BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tidak ada seorangpun yang akan meragukan pernyataan bahwa
negeri yang dinamai Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya. Sejak ribuan
tahun lalu, tanah ini telah menjadi tujuan migrasi dari banyak bangsa-bangsa
yang mencari kemakmuran. Bangsa-bangsa dari tanah Hindia, dataran Indocina dan
entah dari mana lagi membangun perahu-perahu agar dapat sampai ke tanah impian
mereka. Berabad-abad kemudian, Jawadwipa dan Swarnadwipa disebut-sebut dalam
berbagai kitab sejarah di banyak negeri asing, dipuji-puji karena kekayaan
alamnya.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar
di dunia dengan terdiri dari 17.508 pulau, garis pantai sepanjang 81.000 km dan
luas sekitar 3,1 juta Km2 (0.3 juta Km2 perairan
territorial, 2.8 juta Km2 perairan nusantara) atau 62 % dari luas
teritorialnya.
Perairan
yang berada di kedaulatan dan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas berdasarkan ketentuan
internasional, mengandung sumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan yang
sangat potensial.
Selanjutnya
dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara,
pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan
keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya tentunya dengan mengutamakan
kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
Wilayah perairan yang sangat
luas selain memberikan harapan dan manfaat yang besar, tapi juga membawa
konsekuensi dan beberapa permasalahan, antara lain banyaknya sea lane of
communication, tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang
berlaku di perairan seperti illegal fishing.
Pada tahap inilah peran
hukum khususnya hukum pidana sangat
dibutuhkan untuk menjadi media kontrol dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan
yang dapat menggangu stabilitas pengelolaan serta, kelestarian sumber daya ikan
dan lingkungannya.
Fungsionalisasi hukum
sebagai sarana pengelolaan sumber daya perikanan, disamping sarana-sarana
lainnya, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sarana lainnya, yakni sifat
mengikat dan/atau memaksa dari hukum itu. Perumusan kaidah-kaidah kebijakan
pengelolaan sumber daya peikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta
merta menyelesaikan permasalahan yang ada, karena efektivitas hukum tersebut akan
sangat tergantung pada sapek operasionalnya. Disinilah peran sanksi yang
seringkali dinilai penting dan sangat menentukan untuk tercapainya kepatuhan,
terlebih lagi sanksi hukum pidana.
Pelaksanaan
penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam
rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas
pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara
berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi
yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap
penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 2004 Tentang Perikanan telah dirumuskan sanksi pidana untuk beberapa jenis perbuatan yang
dikatagorikan sebagai tindak pidana perikanan. Efektivitas sistem sanksi pidana
dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kebijakan
lingkungan akan sangat dipengaruhi banyak faktor, salah satu diantaranya adalah
perumusan kaidah hukumnya itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
Untuk
menghindari pembahasan yang terlalu luas dan melebar, maka dalam makalah hukum
ini penulis hanya akan melakukan pembahasan dengan rumusan masalah sebagai
berikut :
1.
Undang-undang apa
sajakan yang mempunyai relevansi di bidang perikanan ?
2.
Bagaimana unsur-unsur
delik atau tindak pidana beserta ancaman pidananya dalam undang-undang tersebut
?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi Hukum Pidana
Dalam
kamus hukum karya Sudarsono (1992) diberikan pengertian bahwa hukum pidana
adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan
umum, dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu
penderitaan.
Dari pengertian diatas dapat dilihat 3 (tiga)
unsur utama dalam hukum pidana yaitu :
1. Mengatur tentang perbuatan kejahatan dan pelanggaran
terhadap kepentingan umum
2. Bahwa perbuatan tersebut dapat berdampak pada
terganggunya kepentingan umum.
3. Bahwa perbuatan tersebut diancam dengan sanksi pidana.
Rusli
Efendi (1986 : 1) memberikan definisi hukum pidana adalah bagian dari pada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana
tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar tersebut.
Lebih lanjut menurut Simons (PF
Lamintang, 1996 : 3) membagi hukum pidana menjadi hukum pidana dalam arti
objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
Hukum pidana dalam arti objektif
adalah hukum pidana yang berlaku, artinya keseluruhan dari larangan dan
keharusan yang atas pelanggarannya oleh negara atau oleh suatu masyarakat hukum
telah dikaitkan dengan suatu penderitaan
yang bersifat khusus berupa suatu penghukuman, dan keseluruhan dari peraturan
di mana syarat-syarat mengenai akibat-hukum itu telah diatur serta keseluruhan
dari peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumnya
itu sendiri.
Sementara hukum dalam arti subjektif
mempunyai dua pengertian, yaitu :
1. Hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum. Yakni hak telah mereka peroleh dari
peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti
objektif.
2. Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturan-peraturannya dengan hukuman.
B.
Definisi Dan Unsur-unsur Tindak Pidana
Pembuat undang-undang kita telah menggunakan perkataan
“strafbarfeit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan
mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbarfeit” tersebut.
Lamintang (1996 : 181) memberikan penjelasan bahwa, perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa
Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sementara strafbaar berarti
dapat dihukum. Sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat
diterjemahkan sebagai sebagaian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.
R. Abd. Djamali (2005 : 175)
menyatakan bahwa, pada dasarnya tindak
pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman pidana. Suatu peristiwa
hukum hanya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi
unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur itu terdiri dari :
1. Objektif
Yaitu suatu tindakan (perbuatan)
yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang
dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif di
sini adalah tindakannya.
2. Subjektif
Yaitu perbuatan seseorang yang
berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan
adanya pelaku (seorang atau beberapa orang).
C.
Subjek Hukum Pidana Lingkungan
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi
pendukung hak dan kewajiban. Lebih singkat dapat dikatakan bahwa subjek hukum
adalah pendukung hak dan kewajiban.
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa
belanda rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung
hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.
C.1. Tinjauan Umum Pertanggungjawaban Pidana Badan
Hukum.
Dalam hukum pidana modern telah terjadi semacam kesepakatan
diantara para ahli bahwa badan hukum merupakan subjek hukum pidana yang dapat
melakukan tindak pidana dan dapat pula dimintai pertanggungjwaban secara
pidana. Kecenderungan untuk mempertanggungjawabkan dan memidana badan hukum
didorong oleh kenyataan bahwa badan hukum merupakan subjek hukum yang memiliki
hak dan kewajiban sendiri, dapat melakukan perbuatan sendiri, terlepas dari
para pemilik atau pengurusnya. Dalam hukum pidana positif Indonesia kemungkinan
untuk mempertanggungjawabkan badan hukum ini dimulai dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 7/Drt/1995 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi.
Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas mengatur
tentang pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam pasal 45 dan 46. Penegasan
ini mengakhiri perdebatan dan atau keraguan pertanggungjawaban pidana badan
hukum dalam tindak pidana lingkungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Oleh karena itu sekarang
sudah tidak ada lagi keragu-raguan untuk mempertanggungjawabkan secara pidana
terhadap badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan.
Meskipun
secara yuridis formal telah ada kejelasan untuk mempertanggungjwabakan badan
hukum secara pidana, akan tetapi dalam pelaksanaannya akan menemui banyak
kendala. Mempertanggungjawabkan badan hukum secara pidana artinya juga harus
menyediakan sistem sanksi yang cocok untuk diterapkan terhadap badan hukum.
Sanksi tradisional berupa perampasan kemerdekaan menurut sifatnya tidak cocok
dengan karakteristik badan hukum itu sendiri. Dilihat secara keseluruhan maka
jenis sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum adalah berupa pidana
denda dan tindakan tata tertib (R.S Budi Prastowo, 2003)
D.
Definisi Hukum Pidana Perikanan
Memberikan definisi hukum pidana perikanan maka akan
mengacu pada definisi hukum pidana lingkungan itu sendiri.
RB. Budi Prastowo (2003) memberikan definisi hukum pidana
lingkungan sebagai pendayagunaan asas-asas, kelembagaan, sistem, dan sanksi
hukum pidana untuk menegakkan norma hukum lingkungan.
Selanjutnya bahwa, mengingat bahwa hukum pidana perikanan
adalah “lex specialis” dari hukum pidana lingkungan sebagai “lex generali” maka
dapat diberikan definisi hukum pidana perikanan adalah penerapan keseluruhan
asas, kelembagaan, sistem dan sanksi hukum pidana untuk menegakkan norma hukum
lingkungan di bidang perikanan.
BAB III
PEMBAHASAN
Adapun
Undang-undang yang mempunyai relevansi di bidang perikanan adalah sebagai
berikut :
a. UU
No 1 Tahun 1973 Tentang Landas kontinen
b. UU
No 5 Tahun 1983 Tentang ZEE
c. UU
No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
A.
Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1973 Tentang Landas Kontinen
Dalam
Undang-undang No 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen hanya dikenal tindak
pidana kejahatan yaitu :
a)Tidak memenuhi Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 dan
Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 8
Undang-undang UU No 1 Tahun
1973 tentang Landas kontinen
A1. Unsur-unsur
Delik Atau Tindak Pidana Beserta Ancaman Pidananya Menurut Undang-undang Nomor
1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen.
a)Pasal 11
·
Barang siapa
·
Yang tidak memenuhi Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 dan
Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 8
Undang-undang UU No 1 Tahun
1973 tentang Landas kontinen.
·
Diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam)
tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
B. Rumusan Tindak Pidana Dalam UU No
5 Tahun 1983 tentang ZEE
Dalam
Undang-undang No 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen hanya dikenal tindak
pidana kejahatan yaitu :
a) Melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, dan Pasal 7 UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE.
b)
Dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang
menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan/atau tercemarnya lingkungan hidup
dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
c)
Merusak atau memusnahkan barang-barang bukti yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1), dengan maksud untuk menghindarkan tindakan-tindakan penyitaan
terhadap barang-barang tersebut pada waktu dilakukan pemeriksaan.
B1. Unsur-unsur
Delik Atau Tindak Pidana Beserta Ancaman Pidananya Menurut Undang-undang Nomor
5 Tahun 1983 Tentang ZEE
a)Pasal 16 (1)
·
Barang siapa
·
Melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1),
Pasal 6, dan Pasal 7 UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE.
·
Dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp
225.000.000,- (dua ratus dua puluh lima juta rupiah).
b) Pasal 16 (3)
·
Barangsiapa
·
Dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang
menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan/atau tercemarnya lingkungan hidup
dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
·
Diancam dengan
pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
lingkungan hidup.
c)
Pasal 17
·
Barangsiapa
·
Merusak atau memusnahkan barang-barang bukti yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1),
·
Dengan maksud untuk menghindarkan tindakan-tindakan
penyitaan terhadap barang-barang tersebut pada waktu dilakukan pemeriksaan,
·
Dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp
75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah).
C. Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan
Dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan telah dicantumkan beberapa
pasal yang mengatur tentang tindak pidana (delik) di bidang perikanan. Dalam
makalah ini akan dibagi ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu kategori pelanggaran
dan kategori kejahatan.
1. Kategori Pelanggaran
a) Melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
b) Kesengajaan melakakan perbuatan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber
daya ikan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan
c) Kealpaan melakukan perbuatan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang
berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
d) Melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak
memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem
jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
e) Kesengajaan melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan
dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak
dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
f) Membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan
yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan.
g) Mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai
kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
h) Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang
tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam
palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan
i) Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang
telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan
ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan
j) Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang
telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan
ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang
diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang
Perikanan
k) Berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal
perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
l) Melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 31Tahun 2004
Tentang Perikanan
m) Pelanggaran terhadap ketentuan yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan
2. Kategori
Kejahatan
a) Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,
dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
b) Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan
c) Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor
31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
d) Kesengajaan melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Nomor
31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
e) Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan
ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan
yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang
tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat
tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
f) Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
g) Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
h) Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan
sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan
manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan
i) Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau
kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
j) Kesengajaan memasukkan, mengeluarkan, mengadakan,
mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan
ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau
ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
k) Kesengajaan menggunakan bahan baku, bahan tambahan
makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia
dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan
l) Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan,
pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan
m) Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia melakukan penangkapan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut
lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
n) Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing melakukan penangkapan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki
SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan
o) Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan
ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
C1. Unsur-unsur
Delik Atau Tindak Pidana Beserta Ancaman Pidananya Menurut Undang-undang Nomor
31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
1.
Kategori Pelanggaran
a) Pasal 87 (1)
·
Setiap orang ;
·
yang dengan sengaja di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·
merusak plasma nutfah
yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(4),
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00
(satu miliar rupiah).
b) Pasal 87 (2)
·
Setiap orang ;
·
yang karena kelalaiannya
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·
mengakibatkan rusaknya
plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (4);
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000, 00
(lima ratus juta rupiah).
c) Pasal 89
·
Setiap orang ;
·
yang melakukan
penanganan dan pengolahan ikan ;
·
dengan tidak memenuhi
dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan
mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(3),
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00
(delapan ratus juta rupiah).
d) Pasal 90
·
Setiap orang ;
·
yang dengan sengaja
melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari
dan/atau ke wilayah Republik Indonesia ;
·
dengan tanpa dilengkapi
sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21,
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00
(delapan ratus juta rupiah).
e) Pasal 95
·
Setiap orang ;
·
yang membangun,
mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan
·
dengan tidak mendapat
persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1),
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000, 00
(enam ratus juta rupiah).
f) Pasal 96
·
Setiap orang ;
·
yang mengoperasikan
kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·
dengan tidak
mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00
(delapan ratus juta rupiah).
g) Pasal 97 (1)
·
Nakhoda ;
·
yang mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan
;
·
yang selama berada di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat
penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1)
;
·
dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
h) Pasal 97 (2)
·
Nakhoda ;
·
yang mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing ;
·
yang telah memiliki izin
penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada
bagian tertentu di ZEEI ;
·
namun membawa alat
penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2),
·
dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).
i) Pasal 97 (3)
·
Nakhoda ;
·
yang mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan
;
·
dengan tidak menyimpan
alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan
ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3),
Dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
j) Pasal 98
·
Nakhoda ;
·
yang berlayar tidak
memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) ;
·
Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000, 00
(dua ratus juta rupiah).
k) Pasal 99
·
Setiap orang asing ;
·
yang melakukan
penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·
dengan tidak memiliki izin
dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00
(satu miliar rupiah).
l) Pasal 100
·
Setiap orang ;
·
yang melanggar ketentuan
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
;
·
dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
2.
Kategori Kejahatan
a) Pasal 84 (1)
·
Setiap orang ;
·
dengan sengaja di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan
dan/atau pembudidayaan ikan ;
·
dengan menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
·
yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00
(satu miliar dua ratus juta rupiah).
b) Pasal 84 (2)
·
Nakhoda atau pemimpin
kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal ;
·
dengan sengaja di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan ;
·
dengan menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
·
yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,
00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
c)
Pasal 84 (3)
·
Pemilik kapal perikanan,
pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau
operator kapal perikanan ;
·
dengan sengaja di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan
ikan ;
·
dengan menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
·
yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,
00 (dua miliar rupiah).
d) Pasal 84 (4)
·
Pemilik perusahaan
pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau
penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan ;
·
dengan sengaja melakukan
usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·
menggunakan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
·
yang dapat merugikan dan/atau membahayakan
kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (4) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,
00 (dua miliar rupiah).
e)
Pasal 85
·
Setiap orang ;
·
dengan sengaja di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa,
dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan
yang berada di kapal penangkap ikan ;
·
yang tidak sesuai dengan
ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan
persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau
alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00
(dua miliar rupiah).
f) Pasal 86 (1)
·
Setiap orang ;
·
dengan sengaja di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan
·
Perbuatan tersebut mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,
00 (dua miliar rupiah).
g)
Pasal 86 (2)
·
Setiap orang ;
·
dengan sengaja di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
·
membudidayakan ikan yang
dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan
dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
h)
Pasal 86 (3)
·
Setiap orang
·
dengan sengaja di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
·
membudidayakan ikan
hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
i)
Pasal 86 (4)
·
Setiap orang ;
·
dengan sengaja di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·
menggunakan obat-obatan
dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (4) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
j)
Pasal 88
·
Setiap orang ;
·
dengan sengaja
memasukkan, megeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang
merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan
sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
k)
Pasal 91
·
Setiap orang ;
·
dengan sengaja
menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat
yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan
·
dalam melaksanakan
penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
l)
Pasal 92
·
Setiap orang ;
·
dengan sengaja di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·
melakukan usaha
perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan
pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,
00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
m)
Pasal 93 (1)
·
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia
·
melakukan penangkapan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas
;
·
dengan tidak memiliki
SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00
(dua miliar rupiah).
n)
Pasal 93 (2)
·
Setiap orang yang
memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing ;
·
melakukan penangkapan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·
dengan tidak memiliki
SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000, 00
(dua puluh miliar rupiah).
o)
Pasal 94
·
Setiap orang yang
memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia ;
·
melakukan pengangkutan
ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) ;
·
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis.
Jakarta : PT. Gunung Agung.
Djamali, R. Abdul. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Effendi, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana. Makassar : Leppem-UMI
Lamintang. 1996. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung : PT. Citra Adiya Bakti.
Prastowo, RB. Budi. 2003. Jurnal Pro Justitia. Universitas Katolik
Parahyangan
Susilo, R. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bogor :
Politea.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Prestasi
Pustaka Publisher.
No comments:
Post a Comment
Yang Penting Komentar!