amerika Serikat/Multinasional untuk mencapai gencatan senjata secara permanen di kawasan Teluk. Kemudian dilakukan perundingan selama dua jam di kota Safwan (bagian selatan Irak). Perundingan tersebut mencapai kesepakatan mengenai pertukaran tawanan perang dan penarikan Pasukan Multinasional yang terlanjur menduduki wilayah Irak bagian selatan. Langkag-langkah itu diikuti dengan menanti semua resolusi Dewan Keamanan PBB yang terdiri dari 12 butir. Tanpa penyelesaian yang tuntas seperti tercakup dalam semua ketentuan di atas, mustahil akan dicapai suatu perdamaian yang kekal.
Tujuan penarikan pasukan Irak dari Kuwait adalah untuk memenuhi Resolusi Dewan Keamanan PBB No.660 dan juga desakan yang sudah berulang kali disampaikan oleh Gorbachev. Akan tetapi, pasukan Multinasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat terus mengejar pasukan Irak yang sudah mundur itu dan terus melakukan pengeboman terhadap kota Baghdad dan kota-kota penting di Irak. Perang pun terus berlanjut karena ambisi Amerika. Sekjen PBB saat itu, Javier Perez de Cuellar menyatakan agar gencatan senjata secepatnya dilaksanakan untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak.
Irak akhirnya menerima semua syarat yang diajukan oleh pihak Amerika Serikat/Multinasional untuk mencapai gencatan senjata secara permanen di kawasan Teluk. Kemudian dilakukan perundingan selama dua jam di kota Safwan (bagian selatan Irak). Perundingan tersebut mencapai kesepakatan mengenai pertukaran tawanan perang dan penarikan Pasukan Multinasional yang terlanjur menduduki wilayah Irak bagian selatan. Langkag-langkah itu diikuti dengan menanti semua resolusi Dewan Keamanan PBB yang terdiri dari 12 butir. Tanpa penyelesaian yang tuntas seperti tercakup dalam semua ketentuan di atas, mustahil akan dicapai suatu perdamaian yang kekal.
c.
Invensi Amerika Serikat terhadap Irak
Ketika
Bill Clinton menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat menggantikan George
Bush, pihak Amerika Serikat tidak lagi mengurusi masalah Irak. Bill Clinton
tidak melakukan pengiriman pasukan ke Irak. Sehingga selama kurang lebih
delapan tahun masa pemerintahan Bill Clinton, urusan Amerika Serikat dengan
Irak seperti ditinggalkan begitu saja. Namun dengan turunnya Presiden Bill
Clinton yang digantikan oleh George W. Bush Jr. (putra George Bush), urusan
Amerika Serikat dengan Irak dibangkitkan lagi. George W.Bush Jr. memerintahkan
pengiriman pasukan Amerika Serikat ke Irak. Irak digempur habis-habisan.
Kota-kota di Irak porak-poranda oleh serangan Amerika Serikat bersama dengan
sekutu-sekutunya. Serangan itu dilakukan dengan alas an sebagai bagian dari War
on Terrorism (perang terhadap Terorisme). Irak dituduh memiliki dan
mengembangkan senjata pemusnah missal. Namun, ternyata tuduhan itu tidak
terbukti.
Serangan
dan pendudukan yang dilancarkan oleh pihak Amerika Serikat tidak dapat
dihindari oleh pasukan Irak, bahkan Presiden Irak Saddam Hussein juga tidak
dapat bertahan di istananya di Baghdad. Presiden Irak berhasil lolos dari
serangan pasukan Amerika Serikat. Setelah pasukan Amerika Serikat melakukan
penyisiran kota-kota yang diperkirakan sebagai tempat persembunyian Saddam
Hussein diduduki oleh pasukan Amerika Serikat bersama dengan sekutunya,
akhirnya Saddam Hussein pun dapat ditangkap di tempat persembunyiannya.
Saddam
Hussein ditahan di bawah pengawalan ketat dari pasukan AS. Sementara Sadddam
Hussein berada di dalam tahanan pasukan AS, pasukan militan Irak melakukan
serangan gerilya serta menyerang pasukan-pasukan konvoi AS. Di samping itu,
pasukan militant Irak juga melakukan penyanderaan terhadap orang-orang asing
yang berada di Irak, baik anggota pasukan di bawah komnado AS maupun penduduk
sipil yang sedang bekerja di Irak.
Pengadilan terhadap Saddam Hussein diserahkan kepada pemerintahan Irak yang baru, namun tetap berada di bawah pengawasan pasukan Amerika Serikat. Pengadilan Irak akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada Saddam Hussein atas tuduhan missal warga kurdi. Saddam Hussein menemui ajalnya di tiang gantungan tanggal 29 Desember 2006. Hingga kini pun situasi Irak masih tak menentu.
Pengadilan terhadap Saddam Hussein diserahkan kepada pemerintahan Irak yang baru, namun tetap berada di bawah pengawasan pasukan Amerika Serikat. Pengadilan Irak akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada Saddam Hussein atas tuduhan missal warga kurdi. Saddam Hussein menemui ajalnya di tiang gantungan tanggal 29 Desember 2006. Hingga kini pun situasi Irak masih tak menentu.
C.
Analisis Mengenai Kejahatan Internasional ditinjau dari Segi Kejahatan Perang
Kejahatan perang menurut Pasal 8 Statuta Roma Tahun 1998 berarti:
1. Merujuk kepada konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, bahwa perbuatan melawan hak seseorang atau kepemilikan seseorang berikut ini dilindungi di bawah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi jenewa, yaitu:
Kejahatan perang menurut Pasal 8 Statuta Roma Tahun 1998 berarti:
1. Merujuk kepada konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, bahwa perbuatan melawan hak seseorang atau kepemilikan seseorang berikut ini dilindungi di bawah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi jenewa, yaitu:
a.
Pembunuhan sengaja;
b.
Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi;
c. Dll,
2.
Pelanggaran hukum yang serius lainnya dan kebiasaan yang dilakukan dalam
konflik bersenjata internasional, dalam kerangka kerja hukum internasional,
disebutkan di bawah ini:
a.
Dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil sebagaimana atau
terhadap individu sipil yang tidak secara langsung terlibat dalam pertempuran;
b.
Dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap sasaran sipil, yang mana bukan
merupakan sasaran-sasaran militer;
c. Dll,
3. Dalam
hal konflik bersenjata yang terjadi tidak bersifat internasional, pelanggaran
serius terhadap pasal 3 sampai pasal 4 Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, dimana
disebutkan beberapa perbuatan sebagai berikut yang dilakukan terhadap
orang-orang yang ikut serta secara aktif dalam pertempuran, termasuk di
dalamnya peserta tentara yang telah meletakkan senjatanya,d an mundur dari
pertempuran karena sakit, terluka, dan dihukum atau sebab-sebab lainnya:
a.
Kekerasan terhadap jiwa dan orang, khususnya segala jenis pembunuhan,
perusakan, perlakuan yang kejam, dan penyiksaan;
b.
Menyandera;
c. Dll.
Jika
dilihat dari bebarapa arti atau makna yang terkandung dalam pasal 8 Statuta
Roma 1998, maka beberapa macam kejahatan perang yang telah dicantumkan di atas
tadi termasuk ke dalam kejahatan perang internasional. Dilihat pada kasus
perpecahan Negara Ex Yugoslavia, disitu tidak hanya mengandung kejahatan perang
saja, namun terdapat unsure kejahatan terhadap kemanusiaan. Ribuan orang muslim
Bosnia terbunuh dalam konflik dengan Serbia. Ribuan pengungsi Muslim
Bosnia di Han-Bila pada bulan Juli 1993 terpaksa meninggalkan kampong halamannya
dan mendapat perlakuan buruk dari tentara Serbia. Serbia juga telah melakukan
pengeboman atas Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina yang atas tindakan
tersebut menarik perhatian dunia internasional. Pada akhirnya para pelaku
kejahatan perang itu diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia di Den Haag,
Belanda.
Begitupun dengan perang Teluk yang terjadi antar Irak, Iran, dan pasukan Multinasional. Peperangan tersebut tidak lain merupakan kelanjutan perselisihan dari Perang Dunia II yang melebar ke seluruh Negara yang bertikai. Para pasukan tentara Irak dan pasukan-pasukan konvoi Amerika Serikat saling menyerang dan melakukan penyanderaan. Kejahatan perang tersebut dilakukan dengan menggunakan alat-alat persenjataan canggih sehingga menimbulkan banyaknya korban jatuh baik terhadap warga sipil maupun militer.
Jadi kejahatan perang bisa digolongkan menjadi kejahatan internasional adalah karena subyek hukum pidana internasional tersebut bisa berupa individu, Negara, dan badan-badan hukum swasta. Dan pada akhirnya, akibat dari kejahatan perang tersebut dapat menimbulkan perpecahan Negara serta jatuhnya banyak korban yang menarik perhatian dunia internasional.
Begitupun dengan perang Teluk yang terjadi antar Irak, Iran, dan pasukan Multinasional. Peperangan tersebut tidak lain merupakan kelanjutan perselisihan dari Perang Dunia II yang melebar ke seluruh Negara yang bertikai. Para pasukan tentara Irak dan pasukan-pasukan konvoi Amerika Serikat saling menyerang dan melakukan penyanderaan. Kejahatan perang tersebut dilakukan dengan menggunakan alat-alat persenjataan canggih sehingga menimbulkan banyaknya korban jatuh baik terhadap warga sipil maupun militer.
Jadi kejahatan perang bisa digolongkan menjadi kejahatan internasional adalah karena subyek hukum pidana internasional tersebut bisa berupa individu, Negara, dan badan-badan hukum swasta. Dan pada akhirnya, akibat dari kejahatan perang tersebut dapat menimbulkan perpecahan Negara serta jatuhnya banyak korban yang menarik perhatian dunia internasional.
DAFTAR
PUsSTAKA
Atmasasmita,
Romli. 2006. Pengantar Hukum Pidana Internasiona: Cetakan
Ketiga,
Penerbit Refika Aditama, Bandung.
Badrika,
I Wayan. 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XII: Cetakan Pertama,
Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Parthiana,
I Wayan. 2006. Hukum Pidana Internasional: Cetakan Pertama,
Penerbit
Yrama Widya, Bandung.
Statuta
Roma. 1998. Terjemahan.
No comments:
Post a Comment
Yang Penting Komentar!