Bisnis Pulsa

Sunday, October 6, 2013

Makalah Tindak Pidanan Perikanan

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Tidak ada seorangpun yang akan meragukan pernyataan bahwa negeri yang dinamai Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya. Sejak ribuan tahun lalu, tanah ini telah menjadi tujuan migrasi dari banyak bangsa-bangsa yang mencari kemakmuran. Bangsa-bangsa dari tanah Hindia, dataran Indocina dan entah dari mana lagi membangun perahu-perahu agar dapat sampai ke tanah impian mereka. Berabad-abad kemudian, Jawadwipa dan Swarnadwipa disebut-sebut dalam berbagai kitab sejarah di banyak negeri asing, dipuji-puji karena kekayaan alamnya.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan terdiri dari 17.508 pulau, garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta Km2 (0.3 juta Km2 perairan territorial, 2.8 juta Km2 perairan nusantara) atau 62 % dari luas teritorialnya.
          Perairan yang berada di kedaulatan dan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas berdasarkan ketentuan internasional, mengandung sumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan yang sangat potensial.
          Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya tentunya dengan mengutamakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
          Wilayah perairan yang sangat luas selain memberikan harapan dan manfaat yang besar, tapi juga membawa konsekuensi dan beberapa permasalahan, antara lain banyaknya sea lane of communication, tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan seperti illegal fishing.
          Pada tahap inilah peran hukum khususnya hukum pidana  sangat dibutuhkan untuk menjadi media kontrol dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang dapat menggangu stabilitas pengelolaan serta, kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
          Fungsionalisasi hukum sebagai sarana pengelolaan sumber daya perikanan, disamping sarana-sarana lainnya, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sarana lainnya, yakni sifat mengikat dan/atau memaksa dari hukum itu. Perumusan kaidah-kaidah kebijakan pengelolaan sumber daya peikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada, karena efektivitas hukum tersebut akan sangat tergantung pada sapek operasionalnya. Disinilah peran sanksi yang seringkali dinilai penting dan sangat menentukan untuk tercapainya kepatuhan, terlebih lagi sanksi hukum pidana.
          Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
          Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan telah dirumuskan sanksi  pidana untuk beberapa jenis perbuatan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana perikanan. Efektivitas sistem sanksi pidana dalam  Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kebijakan lingkungan akan sangat dipengaruhi banyak faktor, salah satu diantaranya adalah perumusan kaidah hukumnya itu sendiri.

B.        Rumusan Masalah
          Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas dan melebar, maka dalam makalah hukum ini penulis hanya akan melakukan pembahasan dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Undang-undang apa sajakan yang mempunyai relevansi di bidang perikanan ?
2.    Bagaimana unsur-unsur delik atau tindak pidana beserta ancaman pidananya dalam undang-undang tersebut ?



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.        Definisi Hukum Pidana
Dalam kamus hukum karya Sudarsono (1992) diberikan pengertian bahwa hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum, dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
   Dari pengertian diatas dapat dilihat 3 (tiga) unsur utama dalam hukum pidana yaitu :
1.    Mengatur tentang perbuatan kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum
2.    Bahwa perbuatan tersebut dapat berdampak pada terganggunya kepentingan umum.
3.    Bahwa perbuatan tersebut diancam dengan sanksi pidana.
Rusli Efendi (1986 : 1) memberikan definisi hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
1.    Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2.    Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan.
3.    Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar tersebut.
          Lebih lanjut menurut Simons (PF Lamintang, 1996 : 3) membagi hukum pidana menjadi hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
          Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, artinya keseluruhan dari larangan dan keharusan yang atas pelanggarannya oleh negara atau oleh suatu masyarakat hukum telah dikaitkan dengan suatu  penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu penghukuman, dan keseluruhan dari peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat-hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumnya itu sendiri.
          Sementara hukum dalam arti subjektif mempunyai dua pengertian, yaitu :
1.    Hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum.  Yakni hak telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif.
2.    Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan hukuman.

B.        Definisi Dan Unsur-unsur Tindak Pidana
Pembuat undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbarfeit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbarfeit” tersebut.
Lamintang (1996 : 181)  memberikan penjelasan bahwa, perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sementara strafbaar berarti dapat dihukum. Sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagaian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.
          R. Abd. Djamali (2005 : 175) menyatakan bahwa, pada dasarnya tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.  Suatu peristiwa hukum hanya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur itu terdiri dari :
1.      Objektif
Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya.
2.      Subjektif
Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seorang atau beberapa orang).

C.        Subjek Hukum Pidana Lingkungan
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban. Lebih singkat dapat dikatakan bahwa subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban.
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa belanda rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.
          C.1.  Tinjauan Umum Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum.
                            Dalam hukum pidana modern telah terjadi semacam kesepakatan diantara para ahli bahwa badan hukum merupakan subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat pula dimintai pertanggungjwaban secara pidana. Kecenderungan untuk mempertanggungjawabkan dan memidana badan hukum didorong oleh kenyataan bahwa badan hukum merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban sendiri, dapat melakukan perbuatan sendiri, terlepas dari para pemilik atau pengurusnya. Dalam hukum pidana positif Indonesia kemungkinan untuk mempertanggungjawabkan badan hukum ini dimulai dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7/Drt/1995 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi.
                            Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas mengatur tentang pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam pasal 45 dan 46. Penegasan ini mengakhiri perdebatan dan atau keraguan pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam tindak pidana lingkungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Oleh karena itu sekarang sudah tidak ada lagi keragu-raguan untuk mempertanggungjawabkan secara pidana terhadap badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan.
         Meskipun secara yuridis formal telah ada kejelasan untuk mempertanggungjwabakan badan hukum secara pidana, akan tetapi dalam pelaksanaannya akan menemui banyak kendala. Mempertanggungjawabkan badan hukum secara pidana artinya juga harus menyediakan sistem sanksi yang cocok untuk diterapkan terhadap badan hukum. Sanksi tradisional berupa perampasan kemerdekaan menurut sifatnya tidak cocok dengan karakteristik badan hukum itu sendiri. Dilihat secara keseluruhan maka jenis sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum adalah berupa pidana denda dan tindakan tata tertib (R.S Budi Prastowo, 2003)

D.        Definisi Hukum Pidana Perikanan
Memberikan definisi hukum pidana perikanan maka akan mengacu pada definisi hukum pidana lingkungan itu sendiri.
RB. Budi Prastowo (2003) memberikan definisi hukum pidana lingkungan sebagai pendayagunaan asas-asas, kelembagaan, sistem, dan sanksi hukum pidana untuk menegakkan norma hukum lingkungan.
Selanjutnya bahwa, mengingat bahwa hukum pidana perikanan adalah “lex specialis” dari hukum pidana lingkungan sebagai “lex generali” maka dapat diberikan definisi hukum pidana perikanan adalah penerapan keseluruhan asas, kelembagaan, sistem dan sanksi hukum pidana untuk menegakkan norma hukum lingkungan di bidang perikanan.

BAB III
PEMBAHASAN

          Adapun Undang-undang yang mempunyai relevansi di bidang perikanan adalah sebagai berikut  :
a.      UU No 1 Tahun 1973 Tentang Landas kontinen
b.      UU No 5 Tahun 1983 Tentang ZEE
c.       UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

A.        Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen
Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen hanya dikenal tindak pidana kejahatan yaitu :
a)Tidak memenuhi Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 dan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 8 Undang-undang UU No 1 Tahun 1973 tentang Landas kontinen

A1.    Unsur-unsur Delik Atau Tindak Pidana Beserta Ancaman Pidananya Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen.
a)Pasal 11
·         Barang siapa
·         Yang tidak memenuhi Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 dan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 8 Undang-undang UU No 1 Tahun 1973 tentang Landas kontinen.
·         Diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)

B.      Rumusan Tindak Pidana Dalam UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE
          Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen hanya dikenal tindak pidana kejahatan yaitu :
a)   Melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, dan Pasal 7 UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE.
b)   Dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan/atau tercemarnya lingkungan hidup dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
c)    Merusak atau memusnahkan barang-barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dengan maksud untuk menghindarkan tindakan-tindakan penyitaan terhadap barang-barang tersebut pada waktu dilakukan pemeriksaan.

B1.   Unsur-unsur Delik Atau Tindak Pidana Beserta Ancaman Pidananya Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang ZEE
a)Pasal 16 (1)
·        Barang siapa
·        Melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, dan Pasal 7 UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE.
·        Dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp 225.000.000,- (dua ratus dua puluh lima juta rupiah).
b)   Pasal 16 (3)
·        Barangsiapa
·        Dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup dan/atau tercemarnya lingkungan hidup dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
·        Diancam dengan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang lingkungan hidup.
c)    Pasal 17
·        Barangsiapa
·        Merusak atau memusnahkan barang-barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1),
·        Dengan maksud untuk menghindarkan tindakan-tindakan penyitaan terhadap barang-barang tersebut pada waktu dilakukan pemeriksaan,
·        Dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah).

C.      Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan telah dicantumkan beberapa pasal yang mengatur tentang tindak pidana (delik) di bidang perikanan. Dalam makalah ini akan dibagi ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu kategori pelanggaran dan kategori kejahatan.

1. Kategori Pelanggaran
a)     Melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
b)     Kesengajaan melakakan perbuatan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
c)     Kealpaan melakukan perbuatan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
d)     Melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
e)     Kesengajaan melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
f)      Membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan.
g)     Mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
h)     Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
i)       Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
j)       Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan
k)     Berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
l)       Melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan
m)    Pelanggaran terhadap ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

          2.  Kategori Kejahatan
a)     Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
b)     Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
c)     Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
d)     Kesengajaan melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
e)     Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
f)      Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
g)     Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
h)     Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
i)       Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
j)       Kesengajaan memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
k)     Kesengajaan menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
l)       Kesengajaan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
m)    Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia  melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
n)     Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing  melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
o)     Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
C1.   Unsur-unsur Delik Atau Tindak Pidana Beserta Ancaman Pidananya Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
1.    Kategori Pelanggaran
a)     Pasal 87 (1)
·           Setiap orang ;
·           yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·           merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4),
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).
b)     Pasal 87 (2)
·           Setiap orang ;
·           yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·           mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4);
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
c)      Pasal 89
·           Setiap orang ;
·           yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan ;
·           dengan tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3),
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).
d)     Pasal 90
·           Setiap orang ;
·           yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia ;
·           dengan tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).
e)     Pasal 95
·           Setiap orang ;
·           yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan
·           dengan tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1),
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000, 00 (enam ratus juta rupiah).
f)       Pasal 96
·           Setiap orang ;
·           yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·           dengan tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000, 00 (delapan ratus juta rupiah).
g)     Pasal 97 (1)
·           Nakhoda ;
·           yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan ;
·           yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) ;
·           dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
h)     Pasal 97 (2)
·           Nakhoda ;
·           yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing ;
·           yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI ;
·           namun membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2),
·           dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).
i)       Pasal 97 (3)
·           Nakhoda ;
·           yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan ;
·           dengan tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3),
       Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
j)       Pasal 98
·           Nakhoda ;
·           yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) ;
·           Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah).
k)      Pasal 99
·           Setiap orang asing ;
·           yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·           dengan tidak memiliki izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah).

l)       Pasal 100
·           Setiap orang ;
·           yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ;
·           dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

2.    Kategori Kejahatan
a)     Pasal 84 (1)
·           Setiap orang ;
·           dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan ;
·           dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
·           yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
b)     Pasal 84 (2)
·           Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal ;
·           dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan ;
·           dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
·           yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000, 00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
c)           Pasal 84 (3)
·           Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan ;
·           dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan ;
·           dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
·           yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
d)     Pasal 84 (4)
·           Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan ;
·           dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·           menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan ;
·            yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
e)          Pasal 85
·           Setiap orang ;
·           dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan ;
·           yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
f)       Pasal 86 (1)
·           Setiap orang ;
·           dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan
·           Perbuatan tersebut  mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
g)          Pasal 86 (2)
·           Setiap orang ; 
·           dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
·           membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
h)          Pasal 86 (3)
·           Setiap orang
·           dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
·           membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
i)            Pasal 86 (4)
·           Setiap orang ;
·           dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·           menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
j)            Pasal 88
·           Setiap orang ;
·           dengan sengaja memasukkan, megeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
k)           Pasal 91
·           Setiap orang ;
·           dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan
·           dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
l)            Pasal 92
·           Setiap orang ;
·           dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·           melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
m)         Pasal 93 (1)
·           Setiap orang  yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia
·           melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas ;
·           dengan tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
n)          Pasal 93 (2)
·           Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing ;
·           melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·           dengan tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000, 00 (dua puluh miliar rupiah).
o)          Pasal 94
·           Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
·           melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) ;
·           dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000, 00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).













DAFTAR PUSTAKA


Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis. Jakarta : PT. Gunung Agung.

Djamali, R. Abdul. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Effendi, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana. Makassar : Leppem-UMI

Lamintang. 1996. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT. Citra Adiya Bakti.

Prastowo, RB. Budi. 2003. Jurnal Pro Justitia. Universitas Katolik Parahyangan

Susilo, R. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bogor : Politea.

Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.

No comments:

Post a Comment

Yang Penting Komentar!