Bisnis Pulsa

Saturday, September 27, 2014

MAKALAH HAM




Sistem Hukum dan HAM Pasca Amandemen UUD 1945

Pintu gerbang reformasi adalah amandemen konstitusi. Tesis ini perlu saya kemukakan sehubungan dengan apresiasi sistemik atas dinamika hukum dan tatanegara RI pasca amandemen UUD 1945. Tak sedikit kelompok masyarakat yang kontra dengan amandemen. Pihak ini memandang bahwa konstitusi yang dirancang pada paruh pertama periode kemerdekaan masih konteks dengan konstruksi hukum dan ketatanegaraan Indonesia.

Amandemen bagi mereka hanya akan merubah seluruh pondasi dasar kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah dibangun oleh founding father dengan merepresentasi semangat kemerdekaan dan nasionalisme.


Latar Belakang Amandemen UUD 1945

Dengan berbagai argumentasi dan tuntutan realitas kebangsaan dan demokrasi, maka amandemen harus dilaksanakan. Namun harus disadari bahwa merubah pandangan rakyat yang sudah cukup lama ditatar bahwa UUD 1945 tidak dapat dirubah kecuali melalui referendum, bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana. Namun akhirnya kesadaran muncul. Beberapa partai politik dalam Pemilu 1999 tegas-tegas menyuarakan perlunya amandemen konstitusi. Akhirnya perubahan konstitusi terjadi juga dalam empat tahapan perubahan, yang disebut dengan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat. Sejarah Konstitusi kita juga menunjukkan bahwa UUD 1945 bersifat sementara yang akan disempurnakan bila keadaan sudah aman. Diantara argumentasi yang mendasari perubahan UUD 1845 tersebut antara lain:

Pertama, Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
Kedua, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
Ketiga, UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
Keempat, UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.

            Kelima, rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut: a) Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden; b) Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat; c) Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah; d) Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.

Konsepsi HAM dalam UUD 1945 Pasca Amandemen

Memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam pasal-pasal konstitusi merupakan salah satu ciri konstitusi moderen. Setidaknya, dari 120an konstitusi di dunia, ada lebih dari 80 persen diantaranya yang telah memasukkan pasal-pasal hak asasi manusia, utamanya pasal-pasal dalam DUHAM. Perkembangan ini sesungguhnya merupakan konsekuensi tata pergaulan bangsa-bangsa sebagai bagian dari komunitas internasional, utamanya melalui organ Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak dideklarasikannya sejumlah hak-hak asasi manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau biasa disebut DUHAM 1948 (Universal Declaration of Human Rights), yang kemudian diikuti oleh sejumlah kovenan maupun konvensi internasional tentang hak asasi manusia, maka secara bertahap diadopsi oleh negara-negara sebagai bentuk pengakuan rezim normatif internasional yang dikonstruksi untuk menata hubungan internasional.
Meskipun demikian, dalam konteks sejarah dan secara konsepsional, Undang-Undang Dasar 1945 yang telah lahir sebelum DUHAM memiliki perspektif hak asasi manusia yang cukup progresif, karena sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea 1

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Konsepsi HAM tersebut tidak hanya ditujukan untuk warga bangsa Indonesia, tetapi seluruh bangsa di dunia! Di situlah letak progresifitas konsepsi hak asasi manusia di tengah berkecamuknya perang antara blok negara-negara imperial. Konsepsi yang demikian merupakan penanda corak konstitusionalisme Indonesia yang menjadi dasar tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (Wiratraman 2005a: 32-33).
DUHAM 1948 kemudian banyak diadopsi dalam Konstitusi RIS maupun UUD Sementara 1950, dimana konstitusi-konstitusi tersebut merupakan konstitusi yang paling berhasil memasukkan hampir keseluruhan pasal-pasal hak asasi manusia yang diatur dalam DUHAM (Poerbopranoto 1953 : 92). Di tahun 1959, Soekarno melalui Dekrit Presiden telah mengembalikan konstitusi pada UUD 1945, dan seperti pada awalnya disusun, kembali lahir pengaturan yang terbatas dalam soal hak-hak asasi manusia. Dalam sisi inilah, demokrasi ala Soekarno (demokrasi terpimpin atau guided democracy) telah memperlihatkan adanya pintu masuk otoritarianisme, sehingga banyak kalangan yang menganggap demokrasi menjadi kurang sehat.
Di saat rezim Orde Baru di bawah Soeharto berkuasa, konsepsi jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 justru sama sekali tidak diimplementasikan. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dikebiri atas nama stabilisasi politik dan ekonomi, dan hal tersebut jelas nampak dalam sejumlah kasus seperti pemberangusan simpatisan PKI di tahun 1965-1967 (Cribb 1990; Budiarjo 1991), peristiwa Priok (Fatwa 1999), dan penahanan serta penculikan aktivis partai pasca kudatuli. Sementara penyingkiran hak-hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan terlihat menyolok dalam kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, pengusiran warga Kedungombo (Elsam & LCHR 1995), dan pembunuhan 4 petani di waduk Nipah Sampang (Hardiyanto et. all (ed) 1995). Praktis, pelajaran berharga di masa itu, meskipun jaminan hak asasi manusia telah diatur jelas dalam konstitusi, tidak serta merta di tengah rezim militer otoritarian akan mengimplementasikannya seiring dengan teks-teks konstitusional untuk melindungi hak-hak asasi manusia.

Setelah situasi tekanan politik ekonomi yang panjang selama lebih dari 30 tahun, desakan untuk memberikan jaminan hak asasi manusia pasca Soeharto justru diakomodasi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut -- nyatanya -- cukup memberikan pengaruh pada konstruksi pasal-pasal dalam amandemen UUD 1945, terutama pada perubahan kedua (disahkan pada 18 Agustus 2000) yang memasukkan jauh lebih banyak dan lengkap pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Bandingkan saja kesamaan substansi antara UUD 1945 dengan UU Nomor 39 Tahun 1999.

No comments:

Post a Comment

Yang Penting Komentar!