BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Eksistensi manusia dalam konteks
kehidupan konkrit adalah mahluk alamiah yang terikat dengan lingkungannya,
memiliki sifat-sifat alamiah dan tunduk pada hukum alam pula. Keterikatan
dengan lingkungan itu tercermin pada kehidupan sosial (daya rasa sosial) dan
perilaku etis (daya rasa etis). Untuk menyempurnakan hidup, manusia harus
bekerja keras dan berkarya. Bekerja dan berkarya merupakan kebutuhan dan
sekaligus bukti kualitas dan mertabat manusia.
Kehidupan manusia bermula dari taraf
estetis, kemudian meningkat ke taraf etis, dan terakhir taraf religius. Pada
taraf kehidupan estetis, manuia mampu menangkap alam sekitarnya sebagai alam
yang mengagumkan dan mengungkapkannya kembali dalam bentuk berbagai karya. Pada
taraf kehidupan etis, manusia meningkatkan kehidupan estetis ke taraf manusiawi
dalam bentuk perbuatan bebas dan bertanggung jawab ( nilai moral ). Kemudian
taraf kehidupan religius, dimana manusia menghayati pertemuannya dengan Tuhan
penciptanya dalam bentuk takwa. Semakin dekat ,manusia dengan Tuhannya, semakin dekat pula dia pada
kesempurnaan hidup, dan makin jauh dia dari kegelisahan dan keraguan.
Bekerja keras dan berkarya mempunyai
arti manusiawi karena cerminan mutu dan martabat manusia individual dalam
hubungannya dengan alam dan manusia individual lain dalam masyarakat. Melalui
dimensi budaya, manusia berjuang untuk enju dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Apabila dihubungkan dengan kegiatan profesi hukum, maka kebutuhan manusia untuk
memperoleh layanan hukum juga termasuk dalam lingkup dimensi budaya perilaku
manusiawi yang dilandasi oleh nilai moral dan nilai kebenaran. Atas dasar
ini, adalah beralasan bagi pengemban
profesi hukum untuk memberikan layanan hukum yang sebaik-baiknya bagi yang
membutuhkan. Hak untuk memperoleh layanan dan kewajiban untuk mem berikan
layanan dibenarkan oleh dimensi budaya manusia. Namun dalam kenyataannya,
banyak manusia yang menyimpang dari dimensi budaya tersebut sehingga perilaku
yang ditunjukkannya justru melanggar nilai moral dan nilai kebenaran yang seharusnya
dijunjung tinggi. Hal ini merupakan fenomena yang terjadi dalam kehidupan
manusia yang sangat majemuk (plural).
Manusia sebagai makhluk budaya mempunyai berbagai ragam kebutuhan. Kebutuhan
tersebut dapat dipenuhi dengan sempurna apabila berhubungan dengan manusia lain
dalam masyarakat. Hubungan tersebut dilandasi dengan ikatan moral yang
mewajibkan pihak-pihak mematuhinya. Berdasarkan ikatan moral tersebut
pihak-pihak memenuhi apa yang seharusnya dilakukan (kewajiban) dan memperoleh
apa yang seharusnya didapat (hak) dalam keadaan seimbang. Selama nilai moral
keseimbangan itu ada, maka selama itu pula manusia itu hidup dalam keadaan
bahagia dan damai.
Sebagai makhluk sosial, manusia itu
mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhinya. Manusia perlu
melaksanakan kerjasama dengan manusia lain. Keinginan untuk hidup bersama dan
saling menghormati adalah merupakan bentuk dasar masyarakat. Kita sadari bahwa
kekuatan manusia itu hakikatnya tidak terletak pada kemampuan fisiknya atau
jiwanya. Tetapi kekuatan utama ialah kerjasama dengan manusia lainnya, yang
tentunya didasari dengan kesadaran bersama dalam berahklak, bermoral dan
menumbuhkan nilai-nilai etika.
Walaupun kita ketahui bersama bahwa
pada hakekatnya manusia tidaklah sempurna, akan tetapi manusialah yang lebih
mulia dari seluruh mahluk ciptaan Tuhan yang senantiasa dituntun untuk saling
menghargai menghormati serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Apalagi
jika dalam keadaan tertentu harus tunduk pada kode etik profesi karena urusan
kemanusiaan pula.
Sifat manusia yang mempunyai banyak
keterbatasan, kelemahan, maka tidak mustahil suatu ketika terjadi penyimpangan
atau pelanggaran kaidah sosial yang menimbulakan keadaan tidak tertib, tida
stabil yang perlu dipulihkan kembali. Langkah menegakkan ketertiban dan
mestabilkan keadaan diperlukan sarana pendukung, yaitu organisasi masyarakat
dan organisasi negara. Berkenaan dalam bidang hukum, organisasi masyarakat itu
dapat berupa organisasi profesi hukum yang berpedoman pada kode etik.[1]
Suatu negara hanya merupakan organisasi manusia yang mendiami wilayah tertentu,
dimana pihak yang kuat memaksakan kehendaknya pada pihak yang lemah, sehingga
wewenangnya tidak mempunyai dasar hukum yang sah, hukum berdiri sendiri dan
tidak tergantung pada negara.
Sahnya perbuatan-perbuatan hukum bukan
didasarkan pada asalnya, akan tetapi pada tujuan yang ingin dicapainya.
Kualitas utama dan hukum terletak pada kecenderungannya untuk mengembangkan
solidaritas sosial.[2]
Peraruran hidup yang menentukan bagaimana
manusia seyogiyanya berperilaku, bersikap di dalam masyarakat agara
kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi lazim diartikan sebagai
kaidah hukum. Kaidah pada hakekatnya merupakan perumusan suatu pandangan
objektif mengenai penilaian atau sikap yang seyogiyanya dilakukan atau tidak
dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan. Fungsi kaidah hukum
pada hakikatnya untuk melindungi kepentingan manusia atau kelompok manusia.
Adapaun tujuan kaidah hukum tidak lain adalah ketertiban masyarakat. Kalau
ketertiban masyarakat itu terlindungi maka keadaan masyarakat akan tertib.
Kaidah hukum bertugas mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan
kepastian hukum agar tujuannya tercapai, yaitu ketertiban masyarakat.
Tatanan hukum itu merupakan sebuah
sistem yang hierarkis atau bertingkat, susunan kaidah hukum dimuali dari
tingkat paling bawah, yaitu, kaidah individual (konkrit) dari badan-badan pelaksana hukum terutama
pengadilan, kaidah umum, peraturan perundang-undangan atau hukum kebiasaan, dan
kaidah-kaidah konstitusi. Apabila dilihat dari isinya kaidah hukum dikenal
dengan tiga jenis, yaitu berisi suruhan atau perintah, larangan dan perkenan
(dibolehkan), sedangkan dari siftanya dapat dibagi menjadi dua jenis, kaidah
imperatif yang bersifat memaksa dan kaidah fakultatif yang bersifat melengkapi.[3]
Manusia merupakan mahluk ciptaan tuhan
yang paling sempurna karena dilengkapi oleh penciptanya dengan akal, perasaan
dan kehendak. Akal adalah alat berfikir, sebagai sumber ilmu dan teknologi.
Dengan akal manusia menilai mana yang benar dan yang salah, sebagi sumber nilai
kebenaran. Perasaan adalah alat untuk menyatakan keindahan, sebagai sumber
seni. Dengan perasaan manusia menilai mana yang indah (estetis) dan yang jelek
sebagai sumber nilai keindahan. Kehendak adalah alat untuk menyatakan pilihan,
sebagai sumber kebaikan. Dengan kehendak manusia menilai mana yang baik dan
yang buruk sebagai sumber nilai moral.[4]
Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup
sendiri. Agar hidupnya lebih bermakna manusia harus berinteraksi dan
bekerjasama dengan orang lain. Namun, dalam proses interaksi untuk memenuhi
keebutuhan hidupnya, tidak jarang manusia harus berbenturan satu sama lain.
Benturan-benturan dan bahkan konflik dan pertentangan harus di eliminir
sehingga melahirkan sesuatu yang konstruktif. Untuk dapat menyelesaikan
persoalan tersebut sering kali dibutuhkan campur tangan institusi khusus yang
memberikan penyelesaian inparsial (secara tidak memikah) dan pranata social
berupa aturan-aturan hukum. Penyelesian itu tentunya harus didasarkan kepada
patokan-patokan yang berlaku secara objektif. Fungsi ini lazimnya dijalankan
oleh suatu lembaga yang disebut dengan lembaga peradilan, yang berwenang
untuk melakukan pemeriksaan, penilaian
dan memberikan keputusan terhadap konflik.
Wewenang yang sedemikian itulah yang
disebut dengan “kehakiman” yang di dalam praktiknya dilaksanakan oleh hakim.
Hukum melalui peradilan akan memberikan perlindungan hak, terhadap serangan
atas kehormatan dan harga diri serta memulihkan hak yang terampas.[5]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka
dapat dirumuskan beberapa masalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana etika aparat pengadilan yang baik agar dapat
melaksanakan profesi sesuai dengan sasaran dan tujuan yang
telah ditentukan?
2. Bagaimana implementasi Kode Etik Hakim untuk mewujudkan aparat pengadilan
yang baik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Etika
Etika erasal dari bahasa Yunani kuno ethos dalam
bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlaq yang baik.
Bentuk jamak dari ethos adalahta
etha artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak ini terbentuk istilah etika
yang oleh filosof Yunani Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.[6]
Kamus Besar Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memberikan
rumusan etika dalam tiga arti, yaitu:
1. Ilmu
tentang apa yang baik dan yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).
2. Kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika berarti norma-norma dan asas-asas moral yang
diterima oleh kelompok atau golongan
masyarakat tertentu sebagai landasan bertingkah laku yang didasarkan pada
kaidah-kaidah akhlak.
Ajaran etika merupakan filsafat moral untuk
mendapatkan petunjuk perilaku yang baik, berupa nilai-nilai luhur dan
aturan-aturan pergaulan yang terpuji dalam hidup, baik secara individual maupun
dalam lingkup masyarakat.Etika atau moral berkenaan dengan kebiasaan
berperilaku baik dan benar berdasarkan kodrat manusia.Etika ini terwujud dalam
bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran dan kesadaran adalah suara hati
nurani.Adanya kebebasan berkehendak, maka manusia bebas meilih antara yang baik
dan yang tidak baik, antara yang benar dan yang tidak benar.
Kebebasan kehendak mengarahkan manusia berbuat baik
dan benar.Apabila manusia melakukan pelanggaran moral, berarti dia berkehendak
melakukan kejahatan, dengan sendirinya berkehendak untuk dihukum.Dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara nilai moral dijadikan dasar hukum
positif.
Kata moral berasal dari bahasa latinmos, jamaknya
mores yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etimologis, kata etika sama
dengan kata moral, keduanya berarti adat kebiasaan. Perbedaannya hanya pada
bahasa asalnya etika berasal dari bahasa Yunani sedangkan moral berasal dari
bahasa Latin.
Merujuk kepada arti kata etika yang sesuai, maka
arti moral sama dengan arti kata moral sama dengan arti kata etika yaitu
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya. Moral juga identik dengan moralitas, moralitas
berasal dari bahasa Latin Moralis yang pada dasarnya mempunyai arti sama
dengan moral,tetapi lebih bersifat abstrak. Moralitas suatu perbuatan artinya
segi moral atau lebih buruknya suatu perbuatan.Moralitas adalah keseluruhan
asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Dengan kata lain,
moralitas merupakan kualitas perbuatan manusiawi, dalam arti perbuatan itu baik
atau buruk, benar atau salah tentunya berdasarkan norma sebagai ukuran.
Klasifikasi moralitas terbagi menjadi dua golongan yaitu:
a. Moralitas
objektif, dan
b. Moralitas
subjektif.[7]
Moralitas objektif adalah moralitas yang melihat
perbuatan sebagaimana adanya, terlepas dari segala bentuk modifikasi kehendak
bebas pelakunya. Moralitas ini dinyatakan dari semua kondisi subjektif khusus
pelakunya, misalnya kondisi emosional yang mungi menyebabkan pelaku lepas kendali, apakah
perbuatan itu memang dikehendaki atau tidak. Moralitas objektif sebagai
normaberhubungan dengan semua perbuatan pada hakikatnya baik dan jahat, benar
atau salah. Sedangkan moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat
perbuatan karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan perhatian pelakunya, latar
belakang, stabilitas emosional, dan perlakuan personal lainnya.Moralitas ini
mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak dengan suara hati nurani
pelakunya. Moralitas subjektif sebagai norma berhubungan dengan semua perbuatan
yang diwarnai oleh niat pelakunya.
Persoalan moralitas hanya relevan apabila dikaitkan
dengan manusia seutuhnya, dimana manusia mempunyai nilai pribadi, kesadaran
diri dan dapat menentukan dirinya dilihat dan setiap aspek kemanusiaan.Tidak
setiap perbuatan manusia dapat dikategorikan ke dlaam perbuatan moral.Perbuatan
itu bernilai moral apabila di dalamnya terkandnug kesadaran dan kebebasan
kehendak pelakunya.Kesadaran adalah suara hati nurani dan kebebasan kehendak
berdasarkan kesadaran.
Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
yang paling sempurna, apabila dilihat dari frame agama, maka tidak dapat
disangkal apabila mempunyai hubungan yang sangat erat dengan moralitas.Setiap
agama megandung ajaran moralitas.Agama adalah pernyataan orang yang beriman
kepada pencipta-Nya. Ajaran moral yang terkandung dalam agama meliputi dua
macam norma, yaitu norma yang berkenaan dengan ibadah yang berbeda diantara
bermacam agama dan norma etis yang berlaku umum mengatasi perbedaan agama.
Semua agama mengakuo dan menerima kedua norma tersebut. Oleh karena itu moral
yang diaut agama-agama besar di dunia pada dasarnya sama. Meskipun harus diakui
bahwa banyak manusia yang mengabaikan agama, tidak berarti mereka menolak
moralitas.
Moralitas bukan monopolu orang yang beragama saja.
Perbuatan baik dan buruk, benar dan salah tidak hanya berarti bagi mereka yang
bergama saja. Perlu ditekankan lagi bahwa agama menguatkan moral, makin tebal
keyakinan agama dan kesempurnaan takwa seseorang, makin baik moralnya yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku, walaupun itu tidak mutlak.Orang beragama
sudah pasti bermoral, tetapi orang bermoral belum tentu mengamalkan
agamanya.Agama mengandung nilai moral yang menjadi tolak ukur moralitas
perilaku seseorang dan moral memperoleh daya ikat dari agama.
B.
Etika
Aparat Pengadilan
Aparat pengadilan dituntut untuk dapat memadukan
karakter profesinya yang akan menampilkan sosok kepribadiannya dalam mewujudkan
sasaran dan tujuan yang telah ditentukan. Maka beberapa sikap atau sifat aparat
pengadilan yang patut diwujudkan antara lain:
1.
Takwa dan Tawakkal
Setiap awal akan
melaksanakan tugasnya seorang aparat pasti akan disumpah dan salah satu syarat
utamanya adalah bertakwa kepada Tuham Yang Maha Esa. Hal tersebut sangat
penting dilakukan bagi seorang aparat mengingat dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari senantiasa menghadapi masalah, mana yang boleh dan harus dilakukan
dan mana yang tidak boleh dan harus dihindari.Seorang yang bertakwa harus
senantiasa berusaha untuk dapat melasanakan segala perintah dan sekaligus
berusaha menghindari segala larangan-Nya.Sehingga dalam segala upaya baik
usahanya selalu didasarkan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus
berpasrah dan tawakkal dalam segala keadaan.
2.
Kemauan dan Kemampuan Mengatur Diri Sendiri
Sifat atau sikap yang selalu berusaha mau dan mampu
mengatur diri sendiri, merupaka awal dari kepemimpinan dan manajemen pengadilan
yang efektif.Untuk mencapai terwujudnya kemauan dan kemampuan ini, aparat
pengadilan perlu mengetahui kekuatan, kecakapan dan kemampuan di bidang
tugasnya, baik yang berkenaan dengan managerial skill maupun teknis justisial
dan administrasi pengadilan, serta perlu juga menyadari kekurangan, kelemahan
dan keterbatasan. Tanpa adanya kemauan dan kemampuan untuk mengatur diri
sendiri, segala bentuk ilmu pengetahuan yang dimiliki dan aturan hukum yang ada
tidak akan banyak membawa arti dan manfaat.
3.
Keteladanan
Keteladanan sangat dibutuhkan bagi aparat
pengadilan.Aparat pengadilan selayaknya menjaga tingkah laku dan perbuatannya
baik di dalam dan di luar kedinasannya, hal ini merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk terlibat dan mendapat dukungan masyarakat dalam mewujudkan
sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, seorang pimpinana yang
menginginkan bawahannya bekerja keras, maka ia dengan sendirinya harus
menunjukkan etos kerja pada diri sendiri terlebih dahulu, pekerjaan yang
berkualitas tinggi bagi seorang pimpinan akan menjadi referensi bagi aparat
dibawahnya dan pada gilirannya akan tercapai segala apa yang diharapkan dalam
setiap tugas yang diembannya.
4.
Bertanggung Jawab
Manakala seorang aparat pengaduan tidak memiliki
rasa tanggung jawab, maka akan mudah terseret dan cenderung pada sikap maupun
tindakan yang mengacu pada “akunya sendiri”. Sikap bertanggung jawab ini
bukan saja kepada kelompok instansinya, tetapi juga kepada diri sendiri dan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setiap parat dituntut adanya sikap dan sifat
bertanggung jawab, yang ditunjukkan dengan cara bekerja keras, tanggap, tangguh
dan tangkas dalam mengemban tugasnya.
Konsekuensi dan konsistensi aparat pengadialn akan
selalu berbenah diri terhadap pemaksaan tugas dan pelayanan huum yang diberikan
kepada pencari keadilan yang akan membawa dan menampilkan citra dan wibawa
pengadilan itu sendiri. Sikap bertanggung jawab ini antara lain bersumber dari
rasa memiliki (sense of belonging) orientasi karir dan kesadaran akan
jabatan yang diemban sebagai suatu rahmat dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
yang patut disyukuri.
5.
Adil
Adil sebagai salah satu sifat yang harus dimiliki
oleh aparat pengadilan dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapapun tanpa
terkecuali. Ditinjau dari tataran agama islam, secara etimologis adil
(al-‘Adlu) berarti tidak berat sebelah, tidak memihak atau menyamakan sesuatu
dengan yang lain. Istilah lain dari al-‘Adlu adalah al-‘Qistu dan al-Mislu
(sama bagian atau semisal). Secara terminologis, adil berarti mempersamakan
sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran,
sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama
lain. Adil juga berpihal atau berpegang kepada kebenaran. Keadilan dititk beratkan
pada pengertian meletakkan sesuatu pada
tempatnya. Oleh karena itu, setiap aparat pengadilan dituntut untuk bersifat
dan bersikap adil dalam melayani para pencari keadilan, karena pada asasnya
setiap orang sama haknya di depan pengadilan.
6.
Lapang Dada dan Terbuka
Aparat pengadilan sebagai insane yang bertugas di
lingkungan pengadilan, sudah barang tentu dituntut memiliki sikap lapang dada,
pemaaf dan terbuka terhadap saran-saran, bahkan titik yang ditujukan kepadanya
dan tidak bersikap sempit, tertutup dalam segala hal, selama saran dan kritik
tersebut bersifat membangun (positif). Hal ini berarti, apabila diajukan suatu
permasalahan, maka harus mencoba untuk mencari solusi, walaupun kesimpulan dan
keputusan terletak dalam kendali pimpinan.
7.
Darma Bakti dan Kemitraan
Aparat pengadilan hendaknya membantu dan sadar,
bahwa sesungguhnya mereka pada dasarnya tidak berbeda dengan aparat yang lain.
Mereka bekerja dan bertugas untuk menyumbangkan darma baktinya dalam rangka
menuju kepentingan bersama untuk mencapai sasaran yang telah
ditentukan.Pembagian tugas yang diberikan oleh pimpinan hendaknya dilaksanakan
sebagai pemenuhan rasa tanggung jawab.
Kemitraan antara pimpinan dan bawahan harus ada
harmonisasi diantara keduanya sehingga tercipta iklim yang kondusif,
kekompakan, kebersamaan dan kesetiaan serta solidaritas demi keberhasilan suatu
pekerjaan yang telah ditetapkan. Adanya kerja sama (team work) yang baik
antara para aparat dalam rangka menegakkan citra dan wibawa pengadilan di dalam
pelaksanaan tugas yang diembannya.
8.
Patuh dan Taat Kepada Pimpinan
Setiap instansi pemerintah, dalam pelaksanaan tugas
sudah pasti didukung oleh segala peraturan yang dibutuhkan instansi yang
bersangkutan.Namun perlu diingat dalam melaksanakan suatu peraturan tertentu, seorang
pimpinan masih membutuhkan suatu kebijakan, karena pada dasarnya suatu
peraturan belum tentu sesuai benar dengan suasana lingkungan dimana peraturan
itu diterapkan atau suatu peraturan belum tentu dalam mencakup segala peristiwa
dan keadaan yang sebenarnya.Maka segala peraturan perundang-undangan maupun
kebijakan pimpinan dalam rangka mencapai tujuan yang diidamkan dibutuhkan
kepatuhan dan ketaatan para aparat terhadap pimpinan. Apabila hal tersebut
terabaikan, maka titik keberhasilan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan tugas
akan sulit terwujud.
Realita yang berkembang ditengah masyarakat dewasa
ini, dilihat dari kemampuan masyarakat memberikan reaksi atau respon terhadap
dunia peradilan, adanya keluhan-keluhan yang ditujukan kepada lembaga peradilan
akan ketidakpastian, secara spesifik ditujukan kepada sosok hakim sebagai pihak
yang sangat terkait dengan produk hukum yang dihasilkan.
C.
Hakim
Sebagai Representasi Keadilan
Penegakan hukum (law enforcement) yang dapat
dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan
suatu negara dalam mengangkat harkat dan martabat bangsanya di bidang hukum
terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya.Hal ini berarti
pula adanya jaminan kepastian hukum bagi rakyat, sehingga rakyat merasa aman
dan terlindungi hak-haknya dalam menjalani kehidupan.Sebaliknya penegakan hukum
yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan indicator bahwa suatu negara
yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum kepada
warganya.
Semakin modern suatu masyarakat, maka akan bertambah
kompleks dan semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebai akibatnya,
yang memegang peranan penting dalam proses penegakan hukum bukan hanya manusia
yang menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisasi yang mengatur dan
mengelola operasionalisasi proses penegakan hukum. Dalam tataran yang lebih
mendasar, secara umum, reformasi penegakan hukum yang diawali dari reformasi
sistem peradilan harus dilakukan secara bertahap (gradual).Jimly Asshiddiqie
menegaskan bahwa reformasi sitem peradilan harus menyangkut penataan
kelembagaan, mekanisme aturan yang bersifat instrumental, dan personal serta
budaya kerja aparat peradilan berikut perilaku masyarakat secara keseluruhan.[8]
1.
Hakim dalam perspektif etik
Aturan etik adalah aturan mengenai moral atau yang
berkaitan dengan sikap moral menyangkut nilai mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak, pantas dan tidak
pantas. Moral adalah instrument internal yang menyangkut sikap pribadi,
disiplin pribadi.Moral mencerminkan karakter.Aturan etik hakim, lazim disebut
kode etik hakim (code of ethics atau code of conduct), kehadran
kode etik ini berkaitan dengan pekerjaan hakim ayng digolongkan sebagai kelompok
pekerjaan professional.[9]Sikap
professional harus terus terpelihara dengan selalu meningkatkan keahlian,
dimana keahlian ini meliputi keahlian substantif dan prosedural.Kesalahan atau
kelalaian menerapkan keahlian substantif maupun prosedural merupakan kesalahan
professional (unprofessional conduct).
Merujuk kepada pemahaman tugas pokok, kedudukan dan
fungsi hakim sebagaimana diatur dan dirumuskan baik dalam peraturan
perundang-undangan maupun melalui kode eti profesi hakim, sudah selaknya
apabila dalam diri hakim itu digantungkan harapan yang sungguh besar dan
sungguh dalam oleh para justiciable, yakni masyarakat pencari keadilan,
supaya segala tugas dan fungsi itu dapat diwujudkan, seandainya hal tersebut
terelisasi, dapat diambil pelajaran bahwa peranan hakim sungguh besar dalam
mengarahkan dan membina kesadaran hukum masyarakat.[10]
Keadilan hukum bagi pencari keadilan harus menjadi tujuan dan nafas utama sang
hakim dalam menjatuhkan putusannya. Hakim yang baik akan selalu menenpatkan
putusan hukum yang dijatuhkannya sebagai penjaga martabat kearifannya. Putusan
itu pula yang akan menunjukkan jati diri, keberadaan dan kemampuannya. Oleh
karena itu seorang hakim akan selalu menempatkan setiap putusan hukumnya pada
tempat dimana reputasi selaku hakim dipertaruhkan. Seorang hakim tidak akan
pernah dan tidak mungkin mampu untuk bermain-main dengan putusan hukumnya
sendiri. Sebagai jawaban bagi pencari keadilan, maka pada diri seorang hakim
diembankan supaya hakim itu selalu dapat menjamin bahwa perundang-undangan
diterapkan secara benar dan adil, dan apabila penerapan peraturan
perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, hakim wajib berpihak kepada
keadilan dan mengenyampingkan peraturan perundang-undangan.[11]
Meminjam pendapat Moh. Mahfud MD, yang menyatakan
bahwa “undang-undang merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai
formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan saling bersaingan,”[12]
sehingga sangat dimungkinkan ada beberapa nilai hukum yang hidup dan rasa
keadilan mayarakat yang terabaikan, sehingga tidak masuk dlam formulasi rumusan
undang-undang. Atas dasar ini, apabila terjadi sengketa antara undang-undang
yang berhadapan dengan nilai hukum yang hidup dan rasa keadilan masyarakat,
maka harus digalih lebih dahulu rasa keadilan masyarakat.
Integritas seorang hakim harus selalu terjaga dan
terpelihara dengan jalan melaksanakan suatu tugas atau tanggung jawab yang
terbaik untuk memberi kepuasan bagi pihak yang dilayani. Bagi hakim integritas
berwujud dalam bentuk-bentuk antara lain ketidak berpihakan (impartiality),
member perhatian dan perlakuan yang sama bagi pihak yang berperkara (fireness),
menjaga kehormatan, baik ketika menjalankan tugasnya menjadi seorang hakim atau
dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Kemandirian
Hakim
Hakim secara fungsional merupakan tenaga inti
penegakan hukum dalam penyelenggaraan proses peradilan. Parameter mandiri atau
tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan
ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan
profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur tangan
dari pihak lain dalam proses peradilan. Apabila para hakim terpengaruh oleh
campur tangan pihak-pihak lain dalam menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya,
berarti hakim tersebut kurang atau tidak mandiri.Sebaliknya kalau haim tidak
terpengaruh dan tetap bersikap objektif, meskipun banyak tekanan psikologis dan
intervensi dari pihak lain, maka hakim tersebut adalah hakim yang memegang
teguh pendirian dalam tugasnya.
Praktek peradilan yang berjalan selama ini, terasa
sulit dihindarkan adanya intervensi atau campur tangan dari pihak lain, seperti
pemerintah dan ekstra yudisial lainnya.Campur tangan juga dapat dilakukan oleh
pengaduan atasan, para pencari keadilan atau kuasanya serta pendukungnya.
Adanya campur tangan ini, sangat rawan menimbulkan adanya persengkongkolan
(kolusi), penyuapan dan terjadinya mafia dalam proses peradilan. Sehingga dalam
menyikapi hal ini, sangat bergantung pada hati nurani hakim sendiri.Apakah para
hakim masih menjunjung tinggi idealismenya dengan tetap mempertahankan
kebebasan dan kemandiriannya, atau terpaksa jatuh oleh berbagai campur tangan
pihak-pihak yang menginginkan keadilan tidak terwujud.
Sikap hakim dalam proses peradilan akan sangat
menentukan objektifitas dalam memutus suatu perkara. Sahlan Said, SH, seorang
hakim senior dari Pengadilan Negeri Magelang dalam tulisannya menyatakan bahwa
tulisannya menyatakan bahwa satu-satunya
jabatan atau profesi yang dapat mewakili Tuhan kiranya adalah hanya hakim,
sebab otoritas yang diberikan kepadanya bukan hanya sekadar dapat memenjara
tetapi juga dapat mecabut nyawa seseorang. Beberapa ungkapan yang memberikan
kedudukan istimewa kepada hakim misalnya adalah benteng terakhir bagi pencari
keadilan. Selain itu juga ada ungkapan yang cenderung ekstrim bahwa semua bagian masyarakat boleh rusak asalkan
hakimnya tidak maka semuanya akan menjadi beres.
Sebagai tindak lanjut hal di atas, kemandirian hakim
ditunjang keahlian yang memadai sangat diharapkan serta semakin penting
mengingat dalam membuat putusan, hakim tidak semata-mata mendasarkan diri pada
bunyi pasal peraturan perundang-undangan. Proses membuat putusan merupakan
prosese pengolahan kemampuan intelektual, penguasaan teknis subtantif serta
prosedur hukum serta pengetahuan hakim atas nilai-nilai sosial yang ada dan
berkembang di masyarakat. Lebih jauh lagi, dalam kondisi-kondisi tertentu,
hakim dituntut untuk melakukan penemuan hukum, yakni dalam hal adanya suatu
permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya pada peraturan perundang-undangan
yang ada.[13]
Hakim yang mempunyai integritas moral yang tinggi
dalam mempertahankan kemandiriannya, akan dapat berfungsi sebagai penegak hukum
yang baik dalam menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya selalu berpedoman
pada prinsip-prinsip hukum yang adil dan dapat dipertanggung jawabkan. Para
pihak yang berperkara selaku pencari keadilan juga cenderung akan menerima
putusan yang telah dijatuhkan, bahkan dengan sukarela akan melaksanakan putusan
tersebut, karena dianggap sudah sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat.
Sebaliknya bagi hakim yang tidak atau kurang mandi dalam proses pelaksanaan
peradilan, berarti hakim tersebut bukam tipe penegak hukum yang baik dan
professional.
Karena hakim tersebut ternyata tidak mampu
menegakkan hukum secara objektif dan mandiri, tetapi sudah melecehkan harkat
dan martabat profesinya dan mengotori dunia penegakan hukum. Hakim tersebut
tidak mempunyai integritas moral yang baik, bersifat subjektif, apriori, bahkan
cenderung memihak kepada salah satu pihak yang berperkara,[14]
akibat dari tidak mandiri dan sikap profesional hakim, maka akan berdampak pada
pencari keadilan sebagai pihak yang jadi korban dan dirugikan.
Sepanjang proses peradilan berjalan objektif, maka
hasil putusan hakim yang dijatuhkan dari kaca mata hukum juga akan bersifat
objektif, terlepas puas tidaknya para pencari keadilan, karena hal tersebut
,merupakan sesuatu yang dirasakn relatif bagi salah satu pihak. Suatu putusan
hakim dapat mengandung tingkat kepastian hukm yang tinggi, akan tetapi belum
tentu dirasakan adil dan bermanfaat bagi para pencari keadilan. Sebaliknya
putusan yang adil, belum tentu menganut kepastian hukum, tetapi apapun
keadaannya, integritas moral.Objektifitas dan sikap professional serta daya
intelektual bagi hakim merupakan sesuatu yang ideal dan harus terdapat pada
diri hakim.
D.
Kedudukan,
Fungsi Dan Tugas Hakim
Hakim adalah pejabat yang melaksanakantugas
kekuasaan kehakiman (pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pasal 12 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ), yakni pejabat pengadilan yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (pasal 1 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981). Istilah pejabat membawa konsekwensi yang berat oleh karena
kewenangan dan tanggung jawabnya terumuskan dalam rangkaian tugas, kewenangan,
kewajiban, sifat dan sikap tertentu yaitu penegak hukum dan keadilan.
Hakim juga dapat diartikan sebagai Hakim pejabat yang memimpin
persidangan.Ia yang memutuskan hukuman
bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan
dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Hakim biasanya
mengenakan baju berwarna hitam.Kekuasaannya
berbeda-beda di berbagai negara.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam Bab I
tentang ketentuan umum pasal 1 ayat 8, mendifinisikan hakim sebagai pejabat
peradilan negara yang dinberi wewenanng oleh Undand-Undang Untuk mengadili.[15]
Perkataan hukum yang berasal dari kata hakama yang berarti meninjau dan
menetapkan suatu hal yang adil dengan tidak berat sebelah, maka adali dan
keadilan merupakan tujuan dan initi daripada hukum.Adil mengandung pengertian
meletakkan sesuatu pada tempatnya, untuk menegakkan hukum dan keadilan itulah
dibebankan pada tidak hakim sebagai konsekuansi dari negara hukum. Sebagai mana
yang diamanatkan dalam konstitusi negara ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I tentang bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 ayat
(3) yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum dan sebagaimana yang
kita tahu bahwa hukum itu mempunyai tiga tujuan yaitu kepastian, keadilan dan
kemanfaatan.[16]
Supremasi hukum,
persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif
yang independent, peradilan tata
usaha negara, peradilan tata negara, bersifat demokratis, sarana untuk
mewujudkan tujuan negara, transparansi dan kontrol sosial, serta perlindungan
hak asasi manusia, peradilan bebas dan tidak memihak adalah ciri penting dari
negara hukum. peradilan bebas dan tidak memihak memiliki makna bahwa kekuasaan
kehakiman bersifat merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah yang
karenanya harus ada jaminan tentang kedudukan hakim.
Mengingat betapa
pentingnya kedudukan hakim tersebut pleh karenanya pada pasal 25 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa syarat-syarat untuk
menjadi dan diberhentikannya sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-Undang.
Dalam mengambil
keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah
hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya. Tetapi
penentuan fakta-fakta mana yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan
kaidah hukum yang mana akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang
dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan itu sendiri.
Dengan demikian,
jelas bahwa hakim atau para hakim memiliki kekuasaan yang besar terhadap para
pihak (yustiabel) berkenaan dengan masalah atau konflik yang dihadapkan kepada
hakim atau para hakim tersebut.
Namun dengan demikian
berarti pula bahwa para hakim dalam menjalankan tugasnya sepenuhnya memikul
tanggung jawab yang besar dan harus menyadari tanggung jawab itu, sebab
keputusan hakim dapat membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan para
yustiabel dan orang-orang lain yang terkena oleh jangkauan keputusan
tersebut.Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan penderitaan
lahir batin yang dapat membekas bagi para yustiabel yang bersangkutan sepanjang
perjalanan hidupnya.
Kewajiban hakim
sebagai salah satu organ lembaga peradilan
tertuang dalam BAB IV Pasal 27-29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sedangkan mengenai
tanggung jawab hakim, tersirat dalam pasal 4 ayat (1) dalam pasal 14 ayat
Undang-Undang ini di kemukakan kewajiban hakim yaitu tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dali bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Didalam penjelasan
pasal 4 ayat (1) dikemukakan bahwa hakim sebagai organ pengadilan dianggap
memahami hukum.Apabila tidak menemukan hukum tertulis hakim wajib mennggali
hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang
bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
masyarakat, bangsa dan negara. Dalam hal ini Bisman Siregar, mengemukakan bahwa
Undang-Undang secara jelas menegaskan tangggung jawab hakim itu bukan kepada
negara, bukan kepada bangsa, tetapi pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa, baru
kepada diri sendiri diungkapkan lagi bahwa “kalau inilah landasan tanggung
jawab hakim, akankah iya ragu-ragu menguji kalau perlu membatalkan peraturan
yang bertentangan dengan Pancasila dan Tuhan Yang Maha Esa”.
Menyangkut kewajiban
hakim, di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman di jelaskan sebagai berikut:
1. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.[17]
2. Untuk menetapkan berat ringannya hukuman, hakim
hendaklah memperhatikan sifat-sifat yang baik atau yang buruk yang ada pada si
tertuduh..[18]
3. Hakim mesti mengundurkan diri apabila perkara
yang diperiksanya menyangku tperkara dari keluarganya sedarah sampai derajat
ketiga atau semenda.[19]
4. Sebelum memangku jabatan sebagai hakim
diwajibkan untuk bersumpah menurut agama dan kepercayaannya.[20]
Perancis Bacon dalam Essays Or Counsels Civil and Moral: Of
Judicalture, sebagaimana diterjemahkan oleh Arief Sidharta, mengatakan sebagai
berikut : para hakim seyogyanya lebih terpelajar (berkecendikiawan) dari pada
pandai bersilat lidah, lebih bermanfaat dari pada sekedar bersikap wajar, dan
lebih menghayati serta mengetahui berbagai faktor relevan dari masalah yang
dihadapinya dari pada sekedar keyakinan. Di atas segalanya itu, mereka wajib
memiliki integritas dan bermartabat.
Dapat ditambahkan, bahwa masalah tanggung jawab hakim diatur dalam
berbagai peraturan per-Undang-Undangan, diantaranya :
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum.
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Dan
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Jabatan Hakim adalah
suatu profesi, karena memenuhi kriteri-kriteria yaitu pekerjaan tetap, bidang
tertentu (memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara), berdasarkan keahlian
khusus (hukum), dilakukan secara bertanggung jawab (kepada tuhan, negara,
pencari keadilan dan kepada hati nurani) dan memperoleh pengahasilan.
Didalam sejarah
perkembangannnya kode etik hakim, etika profesi hakim dirumuskan pertama kali
dengan keputusan Nomor 2 Tahun 1966 pada rapat kerja pengadilan tinggi dan
pengadilan negri bersama Mahkamah Agung RI dengan menggunakan istilah Kode
Kehormatan Hakim yang berarti segala sifat batiniah dan sikap-sikap lahiriyah
yang wajib dimiliki dan diamalkan oleh para hakim untuk menjamin tegaknya
kewibawaan dan kehormatan korp hakim yang untuk selanjutnya ditetapkan kembali
dalam surat keputusan bersama ketua Mahkamah Agung Republi Indonesia dan meteri
kehakiman Maret 1988. Dalam perkembangan selanjutnya, kode etik hakim yang
dijadikan acuan saat ini adalah berdasarkan hasil musyawarah Nasional IKAHI
ke-13, tanggal 30 Maret 2001 di Bandung.[21]
Adapun sifat-sifat
yang haru dimiliki hakim dilambangkan menjadi panca darma hakim yaitu :
1. Sifat
Kartika (bintang) melambangkan ketakwaan hakim pada Tuhan Yang Maha Esa dengan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang beradab.
2. Sifat
Cakra (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat adil, baik di dalam
maupun di luar kedinasan. Dalam kedinasan, hakim bersikap adil, tidak
berprasangka atau memihak, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan,
memutuskan berdasarkan keyakinan hati nurani, dan sanggup mempertanggung
jawabkan kepada Tuhan. Di luar kedinasan hakim bersifat saling menghargai,
tertib dan lugas, berpandangan luas dan mencari saling pengertian.
3. Candra
(bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam kedinasan, hakim harus
memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin dan penuh
pengabdian pada profesinya. Di luar kedinasan, hakim harus dapat dipercaya,
penuh rasa tanggung jawab, menimbulkan rasa hormat, anggun, dan berwibawa.
4. Sari
(bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi luhur dan berperilaku tanpa
cela. Dalam kedinasannya ia selalu tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan
pengabdiannya, ingin maju, dan bertenggang rasa. Di luar kedinasannya, ia
selalu berhati-hati, sopan dan susila, menyenangkan dalam pergaulan,
bertenggang rasa, dan berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya.
5. Tirta
(air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), berdiri di atas
semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapapun, tanpa pamrih, dan tabah.
Sedangkan di luar kedinasan, ia tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan
kedudukannya, tidak berjiwa aji mumpung dan senantiasa waspada.[22]
E.
Implementasi Kode Etik Hakim
Sebagai aturan yang
harus dijadikan pedoman bagi seorang hakim, maka kode etik hakim harus
diimplementasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks
menjalankan tugas(dalam persidangan), hubungan sesame rekan, hubungan terhadap
bawahan atau pegawai, hubungan kemasyarakatan, dan hubungan keluarga atau rumah
tangga.
a. Implementasi dalam persidangan
1. Dalam persidangan seorang hakim harus bersikap
dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang
berlaku, dengan memperhatikan asas-asas peradilan yang baik, yaitu :
a) Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat
putusan dimana setiap orang berhak untuk mengajukan perkara dan dilarang
menolak untuk mengadilinya kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang serta
putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama.
b) Semuaa phika yang berperkara berhaka atas
kesempatan dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk
membela diri, mengajukan bukti-bukti serta memperoleh informasi dalam proses
pemeriksaan (affair hearing).
c) Putusan dijalankan secara objektif tanpa
dicemarai oleh kepentingan pribadi atau pihak lain (nobias) dengan menjunjung
tinggi prinsip (nemo judex in resua).
Putusan harus memuat alasan-alasan serta bersifat konsisten dengan penalaran
hukum yang sistematis (resones and
argumentations of decision), diamana argumentasi tersebut harus diawasi (controleer-baarheid) dan diikuti serta
dapat dipertanggungjawabkan (accountability)
guna menjamin sifat keterbukaan (transparancy)
dan kepastian hukum (legal certainity)dalam
proses peradilan.
d) Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
2. Tidak dibenarkan, menunjukkan sikap memihak
atau bersimpati ataupun antipasti kepada pihak-pihak uang berperkara, baik
dalam ucapan mauapun tingkah laku.
3. Harus bersifat sopan, tegas dan bijaksana dalam
memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
4. Harus menjaga kewibawaan dan dan kehidmatan
persidangan anatara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak
baik dengan kata-kata mauapun perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan
keadilan.
b. Terhadap sesama rekan. Hakim yang dalam tugas
pokoknya adalah memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara maka ia akan
melaksanakan tugas tersebut dalam bentuk majelis meskipun dimungkinkan untuk
melaksanakan oersidangan dengan hakim tunggal. Demikian pula sebagai seorang
hakim ia tidak akan bisa terlepas untuk saling berkomunikasi dengan rekan
sejawat hakim. Oleh karena itu, terhadap sesama hakim memelihara dan memupuk
hubungan kerjasama dengan baik atara sesame rekan; iya harus memiliki rasa
serta kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesame rekan; demikian
juga harus memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap kopr hakim
secara wajar; disamping menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam bai
di luar kedinasan.
c. Terhadap bawahan/pegawai. Hakim sebagai penegak
hukum haruslah mampu menjadi panutan; maka ia harus mempunyai sifat
kepemimpinan, dan dapat membimbing bawahan atau pegawai untuk mempertinggi
pengetahuan. Dia harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik,
serta memelihara sikap kekeluargaan terhadap bawahan/pegai dan seorang hakim
harus mampu memberi contoh kedisiplinan.
d. Terhadap masyarakat. Dalam kehidupan seorang
hakim adalah bagian dari masyarakat sekitar oleh karena itu seorang hakim harus
menghormarti dan menghargai, tidak sombong dan tidak mau menang sendiri.
Sebagai bagaian dari masyarakat, maka hidup sederhana yang dirasakan dari
sebagaian terbesar dari masyarakat juga harus tercermin dari diri hakim.
e. Terhadap keluarga/rumah tangga.
1. Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan
tercela menurut norma-norma hukum kesusilaan.
2. Menjaga ketentraman dan kebutuhan keluarga.
3. Menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan
keadaan dan pandangan masyarakat.
Suatu kelompok profesi selain diatur oleh aturan
etik/kode etiknya masing-masing, juga diatur oleh aturan hukum. Menurut Pasal 1
Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dengan menjunjung
tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Hakim
di Indonesia berada di Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung yang terdiri dari badan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer dengan keuasaan mengadili
bersifat absolut yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan tersebut dan
diatur dalam undang-undang sebagai payung hukum masing-masing badan peradilan
tersebut.
Sejatinya, hakim
di Indonesia bertindak sebagai penafsir utama norma hukum yang masih bersifat
abstrak generalis ke dalam peristiwa konkret yang terjadi. Profesi Hakim adalah
profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh ke dalam
dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang
alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung
jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum
untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum
untuk hukum itu sendiri.
Sementara itu, dalam ranah etika, kode etik hakim yang dimaksudkan untuk memelihara, menegakkan dan mempertahankan disiplin profesi.
Sementara itu, dalam ranah etika, kode etik hakim yang dimaksudkan untuk memelihara, menegakkan dan mempertahankan disiplin profesi.
Ada beberapa
unsur disiplin yang diatur, dipelihara, dan ditegakkan atas dasar kode etik
adalah sebagai berikut:
1. Menjaga,
memelihara agar tidak terjadi tindakan atau kelalaian profesional.
2. Menjaga
dan memelihara integritas profesi.
3. Menjaga
dan memelihara disiplin, yang terdiri dari beberapa unsur yaitu :
a) Taat
pada ketentuan atau aturan hukum.
b) Konsisten.
c) Selalu
bertindak sebagai manajer yang baik dalam mengelola perkara, mulai dari
pemeriksaan berkas sampai pembacaan putusan.
d) Loyalitas.
Lebih jauh dalam kode etik hakim atau biasa juga
disebut dengan Kode Kehormatan Hakim disebutkan, bahwa hakim mempunyai 5 (lima)
sifat, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Adapun yang dimaksud dengan
dalam kedinasan meliputi sifat hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan,
bawahan, atasan, sikap pimpinan terhadap sesama rekan hakim, dan sikap terhadap
instansi lain. Di luar kedinasan mencakup sikap hakim sebagai pribadi, dalam
rumah tangga, dan dalam masyarakat.
Secara stuktural dalam kegiatannya seorang hakim
tentunya memiliki hubungan internal dan ekternal yang pada dasarnya banyak
melakukan komunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk lancarnya
hubungan internal dan eksternal perlu ditempatkan orang-orang yang sikapnya
mampu menjaga diri dan instansi dimana ia ditempatkan. Begitulah seyogianya
seorang hakim yang dipandang memiliki kedudukan cukup terhormat.
Spesifikasi hubungan secara internal hakim
diantaranya ialah membina dan meningkatkan hubungan yang harmonis dengan sesame
hakim dan karyawan, memperhatikan dan meningkatkan hubungan kerja sama yang
baik demi terciptanya keselarasan dan kedamaian sehingga tidak berakibat kepada
perkara-perkara yang diadilinya yang kemudian sangat dikhawatirkan pengaruh
psikologi hakim dalam memutus perkara, memelihara dan meningkatkan hubungan
dengan sesama penegak hukum (jaksa, polisi dan advokat), saling mengingatkan
akan tanggung jawab yang meraka pikul, demi mencegah adanya pengaruh dari luar
yang dapat menghalangi atau memperkeruh terwujudnya keadilan dalam masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengaduan adalah benteng terakhir bagi pencari
keadilan (Justiciable) dalam menyelesaikan perkaranya.Lembaga peradilan
menjadi tumpuan masyarakat, manakala penyelesaian secara damai dan kekeluargaan
tidak membawa hasil.Dalam kedudukan yang demikian, lembaga peradilan harus
dapat memberikan pelayanan hukum yang sebaik-baiknya kepada masyarakat, dan
menghindari tindakan-tindakan yang dapat menurunkan citra dari pengadilan
tersebut.Semakin professional lembaga peradilan tentunya semakin tinggi tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini. Sebaliknya apabila terjadi banyak
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan aparat pengaduan (lebih khusus hakim)
dalam menjalankan tugasnya, maka akan menjadi bahan cercaan masyarakat yang
berakibat mereka enggan berurusan dengan lembaga peradilan.
Banyak hal-hal yang harus dibenahi dan diperbaiki
menyangkut permasalahan yang sangat kompleks, baik mengenai perangkat peraturan
perundang-undangannya (sistemnya) maupun berkaitan dengan faktor aparatnya
sendiri.Keberadaan teori dan peraturan perundang-undangan tetap diperhatikan,
tetapi kualitas aparat penegak hukum yang mempunyai integritas moral tinggi
sangat diutamakan. Dengan kata lain, aturan hukum yang haik baru berfungsi
dengan baik apabila didukung dengan aparat yang baik dan tangguh, dimana
integritas moral dijadikan sebagai panglima dalam menjalankan aktivitas tugas
kesehariannya.
Penegak
hukum
harus jujur dlam menegakkan hukum atau melayani pencari keadilan dan
menjauhkan
diri dari perbuatan tercela. Kejujuran berkaitan dengan kebenaran,
keadilan, kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih dan
ketulusan pribadi seseorang yang sadar akan pengendalian diri terhadap
apa yang
seharusnya tidak boleh dilakukan. Kejujuran mengarahkan penegak hukum
agar
bertindak benar, adil dan patut. Kejujuran adalah kendali untuk berbuat
menurut
apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati
nurani. Benar menurut akal, baik menurut hati nurani. Benar menurut akal
diterima hati nurani.
B.
Saran
Berdasarkan pemaparan dan
kesimpulan tersebut, maka saran yang dapat disampaikan dalam makalah ini adalah
:
1.
Perlu adanya penataan secara menyeluruh, pemantauan serta
perumusan kebijakan tentang kode etik yang betul-betul bertujuan untuk
kemaslahatan umat manusia dan dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan,
dimana telah kita sadari bersama bahwa hari ini profesi hakim dikenal secara
terhormat. Tetapi itu dapat kita pahami dalam dua arti keprofesiannya. Jika
dilihat dari sudut pangkat dan jabatannya tentunya sangat dibanggakan, diakui,
dan disegangi oleh siapa saja, apalagi bagi orang-orang yang diadilinya. Selanjutnya
dapat kita pahami dari sudut pribadinya, disinilah awal lahirnya kesadaran
beretika sesuai dengan arah yang telah ditentukan dalam kedudukan atau
jabatannnya itu. Kepribadian yang hanya terbentuk dari faktor lingkungan ini
dapat dipagari dengan lingkungan dalam sistem pemantauan. Baik itu dari sesama
secara internal atau suatu tim khusus ataupun sorotan publik secara eksternal. Dengan
demikian etika aparat pengadilan yang baik adalah dengan memulai dengan
kesadaran individu secara pribadi dibarengi dengan proses pemantauan secara
terus menerus baik secara internal dan eksternal, agar mereka merasa selalu
menjadi tontonan yang lucu bagi publik jika tidak bekerja secara profesional
dan menjunjung tinggi nilai kode etik profesinya.
2.
Perlu adanya kewajiban bagi para atasan atau pimpinan lembaga
peradialan untuk senantiasa mengawasi dan mengingatkan ketentuan-ketentuan kode
etik profesinya serta untuk bawahannya. Selain itu perlu pula pengevaluasian
kode etik profesi hakim terhadap hakim secara terprogram agar mereka dapat
memahami, memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam kode etik profesinya. Jika
telah diproses sedemikian rupa maka penegasan sanksi tidak lagi diragukan,
karena tidak ada lagi keraguan akan pemahaman hakim yang bersangkutan. Dan
untuk lebih memberikan efek terlebih dahulu direnungkan dalam-dalam dan dikaji
lebih jauh akibat dari pelanggran kode etik yang telah dilakukannya.
Hal ini untuk menjaga lahirnya rasa
kasihan dan keinginan untuk meringankan beban seorang hakim yang nyata telah
bebuat tidak sesuai dengan profesinya. Dan tidak kalah penting dan lebih utama
ialah kecepatan dan ketepatan waktu menangani jika terjadi pelanggran kode
etik, ini untuk menjaga dan mencegah terjadinya tumpukan pelanggaran dan kemudian
tinggal menjadi bahan cerita belaka tanpa pemberian sanksi yang setimpal dengan
perbuatannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Ahmad. 2008. Menguak Tabir Hukum. Jakarta : Gahlia Indonesia.
Asshiddiqie,Jimly.2003.Format
Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan
dalam UUD 1945,Yogyakarta:FH UII Press.
Mahfud MD, Moh. 1998. Politik
Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Manan,
Bagir.2007.Menjadi Hakim yang Baik.Varia Peradilan, Ikatan Haki
Indonesia,
XXII
Mertokusumo,
Sudikno. 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar.
Yogyakarta:
Liberty.
Muhammad,
Abdulkadir. 1997. Etika Profesi
Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti.
Siregar,Bismar. 1989.Bunga Rampai Karangan Tersebar
Bismar Siregar.
Jakarta: CV. Rajawali.
Soekanto,
Soerjono.2001. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Pt. Raja Grafindo
Persada
Sumaryono,E.
1995.Etika Profesi Hukum, Norma-norma Bagi Penegak Hukum,
Kanisius.Yogyakarta.
Sutiyoso,Bambang
dan Puspitasari,
Sri Hastuti. 2005.Aspek-aspek
Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UUI Pres.
Suyuthi,
Wildan. 2004.Pedoman Perilaku Hakim (Code
Of Conduct) Kode Etik
Hakim dan Makalah
Berkaitan, Jakarta :Mahkamah Agung RI.
[1]Abdulkadir Muhammad, Etika
Profesi Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung cet ke I 1997,hal 7.
[2] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Pt. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, cet ke IV, 2001, hal 14.
[3] Sudikno Mertokusumo, Penemuan
Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Cet I, 1996, hal 12
[4] Prof. Abdulkadir
Muhammad, S.H., Etika Profesi Hukum,
PT Citra Aditya Bakti, 2006:Bandung, h.1-2.
[5] Drs. Wildan Suyuthi,
SH.MH., Pedoman Perilaku Hakim (Code Of
Conduct) Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Mahkamah Agung RI,
2004:Jakarta, h.23.
[6] Abdulkadir Muhammad, op. cit, hal 13.
[7] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma Bagi Penegak
Hukum, Kanisius, Yogyakarta, cet-I, 1995, hal.27
[8]Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hal.215.
[9] Bagir Manan, Menjadi Hakim yang Baik, Varia Peradilan,
Ikatan Haki Indonesia, XXII (Februari 2007), hal 5.
[10] Bismar Siregar, Bunga Rampai Karangan Tersebar Bismar Siregar, CV.
Rajawali, Jakarta, 1989, hal 12.
[11] Bagir Manan, Wajah
Hukum di Era Reformasi, CV. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2000, hal. 263
[12]Moh. Mahfud MD, Politik
Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hal 7
[13]Ibid
[14] Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek
Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UUI Pres, Yogyakarta, 2005,
hal 88.
[15] Lihat Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 ayat 8
[16] Prof. Dr. Ahmad Ali,
2008, Menguak Tabir Hukum, Jakarta :
Gahlia Indonesia, hal. 59.
[17] Lihat Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 27 ayat (1)
[21] Drs. Wildan Suyuthi,
SH.MH., Pedoman Perilaku Hakim (Code Of
Conduct) Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Mahkamah Agung RI,
2004:Jakarta, h.31.
[22]Lihat di kode
kehormatan hakim.
No comments:
Post a Comment
Yang Penting Komentar!