Sistem Hukum dan HAM Pasca Amandemen UUD 1945
Pintu
gerbang reformasi adalah amandemen konstitusi. Tesis ini perlu saya kemukakan
sehubungan dengan apresiasi sistemik atas dinamika hukum dan tatanegara RI
pasca amandemen UUD 1945. Tak sedikit kelompok masyarakat yang kontra dengan
amandemen. Pihak ini memandang bahwa konstitusi yang dirancang pada paruh
pertama periode kemerdekaan masih konteks dengan konstruksi hukum dan
ketatanegaraan Indonesia.
Amandemen
bagi mereka hanya akan merubah seluruh pondasi dasar kenegaraan Negara Kesatuan
Republik Indonesia
yang telah dibangun oleh founding father dengan merepresentasi semangat
kemerdekaan dan nasionalisme.
Latar Belakang Amandemen UUD 1945
Dengan
berbagai argumentasi dan tuntutan realitas kebangsaan dan demokrasi, maka
amandemen harus dilaksanakan. Namun harus disadari bahwa merubah pandangan
rakyat yang sudah cukup lama ditatar bahwa UUD 1945 tidak dapat dirubah kecuali
melalui referendum, bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana. Namun akhirnya
kesadaran muncul. Beberapa partai politik dalam Pemilu 1999 tegas-tegas
menyuarakan perlunya amandemen konstitusi. Akhirnya perubahan konstitusi
terjadi juga dalam empat tahapan perubahan, yang disebut dengan Perubahan
Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat. Sejarah Konstitusi kita juga menunjukkan
bahwa UUD 1945 bersifat sementara yang akan disempurnakan bila keadaan sudah
aman. Diantara argumentasi yang mendasari perubahan UUD 1845 tersebut antara
lain:
Pertama,
Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada
kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan
rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi
ketatanegaraan.
Kedua,
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang
kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive
heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan
berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain:
memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif
karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
Ketiga, UUD
1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat
menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945
(sebelum di amandemen).
Keempat, UUD 1945
terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur
hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan
legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya
dalam Undang-undang.
Kelima, rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan
negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar
tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat,
penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi
berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan
UUD 1945, antara lain sebagai berikut: a) Tidak adanya check and balances antar
lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden; b) Infra struktur yang
dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat; c) Pemilihan
Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena
seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah; d)
Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang
berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.
Konsepsi HAM dalam UUD 1945 Pasca Amandemen
Memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam pasal-pasal konstitusi
merupakan salah satu ciri konstitusi moderen. Setidaknya, dari 120an konstitusi
di dunia, ada lebih dari 80 persen diantaranya yang telah memasukkan
pasal-pasal hak asasi manusia, utamanya pasal-pasal dalam DUHAM. Perkembangan
ini sesungguhnya merupakan konsekuensi tata pergaulan bangsa-bangsa sebagai
bagian dari komunitas internasional, utamanya melalui organ Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Sejak dideklarasikannya sejumlah hak-hak asasi manusia dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau biasa disebut DUHAM 1948 (Universal
Declaration of Human Rights), yang kemudian diikuti oleh sejumlah kovenan
maupun konvensi internasional tentang hak asasi manusia, maka secara bertahap
diadopsi oleh negara-negara sebagai bentuk pengakuan rezim normatif
internasional yang dikonstruksi untuk menata hubungan internasional.
Meskipun demikian, dalam konteks sejarah dan secara konsepsional,
Undang-Undang Dasar 1945 yang telah lahir sebelum DUHAM memiliki perspektif hak
asasi manusia yang cukup progresif, karena sebagaimana ditegaskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea 1
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Konsepsi HAM tersebut tidak hanya ditujukan
untuk warga bangsa Indonesia,
tetapi seluruh bangsa di dunia! Di situlah letak progresifitas konsepsi hak
asasi manusia di tengah berkecamuknya perang antara blok negara-negara
imperial. Konsepsi yang demikian merupakan penanda corak konstitusionalisme Indonesia
yang menjadi dasar tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (Wiratraman
2005a: 32-33).
DUHAM 1948 kemudian banyak diadopsi dalam
Konstitusi RIS maupun UUD Sementara 1950, dimana konstitusi-konstitusi tersebut
merupakan konstitusi yang paling berhasil memasukkan hampir keseluruhan
pasal-pasal hak asasi manusia yang diatur dalam DUHAM (Poerbopranoto 1953 :
92). Di tahun 1959, Soekarno melalui Dekrit Presiden telah mengembalikan
konstitusi pada UUD 1945, dan seperti pada awalnya disusun, kembali lahir
pengaturan yang terbatas dalam soal hak-hak asasi manusia. Dalam sisi inilah,
demokrasi ala Soekarno (demokrasi terpimpin atau guided democracy) telah
memperlihatkan adanya pintu masuk otoritarianisme, sehingga banyak kalangan
yang menganggap demokrasi menjadi kurang sehat.
Di saat rezim Orde Baru di bawah Soeharto
berkuasa, konsepsi jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 justru sama sekali
tidak diimplementasikan. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dikebiri atas nama stabilisasi
politik dan ekonomi, dan hal tersebut jelas nampak dalam sejumlah kasus seperti
pemberangusan simpatisan PKI di tahun 1965-1967 (Cribb 1990; Budiarjo 1991),
peristiwa Priok (Fatwa 1999), dan penahanan serta penculikan aktivis partai
pasca kudatuli. Sementara penyingkiran hak-hak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan terlihat menyolok dalam kasus pembunuhan aktivis
buruh Marsinah, pengusiran warga Kedungombo (Elsam & LCHR 1995), dan
pembunuhan 4 petani di waduk Nipah Sampang (Hardiyanto et. all (ed) 1995).
Praktis, pelajaran berharga di masa itu, meskipun jaminan hak asasi manusia
telah diatur jelas dalam konstitusi, tidak serta merta
di tengah rezim militer otoritarian akan mengimplementasikannya seiring dengan
teks-teks konstitusional untuk melindungi hak-hak asasi manusia.
Setelah situasi tekanan politik ekonomi yang panjang selama lebih
dari 30 tahun, desakan untuk memberikan jaminan hak asasi manusia pasca
Soeharto justru diakomodasi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut --
nyatanya -- cukup memberikan pengaruh pada konstruksi pasal-pasal dalam
amandemen UUD 1945, terutama pada perubahan kedua (disahkan pada 18 Agustus
2000) yang memasukkan jauh lebih banyak dan lengkap pasal-pasal tentang hak
asasi manusia. Bandingkan saja kesamaan substansi antara UUD 1945 dengan UU
Nomor 39 Tahun 1999.
No comments:
Post a Comment
Yang Penting Komentar!