FEMINISME
Teori politik feminis kontemporer sangat beragam, baik dalam premis maupun kesimpulan.
Hal ini untuk sebagian juga benar berkenaan dengan teori lain yang telah saya
amati. Tetapi keragaman ini berlipatganda dalam feminisme, karena masing-masing
teori lain itu terwakili dalam feminisme. Jadi, kita memiliki feminisme liberal, feminisme
sosialis bahkan feminisme libertarian. Selain itu, terdapat gerakan penting dalam
feminisme yang dimaksudkan untuk mencapai kemampuan berteori, seperti teori
psikoanalitik atau teori post-struktural, yang terletak diluar batas arus utama
filsafat politik Anglo-Amerika. Alison Jaggar mengatakan bahwa komitmen untuk
menghapuskan subordinasi wanita menyatukan keragaman madzab teori feminis
(Jaggar 1983 : 5). Tetapi (sebagaimana Jaggar mencatat) kesepakatan ini
segera larut dalam penilaian yang sama sekali berbeda tentang subordinasi itu
dan tentang ukuran-ukuran yang diperlukan untuk menghapuskannya.
Diperlukan sebuah buku terpisah untuk
mendiskusikan masing-masing dari madzab teori feminis ini[1].
Saya justru akan memusatkan perhatian pada tiga kritik
kaum feminis tentang bagaimana para ahli teori politik arus utama menangani,
atau gagal menangani, kepentingan dan keprihatinan kaum wanita. Saya telah menyatakan
bahwa sebagian besar teori politik kontemporer menyepakati ’dataran egalitarian’ (egalitarian plateu),
sebuah komitmen pada gagasan bahwa seluruh anggota masyarakat harus diperlukan
secara sama. Namun, sampai detik ini, sebagian besar filsafat politik arus
utama mempertahankan, atau setidaknya, menerima, diskriminasi seksual. Dan meskipun
pandangan tradisional tentang diskriminasi seksual telah berangsur-angsur diabaikan,
banyak kaum feminis percaya bahwa prinsip-prinsip yang dikembangkan berdasarkan
pertimbangan pengalaman dan kepentingan kaum laki-laki tidak dapat secara memadai
mengenali kebutuhan-kebutuhan kaum wanita, atau menjadikan bagian dari
pengalaman kaum wanita. Saya akan mempertimbangkan tiga argumen semacam itu.
Yang pertama memusatkan perhatian pada penilaian ’netralitas-gender’ tentang
diskriminasi seksual; yang kedua memusatkan perhatian pada distingsi publik dan
privat. Kedua argumen ini mengklaim bahwa aspek-aspek penting dari konsepsi keadilan
demokrasi liberal adalah bias laki-laki. Argumen yang ketiga, di pihak lain,
mengklaim bahwa penekanan pada keadilan dalam dirinya sendiri mencerminkan
sebuah bias laki-laki, dan bahwa setiap
teori yang tanggap terhadap kepentingan dan pengalaman kaum wanita akan
menggantikan penekanan pada keadilan dengan penekanan pada kepedulian. Ketiga argumen
ini hanya memberikan gagasan terbatas dari jangkauan teori feminis akhir-akhir
ini, tetapi argumen-argumen itu mengangkat masalah yang harus dibicarakan oleh
setiap penilaian tentang persamaan seksual, dan ketiganya mewakili titik-titik
persentuhan yang paling bertahan antara feminisme dan arus utama filsafat
politik.
1.PERSAMAAN
SEKSUAL DAN DISKRIMINASI
Justru hingga abad sekarang ini, sebagian besar teoritisi laki-laki pada
semua titik spektrum politik menerima keyakinan bahwa telah ada ’dasar landasan’
pengurungan kaum wanita pada keluarga, dan untuk ’penaklukan secara hukum dan adat kebiasaan kaum wanita pada suaminya’
dalam keluarga (Okin 1979: 200)[2]. Pembatasan
hak-hak sipil dan politik kaum wanita dikatakan dapat dibenarkan oleh kenyataan
bahwa wanita, secara alamiah, tidak cocok untuk aktivitas-aktivitas politik dan
ekonomi di luar rumah. Teoritisi
kontemporer secara berangsur-angsur telah mengabaikan asumsi inferioritas
alamiah kaum wanita ini. Mereka menerima bahwa para wanita, seperti laki-laki,
harus dilihat sebagai ’mahluk yang bebas dan sama’, mampu menentukan nasib
sendiri dan merasakan keadilan, dan karena itu bebas memasuki wilayah publik.
Dan demokrasi liberal secara berangsur-angsur telah mengadopsi status
anti-diskriminasi yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa para wanita memiliki
akses yang sama kepada pendidikan, pekerjaan, kantor politik dan sebagainya.
Tetapi, status anti-diskriminasi ini tidak menyebabkan terjadinya persamaan
seksual. Di Amerika Serikat dan Kanada, jumlah segregasi pekerjaan dalam
jabatan dengan gaji terendah mengalami peningkatan. Bahkan, jika kecenderungan
yang ada sekarang ini berlanjut, semua penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan di Amerika Serikat pada tahun 2000 akan terdiri dari wanita dan
anak-anak (Weitzman 1985: 350). Selain itu, kekerasan domestik dan perkosaan
meningkat, sebagaimana bentuk-bentuk kekerasan dan perendahan martabat lain yang
ditujukan pada para wanita. Catherine Mackinnon merangkum penelitiannya tentang
pengaruh persamaan hak-hak di Amerika Serikat dengan mengatakan bahwa ’hukum
persamaan seks samasekali tidak efektif dalam memberikan wanita sesuai dengan kebutuhannya
dan dalam melindunginya secara sosial dari pemilikan berdasarkan kondisi
kelahiran: kesempatan hidup secara produktif dengan keamanan fisik yang layak,
pernyataan diri, individuasi dan kehormatan minimal dan martabat’ (Mackinnon
1987: 32).
Mengapa demikian? Diskriminasi seks, sebagaimana umum diartikan, melibatkan
kesewenang-wenangan atau penggunaan gender secara irasional dalam pemberian
keuntungan atau posisi. Menurut pandangan ini, bentuk paling telanjang dari
diskriminasi seks adalah ketika, misalnya, seseorang menolak mempekerjakan
seorang wanita dalam sebuah pekerjaan, meskipun gender tidak punya hubungan rasional
dengan tugas yang dijalankan. Mackinnon menyebut ini sebagai ’pendekataan
perbedaan’ (difference approach) pada diskriminasi seksual, karena ia
melihat sebagai perlakuan timpang yang mendiskriminasi yang tak dapat
dibenarkan berdasarkan rujukan perbedaan seksual.
Hukum diskriminasi seks semacam ini dibentuk berdasarkan hukum diskriminasi
rasial. Dan sebagaimana perundangan-undangan persamaan rasial ditujukan pada
masyarakat yang “buta-warna“, maka hukum persamaan seks ditujukan pada
masyarakat yang buta-seks. Suatu masyarakat tidak akan diskriminatif jika ras
atau gender tidak pernah memasuki penganugerahan keuntungan. Tentu saja,
sementara dapat diterima bahwa keputusan-keputusan ekonomi dan politik dapat
sama sekali mengesampingkan ras, justru sulit melihat bagaimana masyarakat
dapat sama sekali buta-seks. Sebuah masyarakat yang memberikan keuntungan bagi
yang hamil, atau olahraga yang secara seksual terpisah, adalah memperhitungkan
seks, tetapi hal ini tidak nampak sebagai tak adil. Dan meskipun kamar kecil
yang terpisah secara seksual jelas mendiskriminasi, kebanyakan orang tidak
merasa bahwa toilet yang dipisahkan atas dasar seks sebagai mendiskriminasi.
Maka, pendekatan perbedaan menerima bahwa ada contoh-contoh yang absah tentang
perlakuan seks yang berbeda. Tetapi, ini tidak mendiskriminasi sejauh terdapat
perbedaan seks yang sungguh-sungguh yang menjelaskan dan membenarkan perbedaan
perlakuan. Para penentang persamaan hak wanita seringkali menyerukan gambaran
yang menyedihkan dari olah-raga (atau kamar kecil) yang disatukan secara
seksual sebagai bukti bahwa persamaan seks adalah salah jalan. Tetapi para
pembela pendekatan yang berbeda (difference
approach) menjawab bahwa kasus pembedaan yang dapat dibenarkan adalah cukup
jarang, dan kasus pembedaan secara sewenang-wenang begitu umum, sehingga beban
pembuktian terletak pada mereka yang mengklaim bahwa sex adalah landasan yang
relevan untuk menetapkan keuntungan dan posisi.
Pendekatan perbedaan, sebagai penafsiran standar dari hukum persamaan seks
dalam kebanyakan masyarakat Barat, memiliki sejumlah keberhasilan. ’Gagasan
moralnya’ adalah untuk ’mengakui akses kaum wanita pada apa yang dimiliki kaum pria’
dan ini tentu saja telah ’menyebabkan kaum wanita mendapatkan sejumlah akses pada
peluang kerja dan pendudukan, pengejaran publik, termasuk akademisi, profesional,
pekerja kerah biru, militer, dan lebih dari sekadar akses nominal pada atletik’
(Mackinon 1987: 33, 35). Pendekataan perbedaan membantu menciptakan
akses-netral gender pada, atau persaingan demi, posisi dan keuntungan yang ada.
Tetapi keberhasilanya terbatas, karena ini mengabaikan ketidaksamaan gender
yang dikembangkan dalam kebanyakan difinisi dari posisi-posisi ini. Pendekatan perbedaan melihat ketidaksamaan seks dalam pengertian
kemampuan wanita bersaing dibawah aturan-aturan netralitas-gender demi peranan
yang telah ditentukan oleh laki-laki. Tetapi persamaan tidak dapat dicapai
dengan membiarkan laki-laki membangun lembaga-lembaga sosial menurut
kepentingannya, dan lalu mengabaikan gender para calon tersebut ketika
memutuskan siapa yang mengisi peranan dalam lembaga-lembaga ini. Masalahnya
adalah bahwa peranan mungkin ditentutan sedemikian rupa sehingga menyebabkan
kaum laki-laki lebih sesuai dengan peranan itu, bahkan dibawah persaingan
netralitas gender.
Pertimbangkan
fakta bahwa sebagian besar pekerjaan ‘mensyaratkan bahwa seseorang, yang netral
secara gender, yang memenuhi syarat bagi pekerjaan itu adalah mereka yang bukan
pengurus utama anak pra-sekolah’ (Mackinnon 1987: 37). Mengingat bahwa wanita
masih diharapkan mengurusi anak dalam masyarakat kita, laki-laki akan cenderung
lebih baik dalam persaingan untuk pekerjaan semacam itu dibandingkan dengan
wanita. Ini bukan karena pelamar wanita didiskriminasikan. Penyedia kerja
mungkin tidak memperhatikan gender dari para pelamar, atau dalam kenyataannya
mungkin ingin mempekerjakan lebih banyak wanita. Masalahnya adalah banyak
wanita kehilangan kualifikasi yang relevan untuk pekerjaan itu—yaitu, dengan terbebas
dari tanggungjawab mengurus anak. Ada
netralitas gender, dimana penyedia kerja tidak memberikan perhatian pada gender
pelamar, tetapi tidak ada persamaan seksual, karena pekerjaan telah ditentukan
dengan anggapan akan diisi oleh kaum laki-laki yang beristri di rumah merawat
anak-anak. Perbedaan pendekatan bersikeras bahwa gender hendaknya tidak
dipertimbangkan dalam memutuskan siapa yang harus memiliki pekerjaan, tetapi
ini mengabaikan kenyataan bahwa ’saat ketika gender dipertimbangkan adalah saat
ketika pekerjaaan dirancang dengan harapan bahwa penghuni pekerjaan itu tidak
memiliki tanggungjawab merawat anak’ (Mackinnon 1987: 37).
Apakah
netralitas-gender menghasilkan persamaan seksual atau tidak tergantung pada
apakah dan bagaimana gender dipertimbangkan terlebih dahulu. Sebagaimana Janet
Radcliffe mengatakan,
Jika suatu kelompok tidak dilibatkan
dari sesuatu dalam waktu yang cukup lama, sangat besar kemungkinannya bahwa
aktivitas dari bentuk semacam itu akan berkembang dalam cara yang tidak cocok
untuk kelompok yang disisihkan. Kita mengetahui dengan pasti bahwa kaum wanita
telah tidak dilibatkan dari banyak jenis pekerjaan, dan ini berarti bahwa
pekerjaan itu sangat mungkin menjadi tidak cocok bagi mereka. Contoh yang
paling jelas tentang ini adalah ketidaksesuaian banyak pekerjaan dengan
penjagaan dan pemeliharaan anak; saya sangat yakin bahwa jika kaum wanita
dilibatkan secara penuh sejak awal dalam pengelolaan masyarakat, mereka akan
menemukan cara mengatur pekerjaan dan anak-anak agar cocok satu sama lain. Kaum
laki-laki tidak memiliki motivasi semacam ini, dan kita dapat melihat hasilnya
(Radcliffe Richards 1980: 113-14).
Pertentangan
yang diciptakan kaum laki-laki antara pemeliharaan anak (child-rearing) dan pekerjaan yang digaji (paid labour) ini menghasilkan kepincangan yang sangat dalam bagi
kaum wanita. Hasilnya bukan hanya bahwa sebagian besar dari posisi yang
berharga dalam masyarakat diisi oleh kaum laki-laki, sementara kaum wanita
terkonsentrasi secara tidak proporsional
kedalam pekerjaan paruh waktu dengan gaji yang lebih rendah, tetapi juga bahwa
banyak kaum wanita tergantung secara ekonomi pada kaum laki-laki. Ketika
sebagian besar ’pendapatan rumah tangga’ berasal dari pekerjaan yang dibayarkan
kepada laki-laki, wanita yang menjalankan pekerjaan rumah tangga tanpa gaji
menjadi tergantung kepadanya untuk mendapatkan akses pada sumberdaya. Akibat
dari ketergantungan ini menjadi lebih jelas seiring dengan meningkatnya angka
perceraian. Meskipun pasangan yang menikah mungkin berbagi standar hidup yang
sama selama perkawinan, tidak peduli siapa yang memperoleh penghasilan,
pengaruh perceraian adalah ketidakseimbangan yang sangat menyedihkan. Di
Kalifornia, rata-rata standar hidup laki-laki meningkat 42 per sen setelah perceraian,
wanita menurun 73 per sen, dan hasil serupa telah ditemukan pada negara-negara
lain (Okin 1989b: 161). Akan tetapi, tidak satupun akibat pertentangan tidak
seimbang antara pemeliharaan anak dan pekerjaan yang digaji ini mendiskriminasi,
menurut pendekatan perbedaan, karena hal itu tidak melibatkan diskriminasi
secara sewenang-wenang. Faktanya adalah kemerdekaan dari tanggungjawab
memelihara anak adalah relevan pada kebanyakan pekerjaan yang ada, dan penyedia
kerja tidak semaunya sendiri dalam menuntut kemerdekaan ini. Karena merupakan
pembatasan yang relevan, pendekatan perbedaan mengatakan bahwa menuntut
kemerdekaan dari tanggungjawab memelihara anak tidaklah mendiskriminasi,
terlepas dari ketidakberuntangan yang diciptakannya bagi kaum wanita. Tentu
saja, pendekatan perbedaan melihat kepedulian pada tanggungjawab memelihara
anak, ketimbang kriteria yang tidak relevan seperti gender, sebagai bukti bahwa
diskriminasi seks telah ditiadakan. Pendekatan perbedaan tidak dapat melihat
bahwa relevansi tanggungjawab memelihara anak dalam dirinya sendiri adalah sumber
kepincangan seksual yang sangat mendalam, sesuatu yang muncul dari cara kaum
laki-laki secara historis menyusun ekonomi agar sesuai dengan
kepentingan-kepentingan mereka.
Jadi sebelum
kita memutuskan apakah gender harus dipertimbangkan, kita perlu mengetahui
bagaimana gender telah dipertimbangkan. Dan kenyataannya adalah bahwa hampir
semua peranan dan posisi yang penting telah disusun menurut cara-cara yang
bias-gender:
hampir semua kualitas yang
membedakan laki-laki dari wanita sudah secara tegas terimbangi dalam masyarakat
ini. Fisiologi kaum laki-laki menentukan sebagian besar keolah-ragaan,
kebutuhan mereka menentukan jaminan asuransi kesehatan dan mobil, biografi yang
secara sosial mereka susun menentukan harapan-harapan tempat kerja dan
pola-pola keberhasilan karir, minat dan perspektif mereka menentukan kualitas
kesarjanaan, pengalaman dan obsesi mereka menentukan prestasi, objektifikasi
mereka tentang kehidupan menentukan seni, dinas kemiliteran mereka menentukan
kewarganegaraan, kehadiran mereka menentukan keluarga, ketidakmampuan mereka
dalam menjalin persahabatan satu sama lain—peperangan dan kepemimpina
mereka—menentukan sejarah, citra mereka menentukan tuhan, dan alat kelamin
mereka menentukan seks. Untuk tiap-tiap perbedaan mereka dari kaum wanita, apa
yang mempengaruhi rencana aksi penegasan (affirmative
action plan) akan berpengaruh, atau sebaliknya dikenal sebagai nilai dan
struktur dari masyarakat Amerika (Mackinnon 1987: 36).
Semua ini adalah ’netral-gender’, dalam
arti bahwa kaum wanita tidak secara sewenang-wenang tersisihkan dari pengejaran
hal-hal yang oleh masyarakat ditentukan sebagai bernilai. Tetapi ini adalah
seksis, karena hal-hal yang dikejar dalam cara yang netral-gender itu
didasarkan pada nilai-nilai dan berbagai kepentingan kaum laki-laki. Kaum
wanita tidak diuntungkan, bukan karena sifat chauvinistis yang secara sewenang-wenang lebih mendukung kaum
laki-laki dalam pemberian pekerjaan, tetapi karena keseluruhan masyarakat
secara sistematis mendukung kaum laki-laki dalam menentukan pekerjaan, prestasi
dan sebagainya.
Tentu saja,
semakin masyarakat menentukan posisi menurut cara gender, semakin berkurang
kemampuan pendekatan perbedaan dalam mendeteksi kepincangan. Pertimbangkan
masyarakat yang membatasi akses pada kontrasepsi dan aborsi, yang menentukan
pekerjaan yang dibayar sedemikian rupa sehingga tidak sesuai dengan tanggungan
dan pemeliharaan anak, dan yang tidak menyediakan kompensasi ekonomi untuk pekerjaan
domestik. Setiap wanita yang menghadapi kehamilan yang tidak direncanakan dan
yang tidak dapat mengasuh anak maupun tidak bekerja mendapatkan penghasilan,
menyebabkan bergantung secara ekonomi pada seseorang yang memperoleh pendapatan
stabil (yaitu, laki-laki). Dalam rangka memastikan bahwa wanita itu mendapatkan
dukungan, wanita harus menjadi menarik dimata laki-laki. Mengetahui bahwa ini
merupakan kemungkinan nasibnya, banyak gadis tidak mencoba sekuat tenaga
seperti halnya anak laki-laki dalam mendapatkan ketrampilan pekerjaan yang
hanya dapat dijalankan oleh mereka yang menghindari kehamilan. Jika anak
laki-laki mengejar kepastian personal dengan meningkatkan ketrampilan
pekerjaan, anak perempuan mengejar kepastian dengan meningkatkan daya-tarik mereka
dimata laki-laki. Ini, pada gilirannya, menghasilkan sistem identifikasi
kebudayaan dimana kelaki-lakian (masculinity)
diasosiasikan dengan perolehan-penghasilan, dan keperempuanan (femininity) ditentukan dalam pengertian
pelayanan domestik dan seksual demi laki-laki, dan pengasuhan anak. Jadi,
laki-laki dan wanita memasuki perkawinan dengan kemungkinan perolehan
penghasilan yang berbeda, dan disparitas ini meluas selama masa perkawinan,
karena sang laki-laki memperoleh pengalaman pekerjaan yang bernilai. Karena wanita
menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam menyokong dirinya sendiri di luar
perkawinan, ia akan lebih tergantung dalam mempertahankan perkawinan, dan
laki-laki kemudian menjalankan pengaturan yang lebih besar di dalamnya.
Dalam
masyarakat seperti itu, laki-laki sebagai kelompok menjalankan pengaturan atas
kesempatan hidup umum kaum wanita (melalui keputusan politik disekitar aborsi,
dan keputusan ekonomi yang berkaitan dengan ketentuan pekerjaan), dan individu
laki-laki menjalankan pengaturan pada wanita yang rentan secara ekonomi dalam
perkawinan. Namun, tidak berarti ada diskriminasi secara sewenang-wenang. Semua
ini adalah netral-gender, dalam arti gender seseorang tidak niscaya
mempengaruhi bagaimana seseorang diperlakukan oleh mereka yang menentukan
pembagian kontrasepsi, pekerjaan atau upah domestik. Tetapi, meskipun pendekatan
perbedaan mengambil ketiadaan diskriminasi secara sewenang-wenang sebagai bukti
dari tiadanya kepincangan seksual, dalam kenyataannya ini merupakan bukti dari pengaruhnya
yang mendalam. Justru karena kaum wanita didominasi dalam masyarakat yang tidak
mengakui adanya diskriminasi ini. Diskriminasi secara sewenang-wenang dalam
pekerjaan bukan hanya tidak perlu demi menjaga hak istimewa laki-laki, dan
kecil kemungkinannya terjadi, karena kebanyakan wanita tidak pernah berada
dalam posisi didiskriminasikan secara sewenang-wenang dalam pekerjaan. Barangkali, wanita kadangkala dapat
mengatasi tekanan sosial yang mendukung peranan seks tradisional. Tetapi
semakin besar dominasi, maka semakin kecil kemungkinan bahwa setiap wanita akan
berada dalam posisi bersaing demi pekerjaan, dan karena itu semakin kecil ruang
bagi diskriminasi secara sewenang-wenang.
Semakin besar kepincangan seksual yang ada dalam masyarakat, maka
institusi-institusi sosial itu juga semakin mencerminkan kepentingan kaum
laki-laki, dan diskriminasi yang ada juga semakin kurang sewenang-wenang.
Tidak satupun demokrasi Barat kontemporer benar-benar cocok dengan model
masyarakat patriarkal ini, tetapi mereka semua menyetujui ciri-ciri pokoknya.
Dan jika kita harus menghadapi bentuk ketidakadilan ini, kita perlu menyusun
kembali gagasan kepincangan sosial sebagai masalah; bukan diskriminasi secara
sewenang-wenang, tetapi dominasi. Sebagaimana Mackinnon mengatakannya,
menghendaki bahwa seseorang sama
sebagaimana mereka yang menyiapkan standar—mereka yang secara sosial sudah
ditentukan berbeda dari orang itu—hanya berarti bahwa persamaan seks secara
konseptual dirancang untuk tidak pernah tercapai. Mereka yang paling
membutuhkan perlakuan yang sama secara sosial akan merupakan yang paling kurang
serupa dengan mereka yang situasinya menyiapkan standar seperti pada pengukuran
tentang hak pemilikan seseorang yang diperlakukan sama. Dikatakan secara
doktrinal, masalah terdalam dari kepincangan seks tidak akan menempatkan kaum
wanita ’berada dalam keadaan serupa’ dengan laki-laki. Praktek kepincangan seks
akan semakin tidak mengharuskan bahwa tindakan tersebut adalah mendiskriminasi secara
sengaja (Mackinnon 1987: 44; bandingkan Taub dan Schneider 1982: 134).
Subordinasi
kaum wanita secara fundamental bukan merupakan masalah pembedaan irasional atas
dasar seks, melainkan tentang supremasi laki-laki, yang dengan ini perbedaan
gender menjadi relevan untuk distribusi keuntungan, untuk ketidakberuntungan
wanita secara sistematis (Mackinnon 1987: 42; Frye 1983: 38).
Karena masalahnya adalah dominasi, penyelesainnya bukan hanya ketiadaan diskriminasi,
tetapi adanya kekuasaan. Persamaan mensyaratkan bukan hanya kesempatan yang sama
untuk mengejar peranan yang ditentukan kaum laki-laki, tetapi juga kekuasaan
yang sama untuk menciptakan peranan yang ditentukan oleh kaum perempuan, atau
untuk menciptakan peranan yang berciri laki-laki dan wanita (Androgynous) sehingga baik laki-laki dan
wanita memiliki kepentingan yang sama untuk mengisinya. Hasil dari pemberdayaan
semacam itu bisa menjadi sangat berbeda dari masyarakat kita, atau dari persamaan
kesempatan untuk memasuki lembaga masyarakat laki-laki yang disukai oleh teori
diskriminasi kontemporer. Dari posisi kekuasaan yang sama, kita tidak akan
menciptakan sistem peranan sosial yang menentukan pekerjaan ’jenis laki-laki’
sebagai lebih superior daripada pekerjaan ’jenis wanita’. Misalnya, peranan
praktisi kesehatan laki-laki dan wanita didefinisikan kembali oleh laki-laki
secara bertentangan dengan keinginan wanita dalam bidang ini. Dengan
profesionalisasi kedokteran, kaum wanita direbut dari peranan pelayan kesehatan
tradisionalnya sebagai bidan dan penyembuh, dan diturunkan pada peranan sebagai
bidan, suatu posisi yang tunduk pada, dan secara finansial kurang menjanjikan
ketimbang, peranan dokter. Pendefinisian kembali seperti itu tidak mungkin terjadi
jika wanita telah ada dalam posisi persamaan, harus dipikirkan kembali sekarang
jika kaum wanita bermaksud mencapai persamaan.
Penerimaan pendekatan dominasi akan membutuhkan banyak perubahan dalam
relasi gender. Tetapi perubahan apa yang akan diperlukan dalam teori kita
tentang keadilan? Sebagian besar ahli teori yang didiskusikan dalam bab-bab
sebelumnya secara implisit atau eksplisit menerima pendekatan perbedaan.
Tetapi, tidakkah itu mencerminkan kekurangan dalam prinsip-prinsip mereka, atau
kekurangan dalam cara prinsip-prinsip itu diterapkan pada masalah gender?
Banyak kaum feminis menyatakan bahwa kekurangannya terletak pada
prinsip-prinsip itu sendiri, bahwa para ahli teori ’aliran-laki-laki’
(sebagaimana Mary O’Brien menamakannya) baik kiri maupun kanan menafsirkan
persamaan dengan cara yang tidak dapat mengenali subordinasi wanita. Tentu
saja, sebagian kaum feminis menyatakan bahwa perjuangan terhadap subordinasi
seksual mengharuskan kita meninggalkan gagasan yang menginterpretasikan
keadilan dalam pengertian persamaan. Elizabeth Gross menyatakan bahwa karena
wanita harus bebas menentukan kembali peranan sosialnya, tujuan mereka paling
baik dilukiskan sebagai politik ’otonomi’ ketimbang politik ’persamaan’’:
Otonomi mengimplikasikan hak untuk melihat
diri sendiri berdasarkan pertimbangan apapun yang dipilih seseorang—yang
mungkin mengimplikasikan integrasi atau aliansi dengan kelompok atau individu
lain, atau mungkin tidak. Persamaan, di pihak lain, mengimplikasikan pengukuran
berdasarkan standar yang ada. Persamaan merupakan padanan dari dua (atau lebih)
pertimbangan, yang salah satunya
mengambil peranan norma atau model tanpa dipertanyakan. Otonomi, sebaliknya,
mengimplikasikan hak menerima atau menolak norma atau standar itu menurut ketepatannya
untuk definisi diri seseorang. Perjuangan demi persamaan...mengimplikasikan
penerimaan standar yang ada dan konformitas pada persyaratan dan
harapan-harapannya. Perjuangan demi otonomi, di pihak lain, mengimplikasikan
hak menolak berbagai standar semacam itu dan menciptakan standar-standar yang
baru (Gross 1986: 193)
Gross
mengasumsikan bahwa persamaan seks harus ditafsirkan dalam arti penghapusan
diskriminasi secara sewenang-wenang. Tetapi pendekatan dominan juga merupakan sebuah
penafsiran tentang persamaan, dan jika kita menerimanya, maka otonomi menjadi
bagian teori terbaik tentang persamaan seksual, bukan nilai yang saling
bersaing. Argumen otonomi wanita menyerukan pada, ketimbang bertentangan
dengan, gagasan yang lebih dalam mengenai persamaan moral, karena ini
menegaskan bahwa kepentingan dan pengalaman wanita seharusnya sama-sama penting
dalam membentuk kehidupan sosial. Sebagaimana Zillah Eisenstein menyatakannya,
’persamaan dalam pengertian ini berarti
pemilikan persamaan nilai para individu sebagai mahluk hidup. Menurut visi ini,
persamaan tidak berarti menjadi serupa dengan laki-laki, sebagaimana keadaan
mereka sekarang ini, atau memiliki persamaan dengan penindas seseorang’
(Eisenstein 1984: 253).
Jadi, pendekatan dominan sependapat dengan komitmen teoritisi arus utama pada
persamaan. Tetapi, apakah ini konsisten dengan cara mereka menafsirkan komitmen
itu—misalnya, apakah pendekatan dominan cocok dengan pandangan persamaan
sumberdaya liberal? Mckinnon menyatakan bahwa pendekatan dominan membawa kita
keluar dari prinsip-prinsip dasar liberalisme. Apakah demikian halnya? Benar bahwa
para ahli teori liberal, seperti para ahli teori aliran laki-laki yang lain,
sudah menerima pendekatan perbedaan tentang persamaan seks, dan sebagai
hasilnya, tidak sungguh-sungguh menyerang subordinasi wanita. Tetapi, seseorang
dapat menyatakan bahwa kaum liberal (dan para ahli teori kontemporer yang lain)
menghianati prinsip mereka sendiri dalam menerima pendekatan perbedaan[3].
Tentu saja pemisahan antara pendekatan perbedaan dan prinsip-prinsip liberal
adalah jelas. Komitmen liberalism pada otonomi dan persamaan kesempataan, dan
pada distribusi sumberdaya yang peka ambisi, tidak peka-warisan, menyingkirkan
pembagian gender secara tradisional. Nampaknya tidak terdapat alasan mengapa
bias-gender dari berbagai peranan sosial yang kini ada tidak akan diakui oleh
para pelaku kontrak dalam posisi asli Rawls sebagai sumber ketidakadilan.
Walaupun Rawls sendiri tidak mengatakan apapun tentang bagaimana pelaku
kontraknya akan menafsirkan persamaan seks, yang lainnya menyatakan bahwa
logika dari konstruksi Rawls—yaitu, komitmen untuk menghapuskan kepincangan
yang tidak pantas, dan kemerdekaan memilih tujuan-tujuan kita—mensyaratkan
pembaharuan yang radikal. Sebagai contoh, Karen Green menyatakan bahwa
kepentingan para pelaku kontrak dalam persamaan kebebasan mensyaratkan
pendistribusian kembali pekerjaan domestik (Green 1986: 31-5). Dan Susan Okin
menyatakan bahwa para pelaku kontrak Rawls akan mendesakkan serangan yang lebih
menyeluruh atas sistem diferensiasi gender, dengan menghapuskan baik pembagian
kerja domestik yang tidak merata dan
objektifikasi seksual (Okin 1987: 67-8). Kesimpulan serupa tentang
ketidakadilan peranan gender secara tradisional dapat dicapai jika kita
mempertanyakan apakah berbagai peranan ini dapat lolos darri uji fairness yang dikembangkan Dworkin
(bandingkan bab 3, bagian 5 di atas).
Meskipun kaum liberal secara historis mendukung pendekatan perbedaan, ini adalah
hasil, bukan kelemahan prinsip-prinsip, melainkan kelemahan aplikasi
prinsip-prinsip itu. Ini bukan berarti mengatakan bahwa kaum liberal hanya
mengabaikan masalah kepincangan seksual, seolah-olah tanpa sengaja. Terdapat
alasan kepentingan diri yang jelas mengapa para ahli teori laki-laki telah menghindarkan
pendekatan dominan. Lebih dari itu, sebagaimana yang akan kita lihat, komitmen
pada penilaian yang lebih kuat tentang persamaan seksual ini memunculkan
pertanyaan yang sulit tentang bagaimana hubungan antara privat dan publik dan
antara keadilan dan kepedulian.
2.
PUBLIK DAN PRIVAT
Jika kita
menerapkan pendekatan dominan pada persamaan seks, salah satu masalah utama
terkait dengan distribusi pekerjaan domestik yang pincang, dan pertalian antara
tanggungjawab dalam keluarga dan tempat kerja. Tetapi teoritisi arus utama
sudah berhati-hati dalam menghadapi pertalian keluarga dan menilai pertalian
keluarga ini dalam rangka ukuran-ukuran keadilan. Kaum liberal klasik,
misalnya, menganggap bahwa keluarga (yang dipimpin laki-laki) merupakan unit
yang ditentukan secara bilogis dan bahwa keadilan menunjuk pada pertalian yang
ditetapkan secara konvensional diantara keluarga (Pateman 1980: 22-4). Karena
itu, persamaan alamiah yang mereka bicarakan adalah tentang ayah sebagai wakil
keluarga, dan kontrak sosial yang mereka bicarakan mengatur pertalian antar
keluarga. Keadilan menunjuk pada wilayah ’publik’ dimana laki-laki dewasa
berhubungan dengan laki-laki dewasa lain sesuai dengan konvensi yang sama-sama
disepakati. Hubungan kekeluargaan, di pihak lain adalah
’privat’, diatur oleh insting alamiah atau simpati.
Teoritisi
kontemporer menyangkal bahwa hanya laki-laki yang memiliki kemampuan bertindak
dalam wilayah publik. Tetapi meskipun persamaan seksual ditegaskan sekarang,
persamaan ini masih diasumsikan, sebagaimana dalam teori liberal klasik, untuk
berlaku pada pertalian-pertalian di luar keluarga. Teoritisi keadilan masih
tetap mengabaikan pertalian-pertalian dalam keluarga, yang dianggap sebagai
wilayah yang secara esensial alamiah. Dan masih tetap diasumsikan, baik secara
implisit maupun eksplit, bahwa unit keluarga yang almiah adalah keluarga yang
secara tradisional dipimpin oleh laki-laki, dengan kaum wanita yang menjalankan
pekerjaan domestik tanpa upah dan reproduksi. Sebagai misal, walaupun J.S. Mill
menekankan bahwa kaum wanita sama-sama memiliki kemampuan mencapai usaha dalam
semua bidang, ia menganggap bahwa kaum wanita akan tetap menjalankan pekerjaan
domestik. Ia mengatakan bahwa pembagian kerja secara seksual dalam keluarga
telah ’dibuat berdasarkan kesepakatan, atau pada semua kejadian tidak menurut
hukum, melainkan menurut kebiasaan umum’, dan ia membela hal ini sebagai
’pembagian kerja yang paling sesuai di antara dua orang’:
Seperti laki-laki tatkala memilih
suatu profesi, maka, ketika seorang perempuan menikah, secara umum mungkin
dipahami bahwa ia membuat pilihan manajemen dalam rumah tangga, dan membesarkan
sebuah keluarga, sebagai hal pertama yang meminta usahanya, selama tahun-tahun
kehidupannya sebagaimana mungkin demi tujuan yang dituntut, dan bahwa ia
menolak, bukan keseluruhan objek dan kesibukan lain, melainkan yang tidak
sejalan dengan tuntutan-tuntutan ini (Mill dan Mill 1970: 179).
Meskipun
teoritisi kontemporer jarang setegas Mill, mereka secara diam-diam
menyetujuinya anggapannya mengenai peranan kaum wanita dalam keluarga (atau
jika tidak, mereka tidak mengatakan apapun tentang bagaimana pekerjaan domestik
hendaknya didistribusikan atau diberi ganjaran). Misalnya, walaupun Rawls
mengatakan bahwa keluarga merupakan salah satu lembaga sosial yang dievaluasi
oleh teori keadilan, ia hanya menganggap bahwa keluarga tradisional adalah
adil, dan kemudian mengukur distribusi yang adil dalam pengertian ’pendapat
rumah tangga’ yang diterimakan pada ’kepala rumah tangga’, sehingga pertanyaan
tentang keadilan dalam keluarga menjadi tidak mungkin[4].
Pengabaian atas kelurga bahkan terdapat dalam banyak feminisme liberal, yang
’menerika pembagian antara wilayah publik dan privat, dan memilih untuk mencari
persamaan terutama dalam wilayah publik’ (Evans 1979: 19).
Keterbatasan setiap pendekatan terhadap persamaan seks yang mengabaikan
keluarga menjadi semakin jelas. Sebagaimana telah kita saksikan, hasil dari
’waktu-ganda’ pekerjaan kaum wanita adalah bahwa mereka terkonsentrasikan dalam
pekerjaan paruh waktu, upah yang rendah, yang pada giliranya membuat mereka
bergantung secara ekonomi. Tapi bahkan
jika kerentanan ekonomi ini disingkirkan, dengan menjamin pendapatan per tahun
bagi semua orang, tetap ada ketidakadilan yang diperkenalkan kaum wanita dengan
pilihan antara karir dan keluarga yang tidak dihadapi oleh laki-laki. Mill
mengklaim bahwa seorang wanita yang memasuki perkawinan menerima pekerjaan
tetap, seperti halnya seorang laki-laki yang memasuki suatu profesi adalah jelas tidak fair. Bagaimanapun, laki-laki
juga memasuki perkawinan—mengapa perkawinan harus memiliki akibat-akibat yang
sedemikian berbeda dan tidak seimbang bagi laki-laki dan wanita? Keinginan
untuk menjadi bagian suatu keluarga tidak seharusnya menyisihkan seseorang
memiliki suatu karir, dan sejauh perkawinan ini sungguh-sungguh membawa akibat
yang tak terhindarkan bagi karir, karir harus dipikul secara sama oleh
laki-laki dan wanita.
Lebih dari itu, masih selalu ada pertanyaan tentang mengapa pekerjaan
domestik tidak diberikan pengakuan publik yang lebih luas. Bahkan jika
laki-laki dan wanita sama-sama menjalankan pekerjaan domestik tanpa upah, ini
hampir tidak akan diperhitungkan sebagai persamaan seksual yang sesungguhnya
jika alasan kenapa pekerjaan ini tidak diupah adalah karena kebudayaan kita
tidak menghargai ’pekerjaan wanita’, atau segala hal yang ’feminin’. Seksisme
dapat hadir tidak hanya dalam distribusi pekerjaan domestik, tetapi juga dalam
evaluasinya. Dan karena tiadanya penghargaan atas rumah tangga terkait dengan
ketiadaan penghargaan atas pekerjaan kaum wanita, maka bagian dari perjuangan
demi peningkatan penghormatan terhadap wanita akan melibatkan peningkatan
penghormatan atas sumbangan mereka pada keluarga. Keluarga karena itu merupakan
pusat dari ketiadaan penghormatan kebudayaan maupun ketergantungan ekonomi yang
menimpa peranana tradisional kaum wanita. Dan hasil yang dapat diduga adalah
bahwa laki-laki memiliki kekuasaan yang tidak equal pada hampir semua perkawinan, kekuasaan yang dijalankan dalam
berbagai keputusan yang berkaitadan dengan pekerjaan, waktu luang, seks,
konsumsi, dan sebagainya, dan yang juga dijalankan, sejumlah kecil yang berarti
dari perkawinan, dalam berbagai tindakan atau ancaman dari kekerasan domestik
(Okin 1989b: 128-30).
Keluarga
karena itu merupakan lokus penting perjuangan demi persamaan seksual. Terdapat
kesepakatan yang makin meningkat diantara kaum feminis bahwa pertarungan demi
persamaan seks harus berlangsung diluar diskriminasi publik pada pola-pola
pekerjaan domestik dan ketiadaan penghormatan atas wanita dalam wilayah privat.
Kenyataannya, Carole Pateman mengatakan bahwa ’dikotomi antara publik dan
privat...merupakan hakikat dari gerakan feminis pada akhirnya’ (Pateman 1987:
103).
Menghadapi
ketidakadilan pada wilayah privat akan mensyaratkan perubahan-perubahan
substansial dalam kehidupan keluarga. Tetapi perubahan apa yang dituntut dari
teori-teori keadilan? Sebagaimana sudah kita saksikan, kegagalan menghadapi
kepincangan gender dalam keluarga bisa dilihat sebagai penghianatan liberal
atas prinsip-prinsip otonomi dan persamaan kesempataan. Akan tetapi, menurur
sejumlah kritikus feminis, kaum liberal menolak untuk mengintervensi keluarga,
bagi guna memajukan tujuan-tujuan otonomi dan persamaan kesempatan kaum
liberal, karena mereka terikat pada pembedaan publik dan privat, dan karena
mereka melihat bahwa keluarga merupakan pusat dari wilayah privat. Karena itu,
Jaggar menyatakan bahwa karena hak liberal pada keleluasaan pribadi ’mencakup
dan melindungi keintiman personal atas rumah, keluarga, perkawinan, keibuan,
prokreasi, dan pengasuhan anak, setiap proposal liberal untuk mencampuri
keluarga atas nama keadilan ’merupakan permulaan yang jelas dari konsepsi
liberal tradisional tentang keluarga sebagai pusat kehidupan privat
ini...karena tekanan feminis liberal pada keadilan semakin dibayang-bayangi penghormatannya
pada apa yang disebut kehidupan privat, orang mungkin mulai bertanya-tanya apakah nilai-nilai dasar liberalism pada
akhirnya konsisten satu sama lain’ (Jaggar 1983: 199). Dengan kata lain, kaum
liberal harus melepaskan komitmen mereka baik pada persamaan seksual maupun
pada pembedaan antara yang publik dan yang privat.
Bagaimanapun
adalah tidak jelas bahwa ’konsepsi liberal tradisional’ memandang keluarga
’sebagai pusat kehidupan privat’. Dalam kenyataannya ada dua konsepsi yang
berbeda mengenai pembedaan antara publik dan privat dalam liberalisme: yang
pertama, yang berasal dari Locke, adalah pembedaan antara yang sosial dan yang
politik; yang kedua, yang muncul dari kaum liberal yang dipengaruhi aliran
romantik, adalah pembedaan antara yang sosial dan yang personal. Keduanya tidak
memperlakukan keluarga sebagai sepenuhnya privat, atau menjelaskan, atau
memberikan pembenaran kekebalannya dari pembaharuan hukum. Tentu saja,
masing-masing pembedfaan, jika diterapkan pada keluarga, memberikan landasan
untuk mengkritik keluarga tradisional. Namun, kaum liberal tidak menerapkan
pembedaan ini pada keluarga dan mereka umumnya mengabaikan pernana keluarga
dalam menyusun baik kehidupan privat maupun kehidupan publik.
(a) Negara dan Masyarakat Sipil
Versi pertama
dari pembedaan liberal antara publik dan privat diilustrasikan oleh pembedaan
Constant antara kemerdekaan kuno dan modern. Kebebasan dari orang-orang kuno
adalah peran serta aktif mereka dalam menjalankan kekuasaan politik, bukan
kesenangan yang menentramkan dari ketidakterikatan pribadi. Penduduk Athena
adalah orang-orang bebas karena mereka memerintah diri mereka secara bersama,
meskipun mereka tidak memiliki kemerdekaan personal dan kebebasan sipil dan
diharapkan mengorbankan kesenangan mereka demi negara kota (polis). Kebebasan orang modern, di pihak
lain, terletak pada pengejaran yang tidak dapat dihalang-halangi dalam kebahagiaan
pekerjaan pribadi dan keterlekatan-nya, yang mensyaratkan kemerdekaan
penggunaan kekuasaan politik. Sementara orang-orang kuno mengorbankan kebebasan
privat untuk mempromosikan kehidupan politik, orang-orang modern memandang politik sebagai sarana (dan semacam
pengorbanan) yang diperlukan untuk melindungi kehidupan privat mereka.
Liberalisme menyatakan komitmennya pada kebebasan modern dengan memisahkan
secara tegas kekuasaan publik negara dari pertalian-pertalian privat masyarakat
sipil, dan dengan membatasi secara keras kemampuan dalam mencampuri kehidupan
privat.
Kritikus seringkali mengajukan keberatan atas pembedaan publik dan privat
ini dengan alasan bahwa tekanan liberalisme pada kehidupan privat adalah
anti-sosial. Menurut Marx, misalnya, hak-hak individu yang ditekankan oleh kaum
liberal adalah kemerdekaan ’orang yang diperlakukan sebagai monad yang terisolasi dan menyendiri
seorang diri...hak orang akan kemerdekaan tidak didasarkan pada penyatuan
manusia dengan manusia, melainkan pada pemisahan manusia dari manusia.
Kemerdekaan adalah hak akan pemisahan ini’ (Marx 1977b: 53). Namun, pandangan
liberal sebenarnya mengisyaratkan sosiabilitas alamiah kita. Sebagaimana Nancy
Rosenblum mencatat,
batas antara wilayah-wilayah ini tidak
mengimplikasikan bahwa kehidupan privat adalah sama sekali anti-sosial atau
apolitik. Kehidupan privat berarti kehidupan dalam masyarakat sipil, bukan
semacam keadaan alamiah prasosial atau kondisi anti-sosial dari isolasi dan
keterlepasan...kebebasan privat menyediakan pelarian dari pengawasan dan
interferensi para pegawai publik, melipatgandakan kemungkinan bagi penggabungan
dan asosiasi privat....Jauh dari mengundang apati, kebebasan privat dianggap
mendorong diskusi publik dan pembentukan kelompok yang memberikan akses para
individu pada kontek sosial yang lebih luas dan pada pemerintahan (Rosenblum
1987: 61).
Tatkala negara
membiarkan rakyat dalam ’kebebasan sempurna’ dari kehidupan privat, negara
tidak membiarkan mereka dalam isolasi, tetapi membiarkannya bebas untuk
membentuk dan mempertahankan ’kombinasi dan asosiasi’, atau apa yang dinamakan
Rawls ’serikat sosial bebas’ (free social
union). Karena kita binatang sosial, para individu akan menggunakan
kemerdekaan mereka untuk bergabung dengan yang lain dalam mengejar berbagai
tujuan bersama. Kemerdekaan, bagi kaum liberal klasik, tentu saja didasarkan
pada ’penyatuan manusia dengan manusia’, tetapi mereka percaya bahwa penyatuan
manusia yang muncul dari asosiasi bebas dalam masyarakat sipil adalah lebih
sejati, ketimbang kesatuan asosiasi politik yang dipaksakan. Cita-cita liberal
mengenai kehidupan privat bukanlah untuk melindungi individu dari masyarakat,
tetapi untuk membebaskan masyarakat dari campur tangan politik. Akan lebih
tepat memandang liberalisme, bukan sebagai anti-sosial, melainkan sebagai
’pemujaan masyarakat, karena kaum liberal ’menilai kehidupan sosial sebagai
bentuk tertinggi pencapaian manusia dan kondisi yang sangat penting bagi
perkembangan moralitas dan rasionalitas’, sementara hal-hal yang bersifat
politik tereduksi dalam ’simbol kasar dari pemaksaan yang diperlukan untuk
mempertahankan transaksi sosial secara tertib’ (Wolin 1960: 363, 369, 291;
bandingkan Holmes 1989: 248; Schwartz 1979: 245).
Isue dasar dalam mengevaluasi versi keterpecahan publik-privat ini bukan
tentang seberapa banyak individu memerlukan masyarakat untuk kemerdekaan
mereka, tetapi seberapa banyak individu sosial membutuhkan negara untuk
kemerdekaan mereka. Sebagaimana kita lihat dalam bab 6, ini telah dikaburkan
oleh kritik komunitarian atas ’atomisme’ liberal (bab 6, bagian 4 di atas).
Namun ketika Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah hewan politik (zoon politikon), ia tidak hanya
bermaksud mengatakan bahwa manusia adalah binatang sosial. Sebaliknya, ’yang
alamiah, semata-mata perkawanan dari spesies manusia dianggap sebagai
pembatasan yang dipaksakan pada kita oleh kebutuhan kehidupan biologis, yang
sama saja bagi binatang manusia sebagaimana bentuk-bentuk kehidupan binatang
yang lain (Arendt 1959: 24). Kehidupan politik, di pihak lain, adalah berbeda,
dan lebih tinggi daripada, sekadar kehidupan sosial kita.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk menjungkirkan pemujaan liberal atas
masyarakat dan untuk mengembalikan politik sebagai bentuk kehidupan yang lebih
tinggi. Namun pandangan liberal merembes masuk kedalam abad modern dan secara
implisit bahkan diterima oleh para pengkritiknya yang paling radikal (Wolin
1960: 290, 414-16). Sementara bangsa Yunani merasa bahwa ’bagaimanapun juga
politik tidak dapat hanya merupakan sarana untuk melindungi masyarakat, para ahli teori modern sama sekali tidak
sepakat pada apa bentuk yang harus dilayani oleh politik masyarakat—apakah ini
merupakan ’suatu masyarakat yang beriman’, seperti dalam Abad Pertengahan, atau
suatu masyarakat dari pemilik harta kekayaan, seperti dalam Locke, atau suatu
masyarakat yang tanpa belas kasihan terlibat dalam proses akuisisi, seperti
dalam Hobbes, atau suatu masyarakat produsen, seperti dalam Marx, atau suatu
masyarakat pemilik pekerjaan, seperti dalam masyarakat kita sendiri, atau suatu
masyarakat pekerja, seperti dalam negara-negara sosialis dan komunis. Dalam
semua kasus ini, kemerdekaan....masyarakatlah yang memerlukan dan membenarkan
pengendalian dari penguasa politik. Kemerdekaan berada pada wilayah sosial, dan
paksaan atau kekerasan menjadi monopoli pemerintah (Arendt 1959: 31). Ini merupakan satu dari berbagai kasus-kasus
itu, seperti komitmen pada persamaan moral, ketika liberalisme sekadar
memenangkan perdebatan historis, dan semua perdebatan yang mengiringinya
terjadi, dalam arti tertentu, dalam batas-batas komitmen liberal yang utama.
Ini merupakan bentuk pertama dari pembedaan liberal antara publik dan
privat. Kaum feminis telah mengajukan keberatan terhadap hal ini berdasarkan
sejumlah alasan. Keberatan yang paling ditekankan adalah sebagian besar
deskripsi liberal tentang wilayah sosial membuat kedengaran seolah-olah hanya
terdiri dari laki-laki dewasa (dan yang mampu), mengabaikan pekerjaan yang
diperlukan untuk menciptakan dan memelihara para peserta ini, pekerjaan yang
dilakukan terutama oleh wanita dan terutama dalam keluarga. Sebagaimana Pateman
mencatat, ’liberalisme mengkonseptualisasikan masyarakat sipil tanpa contoh
yang kongrit (in abstraction) dari
asal-muasal kehidupan domestik, sehingga ’kehidupan domestik tetap terlupakan
dalam diskusi teoritis. Pemisahan antara yang privat dan yang publik karena itu
(disajikan) sebagai pembagian dalam....dunia
laki-laki. Pemisahan ini kemudian dinyatakan dalam sejumlah cara yang berbeda,
bukan hanya privat dan publik tetapi juga, misalnya, “masyarakat“ dan “negara“;
atau “ekonomi“ dan “politik“; atau “kemerdekaan“ dan “paksaan“; atau “ sosial“
dan “politik“’ (Pateman 1987: 107), yang semuanya merupakan ’pembagian dalam
dunia kaum laki-laki’.
Kehidupan domestik, karena itu, cenderung berada di luar negara ataupun
masyarakat sipil. Mengapa keluarga disisihkan dari masyarakat sipil? Jawabannya
tidak mungkin karena keluarga berada dalam wilayah privat, karena masalahnya di
sini justru bahwa keluarga tidak dipandang sebagai bagian wilayah privat, yang
merupakan wilayah kemerdekaan liberal. Penyingkiran keluarga ini mengejutkan,
dalam satu arti, karena keluarga nampak merupakan paradigma lembaga sosial,
yang kemungkinan besar didasarkan hanya pada sejenis kerjasama yang dikagumi
oleh kaum liberal dalam masyarakat yang masih ada, namun akhir-akhir ini terperosok
justru dalam sejenis pembatasan asal muasal yang oleh kaum liberal tidak
disukai dalam feudalisme. Namun, kaum liberal yang semula menaruh kepedulian
untuk melindungi kehidupan sosial, dan akses kaum laki-laki pada kehidupan
sosial ini, tidak peduli dengan usaha memastikan bahwa kehidupan domestik itu
diorganisasi menurut prinsip-prinsip persamaan dan kesepakatan, atau juga bahwa
pengaturan domestik tidak merintangi akses kaum wanita kepada bentuk-bentuk
kehidupan sosial yang lain. Mengapa kaum liberal, yang menentang hirarki asal
muasal dalam bidang ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, dan ekonomi telah
menunjukkan bahwa mereka tidak tertarik untuk melakukan hal yang sama untuk wilayah domestik?[5]
Penjelasan yang mudah dipahami adalah bahwa para filsuf laki-laki tidak berkepentingan
untuk mempertanyakan pembagian kerja secara seksual yang menguntungkannya. Hal
ini telah dirasionalisasikan pada leval teori melalui anggapan bahwa peranan
domestik adalah pasti secara biologis, suatu anggapan yang didasarkan baik pada
klaim-klaim tentang inferioritas kaum wanita maupun dalam ideologi yang lebih
baru mengenai keluarga yang sentimentil yang mengatakan bahwa ikatan
sentimentil yang secara alamiah muncul antara ibu dan anak tidak sesuai dengan
ciri-ciri pembawaan yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial atau politik (Okin
1981). Tetapi sementara sebagian besar dari ahli teori liberal telah
mendesakkan satu atau lainnya dari anggapan-anggapan ini, berbagai anggapan ini
tidak merupakan pandangan yang khas liberal, dan tidak ada pertalian logika
atau sejarah di antara berbagai anggapan ini dengan penerimaan atas pembedaan
liberal tentang negara dan masyarakat.
Fakta yang menyedihkan dari masalah ini adalah bahwa semua ahli teori
politik dalam tradisi Barat, apapun pandangan mereka perihal pembedaan antara
negara dan masyarakat, telah menerima satu atau lainnya dari berbagai
justifikasi ini untuk memisahkan kehidupan domestik dari masyarat yang lainnya,
dan untuk mengasingkan kaum wanita dalam kehidupan domestik. Sebagaimana
Kennedy dan Mendus mencatat, ’dalam hampir semua hal, para ahli teori seperti
Adam Smith dan Hegal, Kant dan Mill, Rousseau dan Nietzsche sangat bertentangan,
namun menyangkut perlakukan mereka terhadap wanita, para filsuf yang
berbeda-beda ini sebaliknya menampilkan suatu front bersatu yang mengejutkan’.
Para ahli teori laki-laki pada semua pendirian dari aneka warna politik telah
menerima bahwa ’pemenjaraan wanita dalam wilayah private (domestik)
dibenarkan dengan merujuk pada
partikularitas hakikat wanita yang emosional, tidak universal. Karena wanita
hanya tahi ikatan cinta dan persahabatan, wanita akan menjadi persona yang
berbahaya dalam kehidupan politik, yang barangkali siap mengorbankan
kepentingan publik yang lebih besar demi ikatan personal atau preferensi
peribadi’ (Kennedy dan Mendus 1987: 3-4, 10). Dengan kata lain, kaum liberal
menerima pembedaan antara publik dan domestik dengan alasan yang sama seperti
yang diberikan oleh orang-orang anti-liberal, bukan karena mereka percaya pada pembedaan antara yang
publik dan yang privat[6].
Dalam kenyataannya, para ahli teori yang menolak pembedaan liberal antara
yang privat dan yang publik cenderung mempertajam keterbelahan tradisional
antara domestik dan publik. Misalnya, walaupun orang-orang Yunani kuno tidak
memiliki konsepsei tentang jenis wilayah publik yang didukung kaum liberal,
mereka sebenarnya memiliki pembedaan yang tajam antara rumah tangga domestik
dan bidang publik yang mengecam wanita dalam pertaliannya dengan limunan publik
(Elshtain 1981: 22; Arendt 1959: 24; Kennedy dan Mendus 1987: 6). Jauh dari
menyangkal keterbelahan antara domestik dan publik, ’kita menemukan pada atap
kesadaran politik orang-orang Yunani kejelasan dan cara pengucapan yang tidak
ada bandingannya dalam menggambarkan pembedaan ini’ (Arendt 1959: 37). Sejalan
dengan ini, meskipun Rousseau menentang pemisahan liberal tentang yang privat
dan yang publik, ia menyajikan pandangannya mengenai masyarakat yang
terintegrasi’ ’seolah masyarakat telah dan harus sepenuhnya laki-laki, yang
didukung oleh struktur kekeluargaan perempuan yang bersifat privat’ (Eisenstein
1981: 77; bandingkan Elshtain 1981: 165; Pateman 1975: 464). Tentu saja, ia
mendukung pandangan orang Yunani bahwa ketika wanita menikah, ’mereka
menghilang dari kehidupan publik; hidup mencurahkan diri mereka sendiri di
dalam empat tembok rumah untuk mengasuh rumah tangga dan keluarga mereka. Ini
adalah cara hidup yang ditentukan sama bagi kaum wanita oleh alam dan
penalaran’ (Rousseau, dalam Eisenstein 1981: 66). Akhirnya, walaupun Hegal
menolak ’pemisahan radikal’ liberalism tentang wilayah publik dan privat,
teorinya ’menyediakan contoh jelas tentang cara keluarga domestik yang
sentimentil dipergunakan untuk menetapkan kemampuan wanita, dan untuk
membenarkan subordinasi mereka, ketiadaan pendidikan mereka, dan penyisihan
mereka dari bidang publik seperti pasar, kewarganegaraan, dan kehidupan
intelektual (Elshtain 1981: 176; Okin 1981: 85).
Jadi, pembedaan liberal antara publik dan privat adalah berbeda dari
pembedaan antara antara publik dan domestik. Adakah landasan kaum feminis untuk
menolak pembedaaan liberal antara negara dan masyarakat, segera sesudah kita
membedakannya dari keterbelahan antara publik dan domestik. Banyak kaum feminis
kontemporer menerima ciri-ciri esensial dari pandangan liberal tentang
pertalian antara negara dan masyarakat dan karena itu antara yang publik dan
yang privat dalam pengertian itu[7].
Untuk satu hal, penghargaan yang tinggi orang Yunani atas yang politik
didasarkan pada suatu jenis dualism antara alam dan kebudayaan yang oleh kaum
feminis dinyatakan merupakan akar dari kurangnya penghargaan wanita dalam
masyarakat kita. Salah satu madzab penting dalam mengecilkan nilai pekerjaan
kaum wanita, terutama dalam pemeliharaan dan pengasuhan anak-anak, adalah
gagasan bahwa pekerjaan wanita semacam itu semata-mata alamiah, suatu masalah
insting biologis ketimbang pengetahuan kebudayaan. Maka, kaum wanita
diasosiasikan hanya dengan fungsi-fungsi binatang dari pekerjaan domestik,
sementara kaum laki-laki mencapai kehidupan manusia yang sesungguhnya dengan
memilih aktivitas sesuai dengan tujuan kebudayaan, bukan insting alamiah.
Klaim bahwa politik merupakan bentuk kehidupan yang lebih tinggi seringkali
didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan sosial, seperti halnya kehidupan
domestik, terperangkap dalam, ’wilayah yang tidak berdiri sendiri dari
kebutuhan, kepentingan dan hasrat yang khusus’ (Young 1989: 253). Menurut
pemikiran Yunani, kehidupan sosial tetap ’dalam lingkaran, gerak dan diam,
kerja dan konsumsi yang telah ditentukan oleh alam dengan keteraturan dan
kegembiraan yang sama yang dengan itu siang dan malam, kehidupan dan kematian
saling susul menyusul’ (Arendt 1959: 106).
’Keteraturan yang tanpa tujuan’ dari kehidupan sehari-hari ini pada akhirnya
tidak bermakna, ditakdirkan berlalu menjadi debu tempat ia berasal. Hanya
politik yang menjamin warganegara untuk kesia-siaan akan kehidupan individu’
(Arendt 1959: 56). Karena politik berusaha untuk mengatasi ’lingkaran alam’,
’tentu saja penting bahwa penguasaan akan kebutuhan kehidupan dalam rumah
tangga merupakan kondisi bagi kemerdekaan negara kota (polis)...kehidupan rumah tangga ada demi tujuan ’kehidupan yang
baik’ dalam negara kota’ (Arendt 1959: 30-31, 37). Tentu saja, ’tidak ada
aktivitas yang hanya melayani tujuan untuk menghasilkan suatu kehidupan, untuk
hanya menjaga keberlanjutan proses kehidupan, diperbolehkan masuk ke dalam
wilayah politik’ (Arendt 1959: 37). Adalah sulit membayangkan suatu konsepsi
kehidupan publik dalam pertentangan yang lebih tajam dari penilaian Adrienne
Rich tentang pekerjaan wanita sebagai ’penjagaan dunia, pemeliharaan dunia,
perbaikan dunia...ketrampilan yang tidak tampak dari kehidupan keluarga yang
usang dan berjumbai’ (Rich 1979: 205).
Lagipula, karena prioritas politik atas masyarakat seringkali didasarkan
pada tuduhan komunitas atau universalitasnya, penjagaan akan universalitas ini
mensyaratkan pemisahan politik dari
wilayah partikularitasnya, dan itu senantiasa berarti memisahkan politik dari
urusan publik. Sebagaimana Iris Young mencatat,
dalam memuji kebajikan warganegara seperti
partisipasi dalam suatu wilayah publik yang universal, laki-laki modern
menyatakan lari dari perbedaan seksual...memuji wilayah publik mengenai
kebajikan yang gagah dan kewarganeraan sebagai merdeka, bersifat umum, dan
alasan tidak memihak yang dibawakan
menciptakan wilayah privat keluarga sebagai tempat dimana berbagai kebutuhan
tubuh, sentimen dan emosi harus dibatasi. Keumuman sifat dari publik dengan
demikian bergantung pada peniadaan kaum wanita (Young 1989: 253-4).
Tidak seperti
halnya orang-orang Yunani yang menilai politik sebagai mengatasi alam, dan kaum
Hegelian yang menilai politik sebagai mengatasi partikularitas, kaum feminis
dan liberal sama-sama memiliki komitmen dasar untuk memandang kekuasaan publik
sebagai sarana untuk melindungi berbagai kebutuhan dan kepentingan khusus.
Ini tidak berarti bahwa kaum feminis dan liberal sepakat dengan semua aspek
pertalian antara negara dan masyarakat. Bahkan seandainya kita sepakat bahwa
kekuasaan publik harus dibenarkan dalam pengertian memajukan berbagai
kepentingan privat dalam masyarakat sipil, terdapat banyak area bagi
kemungkinan ketidaksepakatan. Yang pertama, kita mungkin berpikir bahwa
kehidupan sosial tidaklah stabil dan dapat menyesuaikan diri sebagaimana
anggapan kaum liberal. Misalnya, kita mungkin berpikir bahwa para individu
tidak akan, dengan sendirinya, mempertahankan jaringan berbagai pertalian
sosial yang diwariskan pada mereka. Mereka akan terlibat dan melepaskan diri
dari semua ikatan sosial dengan kecepatan yang sedemikian memusingkan kepala
bahwa masyarakat akan tercerai-berai jika negara tidak melakukan intervensi
secara aktif untuk mendorong kelompok-kelompok sosial. Ini merupakan pesan
terakhir dari kaum komunitarian, suatu pesan yang, meskipun menekankan pada
sosiabilitas manusia, sebenarnya mengisyaratkan bahwa rakyat perlu dibimbing
oleh pemerinatah dalam kehidupan sosial (bab 6, bagian 4b di atas). Tetapi ini
merupakan kerisauan yang absah, dan kita mungkin menginginkan pemerintah
mendorong pemeliharaan akan ikatan-ikatan sosial tertentu, termasuk yang
berpertalian dengan keluarga, dan menjadikan keluar dari berbagai ikatan itu
lebih sulit.
Yang kedua, kita mungkin mempersoalkan keyakinan liberalisme bahwa jika
setiap orang memiliki akses yang bebas dan fair terhadap berbagai sarana untuk
menyatakan diri dan berasosiasi, maka kebenaran akan menang atas kepalsuan, dan
pemahaman atas prasangka, dan pemerintah tidak harus memonitor perkembangan
kebudayaan ini. Kaum liberal cenderung percaya bahwa penindasan kebudayaan
tidak dapat bertahan dibawah kondisi kemerdekaan sipil dan persamaan material.
Tetapi mungkin terdapat sejumlah representasi kebudayaan yang bersifat merusak
dan palsu yang kebal terhadap kritik sosial, dan bertahan atau bahkan tumbuh
subur dalam pertarungan bebas dan fair dengan kebenaran. Pornografi dan
representasi kebudayaan wanita yang lain adalah suatu misal. Kaum liberal
percaya bahwa jika pornografi tidak membahayakan kaum wanita, maka kepalsuan
atas representasinya tentang seksualitas bukan merupakan landasan untuk
membatasinya, bukan karena gagasan kurang bertenaga, tetapi karena kemerdekaan
menyatakan pendapat dan berkumpul dalam masyarakat sipil merupakan landasan
pengujian yang lebih baik bagi gagasan-gagasan ketimbang aparatur negara yang
bersifat memaksa. Bagi sejumlah orang, nampaknya menyerupai kenaifan yang sulit
diterima jika kekuatan kebebasan menyatakan pendapat dalam masyarakat sipil
akan menyingkirkan penindasan kebudayaan. Sebagaimana Mackinnon menyatakannya,
jika kebebasan menyatakan pendapat membantu menemukan kebenaran, ’mengapa kita
sekarang—dengan adanya pornografi yang lebih banyak daripada
sebelumnya—terkubur dalam semua kebohongan ini? (Mackinnon 1987: 155). Ia menyatakan
bahwa kepercayaan dalam kebebasan menyatakan mendapat ini menunjukkan bahwa
’moralitas liberal tidak dapat menangani berbagai ilusi yang membentuk
realitas’ (Mackinnon 1987: 162).
Walaupun berbagai bidang dari kemungkinan perselisihan antara kaum liberal
dan feminis ini merupakan hal yang paling penting (dan melibatkan sejumlah
pertanyaan empirik mengenai negara dan kebudayaan yang saya angkat pada akhir
dari bab terakhir), bidang-bidang itu ditemukan dalam bagian komitmen pada
prioritas kehidupan sosial di atas politik.
(b)
Personal dan Sosial: Hak atas Privasi
Pemisahan liberal semula antara yang
publik dan yang privat telah dilengkapi dalam seratus tahun terakhir dengan
pembedaan yang kedua, yang memisahkan ’yang personal’ atau ’yang intim’ dari
yang publik, dimana ’publik’ mencakup baik negara maupun masyarakat sipil.
Pembedaan yang kedua ini muncul terutama dikalangan kaum Romantik, bukan
liberal, dan tentu saja untuk sebagian muncul dalam oposisinya terhadap
pemujaan liberal atas masyarakat. Sementara kaum liberal klasik menekankan
masyarakat sebagai bidang dasar dari kemerdekaan personal, kaum Romantik
menekankan berbagai pengaruh konformitas sosial pada individualitas.
Individualitas terancam bukan hanya oleh pemaksaan politik, tetapi juga oleh
tekanan dari berbagai harapan sosial yang nampak hadir di mana-mana. Bagi kaum
romantik, ’privat’ berarti,
pelepasan dari eksistensi yang
bersifat duniawi, [dan] diasosiakan dengan perkembangan diri, ekspresi diri,
dan penciptaan artistik...Dalam pemikiran liberal klasik, sebaliknya, ’privat’
merujuk pada masyarakat, bukan pengasingan diri pribadi, dan masyarakat
merupakan domain dari aktivitas rasional yang bebas ketimbang kebebasan
menyatakan perasaan. Liberalisme
melindungi bidang ini dengan membatasi penggunaak kekuasaan pemerintah dan
dengan menghitung berbagai kebebasan sipil. Romantisime murni dan liberalisme
konvensional dipisahkan bukan hanya oleh pengertian mereka tentang kehidupan
privat, tetapi juga oleh motivasi mereka dalam merancang keistimewaan bidang
privat (Rosenblum 1987: 59).
Kaum romantik
memasukkan kehidupan sosial dalam bidang publik karena ikatan masyarakat sipil,
meskipun tidak bersifat politik, masih menjadi persoalan para individu untuk
pertimbangan dan kemungkinan kecaman individu yang lain. Kehadiran pihak lain
bisa jadi menganggu, membingungkan, atau sama sekali menjemukan. Para individu
membutuhkan waktu bagi diri mereka sendiri, terpisah dari kehidupan publik,
untuk merenung, mengalami percobaan dengan gagasan-gagasan yang tidak populer,
membangkitkan kembali kekuatan, memelihara pertalian-pertalian yang mendalam.
Dalam hal ini, kehidupan sosial bisa jadi justru lebih rumit dan lebih sulit
dijalankan ketimbang kehidupan politik. Kenyataannya, ’privasi modern dalam fungsi-fungsinya
yang paling relevan, untuk melindungi keintiman, diketahui sebagai berlawanan
bukan dengan wilayah politik tetapi dengan wilayah sosial’ (Arendt 1959: 38;
bandingkan Benn dan Gaus 1983: 53). Maka kaum Romantik memandang ’setiap
pergaulan fomal dengan yang lain terkecuali demi pertalian-pertalian yang
mendalam seperti persahabatan atau cita sebagai bersifat publik (Rosenblum
1987: 67).
Meskipun pembedaan publik-privat yang kedua ini muncul sebagai oposisi
terhadap liberalisme, kaum liberal modern menerima banyak pandangan Romantik,
dan mencoba menyatukan penegasan kaum Romantik pada berbagai tekanan sosial
dengan penegasan kaum liberal klasik pada kemerdekaan sosial. Penegasan kaum
Romantik pada privasi dalam kenyataannya bersesuaian dengan kekhawatiran
liberal tentang berbagai golongan kekuasan yang bersifat memaksa yang
dijalankan atas anggota-anggota mereka sendiri dalam berbagai perkumpulan
profesional, serikat kerja, lembaga pendidikan, dan sebagainya dan tentang
tekanan yang lebih umum bagi keseragaman sosial, terhadap mana pluralitas
pergaulan dan pasar gagasan yang menyediakan perlindungan yang tidak memadai
bagi individualitas. Sebagai hasilnya, liberalisme modern berminat bukan hanya
melindungi wilayah privat kehidupan sosial, tetapi juga mendapatkan suatu
bidang dalam wilayah privat tempat
para individu bisa memiliki privasi. Kehidupan privat, bagi kaum liberal,
sekarang berarti baik keterlibatan secara aktif dalam lembaga-lembaga
masyarakat sipil, sebagaimanaka ditegaskan oleh kaum liberal klasik, maupun
pengasingan diri dari kehidupan sosial yang tertib itu, seperti yang ditegaskan
oleh kaum Romantik[8].
Bentuk yang kedua dari pembedaan liberalisme tentang publik dan privat ini
seringkali didiskusikan di bawah kedok hukum ’hak atas privasi’. Seperti halnya
pembedaan publik-privat yang pertama, ini juga menjadi target kritik kaum
feminis. Keputusan yang memberikan
status hukum hak atas privasi di Amerika Serikat, Griswold v Connecticut (381 US 479 [1965), pada awalnya dilihat
sebagai kemenangan kaum wanita, karena ini mengatur bahwa hukum yang menolak
meniadakan akses pada kontrasepsi bagi wanita yang menikah melanggar hak atas
privasi. Tetapi, sejak saat itu menjadi jelas bahwa hak ini, sebagaimana
ditafsirkan oleh Mahkamah Agung Amerika, juga dapat menjadi penghalang untuk
lebih jauh mereformasi penindasan domestik kaum wanita. Gagasan tentang hak
atas privasi telah ditafsirkan dalam arti bahwa setiap campurtangan dari luar
terhadap keluarga merupakan pelanggaran terhadap privasi. Akibatnya, keputusan
ini telah menciptakan kekebalan keluarga dari pembaharuan yang ditujukan untuk
melindungi kepentingan kaum wanita—misalnya, intervensi negara yang akan
melindungi kaum wanita terhadap perlakukan kejam, atau memperdayakan wanita
untuk menggugat nilai-nilai yang tidak mendukung atau resmi dikenal dari
pekerjaan domestik (Taub dan Schneider 1982: 122). Hak atas privasi ’memperkuat
yang privat di luar ganti-rugi publik dan mendepolitisasi pengendalian kaum
wanita di dalamnya’ (Mackinnon 1987: 102).
Maka pembedaan antara privat dan publik yang kedua ini telah memperkuat
kecenderungan untuk mengecualikan pertalian-pertalian keluarga dari ujian
keadilan publik. Namun ada sesuatu yang tidak biasa dari interpretasi Mahkamah
Agung tentang hak atas privasi, karena interpretasi ini mendefinisikan privasi
individu dalam arti privasi kolektif dari keluarga. Hak
atas privasi telah dipertahankan untuk mempertautkan keluarga sebagai
unit-unit, bukan untuk keanggotaan individual mereka. Hasilnya adalah para
individu tidak memiliki klaim atas privasi dalam keluarga. Jika dua orang
memasuki pernikahan, hak atas privasi menjamin bahwa negara tidak akan
mencampuri keputusan-keputusan domestik dari pasangan yang menikah. Tetapi jika
wanita tidak memiliki privasi dalam memulai pernikahannya, dan tidak ada
kekuasaan dalam membuat keputusan-keputusan itu, maka hak atas privasi keluarga
ini tidak akan memberikan sang wanita privasi individual apapun, dan tentu saja
hak atas privasi ini menghalangi negara mengambil tindakan untuk melindungi
privasinya.
Terdapat
sejumlah kasus ketika pengadilan telah secara eksplisit telah mempertimbangkan
privasi individu wanita, bahkan di
dalam keluarga. Namun, hal itu nampak sebagai pengucualian dari peraturan
(Eichbaum 1979). Mengapa pertalian-pertalian keluarga tidak menjadi persoalan
bagi ujian privasi individu? Jawabannya tidak mungkin bahwa keluarga dipandang
sebagai jantung dari kehidupan privat, karena masalahnya di sini justru bahwa
pengertian privasi yang diterapkan ditempat-tempat lain tidak diterapkan dalam
pertalian-pertalian keluarga. Sebagaimana June Eichbaum mengatakannya, gagasan
tentang privasi yang didasarkan pada keluarga bertolak belakang dengan
keseluruhan pengertian dari hak atas privasi; ’suatu hak atas privasi yang melindungi
berbagai kepentingan unit kolektif, keluarga, dengan mengorbankan otonomi
individu, mengabaikan kemestian manusia untuk privasi sama sekali dan
mengaburkan makna yang lebih dalam dari privasi’ (Eichbaum 1979: 368).
Melindungi keluarga dari intervensi negara tidak dengan sendirinya menjamin
kaum wanita (atau anak-anak) suatu wilayah bagi pengunduran diri personal dari
kehadiran pihak lain, atau dari tekanan untuk menyesuikan harapan-harapan pihak
lain.
Mengapa
Mahkamah Agung menginterpretasikan privasi sebagai didasarkan pada keluarga (family-based)? Jawabannya nampaknya
terletak dalam pengaruh dari gagasan pra-liberal yang bersifat menetap mengenai
kealamiahan dari keluarga tradisional. Hal ini jelas dalam tradisi yang panjang
dari pembelaan pengadilan akan kesucian keluarga, yang dengan ini ’hak atas
privasi’ hanyalah merupakan angsuran yang paling akhir. Pembelaan yang pertama
tentang privasi yang didasarkan pada keluarga adalah doktrin keluarga-bapak (paterfamilias), dengan mana ’rumahtangga
keluarga dipahami sebagai perluasan kepribadian dari keluarga-bapak, sehingga
’mencampuri masalah keluarga laki-laki merupakan pelanggaran wilayah privat
pribadinya...yang pada dasarnya tidak berbeda dengan memaksa dia agar lebih
sering mandi’ (Benn dan Gaus 1983: 38). Dengan doktrin ini, kaum wanita menjadi
hak milik suami dalam perkawinan, dan karena itu tidak lagi menjadi persona
dibawah hukum, kepentingan mereka ditentukan oleh, dan ditenggelamkan dalam,
keluarga, yang telah diterima sebagai posisi alamiah mereka. Dengan adanya
pengakuan secara berangsur-angsur atas hak-hak anggota rumah tangga yang lain,
telah ada tantangan terhadap otoritas bapak. Namun pengabsahan atas keluarga
tradisional yang diberikan oleh doktrin keluarga-bapak telah dikuatkan lagi oleh
pengadilan konservatif melalui suatu doktrin tentang ’otonomi keluarga’ pada
tahun 1920an. Walaupun rumah tangga bukan merupakan hak-milik bapak, struktur
dasar dari keluarga tradisional masih tetap kebal terhadap pembaharuan
pengadilan karena ini dilihat sebagai benteng peradaban, dan suatu prakondisi
bagi stabilitas sosial (misalnya Meyer v
Nebraska, 262 US 390 [1923]).
Dengan adanya
perubahan pandangan tentang keluarga pada tahun 1960an, doktrin otonomi
keluarga pada gilirannya juga ditantang, dan Pengadilan memerlukan justifikasi
baru untuk membiarkan keluarga sendirian. Munculnya penekanan pada privasi
merupakan pergantian yang menggoda, karena perhatian liberal dengan keintiman
individu untuk sebagian tumpang tindih dengan perhatian konservatif dengan
otonomi keluarga, dan memberikan sejumlah legitimasi modern bagi kebijaksanaan
lama itu. Namun perubahan ini lebih bersifat kosmetik ketimbang nyata, karena
apa yang dimaksudkan Pengadilan dengan privasi sesungguhnya serupa dengan apa
yang dimaksudkan sebelumnya oleh keluarga-bapak atau otonomi keluarga[9]. Sesungguhnya Mahkamah Agung Amerika tidak menyangkal bahwa hak
atas privasi yang didasarkan pada keluarga adalah kelanjutan dari doktrin
otonomi keluarga kuno. Mahkamah telah memberikan justifikasi atas penegasannya
pada privasi perkawinan yang menekankan ’sifat suci dan kuno dari perkawinan
sebagai dasar keputusan-keputusan mereka’ (Grey 1980: 84-5; bandingkan Eichbaum
1979: 372). Sebaliknya, Mahkamah bahkan telah menyangkal komponen-komponen
paling dasar dari konsepsi liberal tentang privasi individu jika hal ini tidak
terkait dengan struktur keluarga tradisional—misalnya, Mahkamah Agung tetap
menguatkan hukum yang mempidanakan pertalian homoseksual diantara orang dewasa
yang telah bertanggungjawab dalam rumah mereka sendiri, dan menyangkal bahwa
hukum ini adalah pelanggaran terhadap hak orang atas privasi (Bowers v
Hardwick, 478 US 186 [1986]).
Jadi cita-cita
Romantik tentang privasi yang mempengaruhi hukum menyatu dengan cita-cita
konservatif tentang heteroseksual, keluarga yang teratur secara resmi sebagai
benteng pertahanan masyarakat. Meskipun mahkamah mendesakkan bahasa mengenai
pembedaan publik-privat yang liberal, dalam kenyataannya ia mendesakkan
pembedaan publik-privat yang tidak liberal (illiberal),
suatu yang mensubordinasi privasi individu pada otonomi keluarga. Mackinnon
mencatat bahwa,
Mungkin bukan suatu hal yang
kebetulan bahwa setiap hal yang oleh feminisme dianggak sebagai sentral pada
pengendalian kaum wanita—setiap tempat, tubuh; setiap pertalian, heteroseksual;
setiap aktivitas, pertalian seks dan reproduksi; dan setiap perasaan,
intimasi—membentuk inti dari apa yang dicakup oleh doktrin privasi. Dari
perspektif ini, konsep legal tentang privasi dapat dan telah melindungi posisi
baterai, perkosaan perkawinan, dan pekerjaan wanita yang tereksploitasi; telah
mengawetkan institusi-institusi pokok dengan jalan mana kaum wanita tercerabut
dari identitas, otonomi, pengendalian, definisi diri...Hak atas privasi adalah
hak kaum laki-laki ’untuk dibiarkan sendirian’ menindas kaum wanita saat
tertentu...Ini mencegah sejumlah laki-laki dari kamar tidur laki-laki yang lain
(Mackinnon 1987: 101-2).
Alasan mengapa bukan suatu kebetulan
bahwa hak atas privasi telah mengebalkan wilayah domestik bukan karena privasi
liberal membawakan perlindungan kedomestikan, tetapi lebih karena para
pelindung kedomestikan telah menerima bahasa privasi liberal.
Sekali hal ini
terlepaskan dari gagasan patriarkal tentang otonomi keluarga, saya percaya
sebagian besar kaum feminis sependapat dengan dasar motivasi liberal untuk
menghormati privasi—yakni nilai atas pemilikan beberapa kemerdekaan dari
ganggungan dan tuntutan yang terus menerus dari pihak lain, dan nilai atas
ruang untuk mengalami gagasan yang tidak populer dan untuk memelihara
pertalian-pertalian yang mendalam (Allen 1988). (Pertimbangkan klaim Virginia
Woolf yang terkenal bahwa setiap wanita harus memiliki ’ruang bagi dirinya
sendiri’). Dalam semua peristiwa, konsepsi liberalisme tentang privasi, seperti
halnya pembedaannya mengenai masyarakat-negara, bukan merupakan pembelaan
tentang keterbelahan antara domestik dan publik. Karena intimasi memerlukan
pembelaan di luar keluarga, dan kesunyian perlu dibela dalam keluarga. Garis
antara privasi dan yang bukan privasi, karena itu, mempengaruhi pembedaan
antara publik-privat. Walaupun kita mengharap bahwa keluarga membentuk ’bidang
privasi dan pengasingan diri personal’, bagi banyak orang keluarga dalam
dirinya sendiri merupakan lembaga tempat mereka mengharapkan privasi, dan
tindakan negara mungkin diperlukan dalam wilayah domestik untuk melindungi
privasi dan mencegah penyalahgunaan[10].
Mengingat
sentralitas keluarga terhadap sistem kepincangan seksual, maka sangat penting
bahwa teori-teori keadilan memberikan perhatian terhadap berbagai pengaruh
organisasi keluarga bagi kehidupan kaum wanita. Penolakan teori-teori arus
utama untuk melakukan hal ini seringkali dijelaskan dengan mengatakan bahwa
keluarga telah diasingkan kepada wilayah privat. Namun, dalam arti tertentu hal
ini meremehkan masalahnya. Bahwa keluarga tidak sangat diasingkan kepada
wilayah privat sebagai sepenuhnya diabaikan. Dan berbagai kepentingan wanita
terancam oleh kegagalan teori politik untuk memperhatikan keluarga baik dalam
komponen privat maupun komponen publiknya. Karena peranan gender yang
diasosiasikan dengan keluarga tradisional adalah bertentangan bukan hanya
dengan cita-cita publik tentang persamaan hak-hak dan sumberdaya, tetapi juga
dengan pemahaman liberal tentang berbagai kondisi dan nilai dari kehidupan
privat.
3. ETIKA KEPEDULIAN (AN ETHIC OF CARE)
Salah satu konsekuensi tentang pembedaan
antara publik-privat dan tentang pengasingan wanita dari wilayah domestik
adalah bahwa laki-laki dan wanita telah diasosiasikan dengan berbagai mode
pemikiran dan perasaan yang berbeda. Melalui sejarah Filsafat Barat, kita
menemukan para teoritikus politik membedakan pembawaan khusus emosional
intuitif yang dikatakan diperlukan bagi kehidupan domestik wanita, dari
pemikiran yang tegar dan imparsial rasional yang dikatakan diperlukan bagi
kehidupan publik laki-laki. Moralitas,
Terpecah-pecah kedalam ’pembagian kerja moral’ sepanjang garis
gender…Tugas memerintah, mengatur tatanan sosial, dan mengelola lembaga-lembaga
publik yang lain dimonopoli oleh laki-laki sebagai domain istimewa mereka, dan
tugas menjaga pertalian personal privat dipaksakan pada, atau diserahkan untuk
kaum wanita. Gender karena
itu dipahami dalam pengertian proyek-proyek moral khusus dan tersendiri.
Keadilan dan hak menyusun berbagai norma, nilai dan kebajikan moral lelaki,
sementara kepedulian dan sikap tanggap menentukan berbagai norma, nilai dan
kebajikan moral kaum perempuan (Friedman 1987a: 94).
Dua ’proyek
moral’ ini dipandang berbeda secara
mendasar dan sesungguhnya bertentangan, seperti halnya berbagai kecenderungan
partikularistik wanita, sementara fungsi bagi kehidupan keluarga, dilihat
menganggu keadilan imparsial yang dibutuhkan untuk kehidupan publik. Karena
itu, kesehatan publik dikatakan bergantung pada eksklusi kaum wanita (Okin
1990; Pateman 1980).
Karena perbedaan ini secara historis telah dipergunakan untuk membenarkan
patriarki, tokoh-tokoh feminis awal seperti Mary Wollstonecraft menyatakan
bahwa hakikat emosional wanita yang partikularistik adalah sekadar hasil dari
kenyataan bahwa kaum wanita tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan
kapasitas rasional mereka sepenuhnya. Jika kaum wanita hanya berpikir tentang
kebutuhan orang-orang disekitar mereka, mengabaikan kebutuhan publik secara
umum, ini karena mereka dihalangi secara paksa untuk menerima berbagai
tanggungjawab publik (Pateman 1980: 31). Beberapa tokoh feminis kontemporer
menyatakan bahwa semua tradisi yang membedakan moralitas ’maskulin’ dan
‘feminin’ adalah suatu mitos kultural yang tidak memiliki basis empiris. Namun,
ada sebuah madzab yang significan dari feminisme kontemporer yang menyatakan
bahwa kita hendaknya memperhatikan dengan serius perbedaan moralitas kaum
wanita—kita hendaknya melihat perbedaan moralitas itu sebagai mode dari penalaran
moral, bukan semata-mata perasaan intuitif, dan sebagai sumber dari kedalaman
moral, bukan semata-mata hasil artifisial dari kepincangan seksual. Ketika
teoritikus laki-laki mengklaim bahwa kecenderungan wanita pada hakikatnya
intuitif, dan menurut cakupannya bersifat privat, sejumlah tokoh feminis
menyatakan bahwa mereka rasional dan memiliki kemungkinan untuk mencakup
publik. Pemikiran partikularistik yang diterapkan kaum wanita merupakan
moralitas yang lebih baik ketimbang pemikiran imparsial yang diterapkan
laki-laki dalam wilayah publik, atau setidaknya merupakan perlengkapan yang
diperlukan untuk ini, terutama jika kita mengenali sesaat bahwa persamaan
seksual memerlukan pemecahan dikotomi antara publik dan domestik.
Kepentingan wanita yang diperbarui dalam cara penalaran moral kaum wanita
pada umumnya muncul dari studi-studi Carol Giligan pada perkembangan moral kaum
wanita. Menurut Gilligan, sensibilitas moral laki-laki dan wanita dalam
kenyataannya cenderung bekembang secara berbeda. Kaum wanita cenderung menalar
dalam ’suara yang berbeda’, yang ia rangkum sebagai berikut:
Dalam konsepsi ini, masalah moral muncul
dari tanggungjawab yang saling bertentangan ketimbang dari hak-hak yang saling
bersaing dan yang untuk menyelesaikannya memerlukan suatu cara berpikir yang
bersifat kontekstual dan naratif, ketimbang formal dan abstrak. Konsepsi
moralitas yang menaruh perhatian pada aktivitas kepedulian ini memusatkan
perkembangan moral disekitar pemahaman tentang tanggungjawab dan pertalian,
sebagaimana konsepsi moralitas seperti fairness mengikat perkembangan
moral pada pemahaman tentang hak dan peraturan (Gilligan 1982: 19).
Dua ’suara’ ini telah digolongkan dalam
istilah ’etika kepedulian’ (an ethic of care) dan ’etika keadilan’ (an
ethic of justice), yang menurut pendapat Gilligan, ‘secara fundamental
bertentangan’ (Gilligan 1986: 238).
Terdapat
sejumlah kontroversi tentang apakah suara yang berbeda ini sungguh-sungguh ada,
dan jikapun ada, apakah ini berpertalian secara signifikan dengan gender.
Beberapa orang menyatakan bahwa meskipun terdapat dua perbedaan suara moral
tentang kepedulian dan keadilan, laki-laki dan wanita cenderung menerapkan
keduanya dalam keteraturan yang hampir sama. Yang lainnya menyatakan bahwa
meskipun laki-laki dan wanita seringkali berbicara dengan suara yang berbeda,
ini mengaburkan landasan komunalitas: ’moralisasi gender lebih merupakan
masalah bagaimana kita mengira bernalar ketimbang tentang bagaimana kita
sesungguhnya menalar. Kita ‘mengharapkan kaum wanita dan laki-laki
memperlihatkan dikotomi moral ini’, dan sebagai hasilnya, ’apapun keprihatinan
dari masalah moral kaum laki-laki sendiri dikategorikan, secara mengaggumkan,
sebagai masalah “keadilan dan hak-hak”, sementara keprihatinan moral kaum
wanita dilimpahkan pada kateori-kategori yang tidak berharga menyangkut
“kepedulian dan pertalian personal”’ (Friedman 1987a: 96; bandingkan Baier
1987a: 48). Barangkali laki-laki dan wanita berbicara dalam bahasa yang
berbeda, bukan karena pemikiran mereka sebenarnya berbeda, melainkan karena
kaum laki-laki merasa harus menaruh perhatian terhadap keadilan dan hak-hak,
dan kaum wanita merasa harus menaruh perhatian pada penjagaan
pertalian-pertalian sosial[11]
Apapun
penemuan empirik tentang perbedaan-perbedaan gender, masih tetap ada pertanyaan
tentang apakah ada pendekatan yang didasarkan kepedulian (a care-based
approach) pada pertanyaan politik yang bersaing dengan keadilan, dan jika
ada, apakah ini merupakan pendekatan yang lebih unggul. Beberapa orang telah
memberikan tanggapan terhadap penemuan Gilligan dengan mengatakan bahwa etika
kepedulian, meskipun merupakan perspektif moral yang valid, tidak dapat
diaplikasikan di luar bidang ‘privat’ seperti persahabatan dan keluarga. Etika
kepedulian berpertalian dengan tanggungjawab yang kita ambil demi peran serta
kita dalam pertalian-pertalian privat tertentu, ketimbang tanggungjawab yang
kita berhutang satu sama lain sebagai anggota publik (Kohlberg 1984: 358;
Nunner-Winkler 1984). Tetapi banyak kaum feminis menyatakan bahwa etika
kepedulian, meskipun semula dikembangkan dalam konteks pertalian-pertalian
personal, memiliki arti penting publik, dan harus diperluas pada masalah
publik.
Apakah etika
kepedulian? Seperti yang nampak jelas dalam rangkuman Gilligan, terdapat lebih
dari satu perbedaan antara kedua suara moral itu. Perbedaannya dapat dilihat
melalui tiga judul (bandingkan Tronto 1987; 648).
1.
kapasitas moral: pembelajaran
prinsip-prinsip moral (keadilan) versus pengembangan kecenderungan moral
(kepedulian);
2.
penalaran moral: pemecahan
masalah dengan mencari prinsip-prinsip yang dapat diterapkan secara universal
(keadilan) versus pencarian berbagai tanggapan yang sesuai untuk kasus khusus
(kepedulian);
3.
konsep moral: pengindahan
hak-hak dan fairness (keadilan) versus pengindahan berbagai tanggungjawab dan
pertalian (kepedulian);
Saya akan melihat secara ringkas pada (1) dan (2), sebelum memusatkan
perhatian pada (3), yang saya percaya merupakan jantung dari perdebatan
keadilan-kepedulian.
(a) Kemampuan moral
Joan Tronto menyatakan bahwa etika
kepedulian ’melibatkan pergeseran mengenai sifat dasar berbagai pertanyaan
moral menjauh dari pertanyaannya. Apakah yang merupakan prinsip-prinsip
terbaik? kepada pertanyaaan, bagaimana para individu akan paling baik
diperlengkapi untuk bertindak secara moral?’ (Tronto 1987: 657). Menjadi
persona yang bermoral terutama bukan merupakan masalah mengetahui
prinsip-prinsip yang benar, melainkan lebih merupakan masalah memiliki
kecenderungan hak—misalnya, kecenderungan untuk memahami kebutuhan orang secara
tepat, dan untuk sampai pada cara yang imaginatif dalam memenuhinya.
Benar bahwa
sebagian besar teoritikus kontemporer lebih memusatkan perhatian pada usaha
menentukan prinsip-prinsip yang benar ketimbang menjelaskan bagaimana para
individu menjadi ’terlengkapi untuk bertindak secara moral’. Tetapi penentuan
akan prinsip-prinsip yang benar mengarahkan secara alamiah pada bagaimana para
individu menjadi terlengkapi untuk bertindak secara moral, karena etika
keadilan juga mensyaratkan berbagai kecenderungan moral ini. Meskipun keadilan
melibatkan penerapan prinsip-prinsip yang benar, ’apa yang membuat
prinsip-prinsip semacam itu mempengaruhi situasi-situasi individu melibatkan
berbagai kualitas sifat dan kesanggupan merasakan yang dalam dirinya sendiri
bersifat moral dan yang berada di luar proses memeriksa suatu prinsip secara
jujur dan, kemudian menyesuaikan keinginan dan tindakan seseorang dengan
prinsip ini’ (Blum 1988: 485).
Pertimbangkan, misalnya, kecenderungan yang dibutuhkan bagi anggota juri
untuk memutuskan apakah seseorang menggunakan ’pencegahan yang masuk akal’ dalam kasus-kasus kealpaan, atau untuk
memutuskan kapan pembedaan upah di antara pekerjaan tradisional laki-laki dan
perempuan adalah diskriminatif’. Untuk bertindak adil dalam keadaan ini,
kepekaan atas berbagai faktor historis dan berbagai kemungkinan akhir-akhir
adalah sepenting ’tugas intelektual dalam membangkitkan dan menemukan prinsip
itu’ (Blum 1988: 486; bandingkan Stoker 1987: 60). Seperti yang akan kita
lihat, ada sejumlah keadaan yang menekankan pentingnya prinsip-prinsip keadilan
dapat diinterpretasikan dengan mudah, dan hasil-hasilnya mudah diprediksikan.
Namun, dalam banyak keadaan, kepekaan moral diperlukan untuk melihat apakah
prinsip-prinsip keadilan relevan bagi suatu situasi, dan untuk menentukan apa
yang diperlukan oleh prinsip-prinsip itu. Maka, teoritikus keadilan seharusnya
ikut serta dengan Gillihan dalam menentang ’asumsi bahwa kita tidak perlu
khawatir dengan keinginan besar apa yang dimiliki orang, sejauh keinginan
rasional mereka dapat mengendalikannya’ (Baier 1987b: 55). Bahkan seandainya
keadilan melibatkan penerapan prinsip-prinsip yang abstrak, orang hanya akan
mengembangkan suatu ’rasa keadilan’ yang efektif jika mereka belajar akan
jangkauan yang luas dari berbagai kemampuan moral, termasuk kemampuan
menanggapi sesuatu secara simpatik dan imaginatif berkenaan dengan berbagai keperluan situasi khusus.
Mengapa para
teoritikus keadilan melalaikan perkembangan berbagai kemampuan efektif yang
mendasari rasa keadilan kita? Mungkin karena rasa keadilan berkembang dari
suatu rasa kepedulian yang dipelajari dalam keluarga. Kita tidak dapat
mengajarkan anak-anak tentang fairness, jika
anak-anak belum lagi mempelajari dalam keluarga ’hal-hal tertentu disekitar
kebaikan dan kepekaan untuk tujuan dan kepentingan pihak lain’ (Flanagan dan
Jackson 1987: 635; bandingkan Baier 1987a: 42). Banyak ahli teori keadilan yang
sungguh-sungguh mengenali peranan keluarga dalam mengembangkan rasa keadilan.
Rawls, misalnya, menyajikan diskusi panjang tentang bagaimana rasa keadilan
berkembang dari lingkungan moral keluarga (Rawls 1971: 462-79). Namun, ini
menciptakan kontradiksi dalam tradisi keadilan. Seperti yang dikatakan Okin,
’sejalan dengan tradisi panjang para filsuf politik, Rawls ’menganggap keluarga
sebagai sekolah moralitas, pensosialisasi utama akan warganegara yang adil.
Pada saat yang bersamaan, ia juga bersama yang lain dalam tradisi ini,
mengabaikan masalah keadilan atau ketidakadilan dari keluarga yang terbagi
dalam seks itu sendiri. Hasilnya adalah suatu ketegangan pokok dalam teori,
yang dapat dipecahkan hanya dengan memperlihatkan persoalan tentang keadilan
keluarga’ (Okin 1989a: 230-1). Rawls memulai penilaiannya mengenai perkembangan
moral dengan perkataan, ’mengingat bahwa lembaga-lembaga keluarga adalah adil…’
(Rawls 1971: 490). Tetapi, seperti yang sudah kita saksikan, ia tidak melakukan
apapun untuk menunjukkan bahwa lembaga keluarga itu adalah adil. Dan ’jika
lembaga keluarga yang terbagi dalam seks tidak adil, tetapi justru merupakan
warisan peninggalan kasta atau masyarakat feudal tempat berbagai peranan,
tanggungjawab dan sumberdaya didistribusikan, tidak menurut dua prinsip
keadilan tetapi menurut perbedaan-perbedaan yang dibawa sejak lahir yang dikaruniakan
dengan signifikansi sosial yang sangat besar, maka keseluruhan struktur
perkembangan moral Rawls nampaknya dibangun di atas landasan yang tidak pasti’
(Okin 1989a: 237; bandingkan Kearns 1983: 34-40). Misalnya, apa yang memastikan
bahwa anak-anak belajar tentang persamaan dan bukanya tentang despotisme, atau
tentang resiprositas dan bukanya tentang eksploitasi? Menyelidiki keadilan
keluarga karena itu penting bukan hanya sebagai tempat kepincangan seksual,
tetapi juga sebagai suatu sekolah bagi rasa keadilan semua anak laki-laki
maupun perempuan.
Alih-alih menghadapi berbagai pertanyaan
ini, sebagian besar ahli teori keadilan merasa puas hanya dengan menganggap
bahwa orang bagaimanapun telah mengembangkan berbagai kemampuan yang
diperlukan. Namun, walaupun mereka hanya mengatakan sedikit mengenai hal ini,
mereka sungguh-sungguh mengakui bahwa ’kegagalan untuk mengembangkan dalam diri
seseorang suatu kemampuan budi baik sehubungan dengan orang lain adalah gagal
secara moral, hanya jika karena banyak tanggungjawab sama sekali tidak dapat
dijalan oleh agen moral yang kejam dan tanpa perasaan’ (Sommers 1987: 78).
(b) Penalaran moral
Jadi, para agen moral membutuhkan
‘kemampuan moral yang lebih besar’ yang dibicarakan Tronto. Akan tetapi,
dapatkah berbagai kemampuan ini menggantikan prinsip-prinsip? Menurut Tronto,
etika kepedulian mengatakan bahwa, alih-alih,
‘menegaskan prinsip-prinsip moral, imaginasi moral, sifat dan berbagai tindakan
[seseorang] harus merespon kompleksitas
dari situasi yang ada’ (Tronto 1987: 657-8; bandingkan Baier 1987a: 40). Dengan
kata lain, kecenderungan moral yang lebih besar ini tidak hanya membantu para
individu menerapkan prinsip-prinsip yang universal, tetapi juga membuat
berbagai prinsip itu tidak diperlukan, dan mungkin bersifat counter-productive. Kita hendaknya menguraikan moralitas dalam
pengertian menangani suatu situasi khusus, bukan dalam pengertian menerapkan
prinsip-prinsip universal. ’Gagasan tentang pandangan keadilan dan sayang yang
diarahkan pada suatu realitas individu…merupakan sifat dan ciri sebenarnya dari
agen moral’, dan jenis ’kepedulian etis’ ini tidak bergantung ’pada aturan atau
prinsip’ (Iris Murdoch, dikutip dalam Grimshaw 1986: 234; bandingkan, Ruddick
1980: 223-4; Noddings 1984: 81-94).
Namun, apakah yang dimaksudkan dengan sekadar menangani situasi ini? Bagaimanapun, tidak semua kenampakaan kontekstual adalah relevan
bagi keputusan moral. Dalam membuat berbagai keputusan moral, kita tidak hanya
menangani berbagai perbedaan kenampakan situasi, kita juga menghakimi arti
penting relatif dari berbagai perbedaan kenampakan situasi itu. Dan meskipun
kita menginginkan orang memiliki kesanggupan dalam menangani kompleksitas
situasi, kita juga menginginkan mereka memiliki kesanggupan dalam mengidentifikasi
mana dari kenampakan situasi yang memiliki arti penting secara moral. Dan ini
nampanya membangkitkan pertanyaan mengenai prinsip ketimbang mengenai kepekaan:
’Kita sama sekali tidak diberitahu tentang [etika kepedulian] sampai kita
diberitahu apa kenampakan dari berbagai situasi konteks-kepekaan orang yang
diakui sebagai menonjol secara moral, apa bobot yang mereka letakkan pada
berbagai ciri-ciri yang berbeda ini, dan sebagainya…kita hanya perlu mengetahui
lebih banyak lagi, secara lebih detil, berkenaan dengan pada apa dan pada siapa
kaum wanita merasa bertanggungjawab, dan mengenai apa yang sesungguhnya mereka
pedulikan’ (Flanagan dan Adler 1983: 592; Sher 1987: 180).
Ruddick
mengklaim bahwa meskipun kita sungguh-sungguh membedakan berbagai kenampakan
dari situasi-situasi moral yang menonjol dan tidak relevan, pembedaan ini
muncul dari kebanyakan proses dalam menangani situasinya, ketimbang dari
prinsip-prinsip eksternal. Seseorang yang menangani dari dekat suatu situasi
khusus akan melihat ini sebagai mengajukan tuntutan pada kita. Akan tetapi,
walaupun sejumlah pertimbangan moral mungkin siap diamati oleh setiap orang
yang telah mengembangkan kemampuan untuk memperhatikan secara simpatik situasi
khusus, ada berbagai pertimbangan relevan lain yang kurang jelas. Misalnya,
kapan pembatasan pekerjaan bersifat diskriminatif? Seperti yang sudah kita
lihat, situasi pekerjaan saat ini mungkin ‘memerlukan’ seseorang yang bebas
dari tanggungjawab mengasuh anak, atau yang memiliki tinggi atau kekuatan
tertentu. Karena hal-hal ini merupakan kriteria yang memang relevan bagi
pekerjaaan, maka hanya dalam perspektif sosial yang lebih luaslah kita dapat
melihat bagaimana gabungan pengaruh dari hal-hal ini menciptakan suatu sistem
kepincangan seksual. Dalam keadaan ini, mengetahui kapan kriteria yang relevan
adalah kurang bersifat diskriminatif betapapun, atau kapan membalikkan
diskriminasi adalah kurang absah sekalipun, membutuhkan lebih dari sekadar
perhatian simpatik terhadap situasi khusus. Dalam rangka mengetahui kapan
terdapat suatu tuntutan moral yang absah bagi tindakan affirmative (affirmative action), kita perlu
menempatkan situasi khusus itu di dalam teori tentang persamaan seks yang lebih
luas.
Lebih dari
itu, bahkan jika kita menerimaa semua tuntutan yang relevan, tuntutan-tuntutan
ini dapat saling bertentangan, sehingga perhatian secara detil mungkin membawa
pada ketidakmampuan menentukan pilihan dalam ketiadaan prinsip-prinsip pada
tingkat yang lebih tinggi. Jika seseorang dihadapkan pada pertentangan antara
tuntutan dari para calon laki-laki sekarang ini dan mereka yang merupakan
generasi wanita masa depan, perhatian dengan sabar pada situasi mungkin hanya
menghasilkan betapa menyakitkan pertentangan yang ada sehubungan dengan
tindakan afirmatif. Sebagaimana Held mencatat, ’kita memiliki sumberdaya yang
terbatas untuk kepedulian. Kita tidak dapat memperdulikan setiap orang atau
melakukan segala hal yang disarankan pendekatan kepedulian. Kita memerlukan
garis pedoman moral untuk menata prioritas kita’ (held 1987: 119; Grimshaw
1986: 219).
Ruddick dan
Gilligan menulis seolah-olah dengan menyerukan kepada prinsip-prinsip
melibatkan pemisahan dari kekhususan situasi. Tapi sebagaimana Grimshaw
mencatat, prinsip-prinsip bukan merupakan petunjuk untuk menghindari pengamatan
terhadap yang khusus, tetapi lebih sebagai petunjuk tentang apa yang dicari.
Tidak seperti ’aturan-aturan’, seperti sepuluh perintah Tuhan (ten commandments), yang dimaksudkan
sebagai pedoman yang dapat diterapkan tanpa banyak perenungan, suatu prinsip
‘berfungsi sangat berbeda’. Fungsi prinsip justru untuk mengudang, dan bukanya merintangi perenungan, karena ini merupakan
’pertimbangan umum yang dianggap orang penting untuk diperhitungkan ketika
memutuskan hal apa yang benar untuk dilakukan’ (Grimshaw 1986: 207-8). Setiap
teori moral harus memiliki sejumlah penilaian tentang berbagai pertimbangan
umum semacam itu, dan jenis pertimbangan yang diserukan oleh teoritikus
keadilan seringkali memerlukan, dan bukanya bertentangan dengan, perhatian atas
detail-detail khusus (Friedman 1987b: 203).
Beberapa
teoritikus kepedulian mengklaim bahwa kecenderungan untuk menyerukan pada
prinsip-prinsip guna memutuskan berbagai pertentangan menggantikan
kecenderungan yang lebih berharga untuk memikirkan jalan keluar dalam mengatasi
berbagai pertentangan. Misalnya, Gilligan mengklaim bahwa ketika menyusun
masalah-masalah moral dalam pengertian keadilan atau kepedulian, subyeknya akan
baik ’menarik diri ke belakang situasi dan menyerukan pada suatu aturan atau prinsip
untuk menghakimi klaim-klaim yang saling bertentangan atau memasuki situasi
dalam usaha menemukan atau menciptakan cara menanggapi semua kebutuhan’
(Gilligan 1987: 27). Dan tentu saja, ia mengutip banyak kasus ketika para gadis
mampu menemukan sebuah jalan keluar yang menjawab semua kebutuhan dalam situasi
khusus, suatu jalan keluar yang salah ditanggapi oleh anak laki-laki dalam
ketergopohannya menemukan pertimbangan berdasarkan prinsip berkenaan dengan
pertentangan. Namun, tidak selalu ada cara untuk mengakomodasi berbagai
tuntutan yang saling bertentangan, dan tidak jelas bahwa kita harus selalu
mencoba mengakomodasi semua tuntutan. Pertimbangkan tuntutan dari kode-kode
kehormatan rasis atau seksis. Ini merupakan tuntutan-tuntutan yang jelas,
tetapi banyak dari tuntutan ini tidak absah. Kenyataan bahwa laki-laki kulit
putih mengharap untuk diperlakukan dengan cara yang berbeda bukan merupakan
alasan untuk mengakomodasi harapan-harapan semacam itu. Bahkan jika kita dapat
mengakomodasinya, kita mungkin memancing suatu pertentangan dalam rangka
memperjelas ketidaksetujuan kita. Jika kita mempersoalkan berbagai tuntutan
ini, maka ’perhatian tidak selalu hanya dapat
difokuskan pada berbagai detail dan nuansa dari situasi khusus’, melainkan
harus meletakkan detail-detail itu dalam sejumlah kerangka kerja yang lebih
luas dari prinsip-prinsip normative (Grimshaw 1986: 238; Wilson 1988: 18-19).
(c) Konsep-konsep moral
Pertanyaannya kemudian bukan apakah kita
membutuhkan prinsip-prinsip, melainkan apakah prinsip-prinsip yang harus
menangani ‘hak-hak dan fairness’ atau berbagai ’tanggungjawab dan pertalian’.
Sedikitnya ada tiga cara yang berbeda untuk menguraikan perbedaan diantara
konsep-konsep moral ini:
1.
Universalitas versus perhatian
atas pertalian-pertalian khusus;
2.
penghormatan atas kemanusiaan
umum versus penghormatan atas individualitas yang berbeda;
3.
mengklaim
hak-hak versus menerima tanggungjawab.
Saya akan melihat pada tiga hal ini
kemudian.
(i) Universalitas
versus pemeliharaan pertalian
Salah satu cara yang umum dalam
membedakan kepedulian dan keadilan adalah mengatakan bahwa keadilan diarahkan
pada universalitas dan imparsialitas, sementara kepedulian diarahkan pada
pemeliharaan ‘jaringan berbagai
pertalian yang sedang berlangsung’ (Blum 1988: 473; Tronto 1987: 660).
Sebagaimana Gilligan menyebutkan, ‘Dari perspektif keadilan, diri sebagai agen
moral berdiri sebagai tokoh yang menentang landasan pertalian-pertalian social,
menilai berbagai klaim yang saling bertentangan mengenai diri dan yang lain terhadap
standar persamaan dan penghormatan yang sama (Imperatif Kategoris, Aturan
Utama). Dari perspektif
kepedualian, berbagai pertalian menjadi tokoh, menentukan diri dan yang lain.
Dalam konteks pertalian, diri sebagai suatu agen moral merasa dan menanggapi
perspesi tentang kebutuhan’ (Gilligan 1987: 23). Maka, bagi Gilligan,
‘moralitas didirikan dalam pengertian pertalian kongkrit dan tanggapan langsung
diantara orang-orang, suatu pengertian pertalian langsung yang ada mendahului
berbagai kepercayaan moral mengenai apa yang benar atau salah atau
prinsip-prinsip mana yang diterima. Tindakan moral dimaksudkan untuk menyatakan
dan untuk menjaga keberlanjutan pertalian-pertalian itu pada orang lain
tertentu’ (Blum 1988: 476).
Ada sejumlah ambiguitas dalam pengertian tentang ‘jaringan berbagai
pertalian yang ada sekarang’. Menurut salah satu pandangan, ini menunjuk pada
pertalian-pertalian yang berakar secara historis dengan pihak lain tertentu.
Akan tetapi, jika ditafsirkan dengan cara seperti ini, etika kepedulian
melahirkan bahaya berupa peniadaan mereka yang paling membutuhkan, karena
mereka sangat besar kemungkinannya berada di luar jaringan dari berbagai
pertalian. Banyak teoritikus kepedulian
yang mengakui bahaya ini. Tronto mengatakan bahwa ’dalam memusatkan perhatian
pada pemeliharaan berbagai pertalian yang ada sekarang, perspektif kepedulian
mengandung suatu kualitas konservatif’, lalu bagaimana memastikan ‘bahwa
jaringan dari berbagai pertalian diputar secara cukup luas sehingga beberapa
orang tidak berada di luar jangkauannya tetap merupakan pertanyaan utama’.
Apapun kelemahan dari universalisme Kantian, premisnya mengenai nilai moral dan
martabat yang sama bagi seluruh umat manusia adalah menarik karena menghindari
masalah ini’ (Tronto 1987: 660-1). Tetapi pertanyaannya bukan sekadar
menjelaskan bagaimana ‘lembaga-lembaga
sosial kemungkinan dirancang untuk memperluas pemahaman konvensional atas
batas-batas kepedulian ini, tetapi mengapa
lembaga-lembaga itu harus dirancang kembali, jika kita tidak menerima prinsip
universalistik mengenai nilai moral yang sama. Jawaban sementara Tronto yang
mengejutkan adalah bahwa ‘ada kemungkinan menghindari kebutuhan akan dalih
khusus sementara pada saat yang bersamaan menghindarkan dari prinsip-prinsip
moral universal; jika demikian, etika kepedulian barangkali dapat berjalan’
(Tronto 1987: 661, 660).
Akan tetapi, teoritikus kepedulian yang lain menguraikan ‘jaringan
pertalian yang ada sekarang’ dalam cara yang lebih luas. Seperti Tronto,
Gilligan mengatakan bahwa ‘tiap-tiap orang tertanam dalam suatu jaringan
pertalian yang sedang berlangsung, dan moralitas penting jika bukan semata-mata
mengandung perhatian terhadap, atau pemahaman tentang, dan daya tanggap
emosional ke arah para individu dengan siapa seseorang berada dalam berbagai
pertalian ini’ (Blum 1988: 473). Tapi, sebagaimana Blum mencatat, ‘Gilligan
mengartikan jaringan ini mencakup seluruh manusia, dan bukan hanya lingkaran
kenalan seseorang’ (Blum 1988: 473). Sebagaimana salah seorang perempuan dalam
studi Gilligan menyebutkan, kita bertanggungjawab terhadap ’kumpulan teramat
besar dari setiap orang itu’, sehingga ‘orang asing masih merupakan persona
lain yang termasuk dalam kelompok itu, orang yang anda berpertalian dikarenakan sebagai persona lain’
(Gilligan 1982: 57, penekanan saya; bandingkan 1982: 160). Bagi Gilligan, apa
yang menggabungkan orang dalam jaringan pertalian yang sangat besar ini tidak
harus merupakan interaksi langsung, tetapi lebih karena rasa kemanusiaan
bersama. Karena konsepsi Gilligan tentang jaringan berbagai pertalian telah
mencakup tiap-tiap orang, komitmennya untuk memelihara jaringan berbagai
pertalian mengandung, ketimbang bertentangan dengan, klaimnya bahwa yang
mendorong etika kepedulian adalah ‘bahwa setiap orang akan ditanggapi dan
dimasukkan, bahwa tidak ada orang yang akan dibiarkan sendirian atau terluka’
(Gilligan 1982: 63).
Tentu saja, sekali para teoritikus kepedulian mengatakan bahwa tiap-tiap
orang berpertalian dengan kita ‘dikarenakan sebagai persona lain’, maka nampak
bahwa mereka juga terikat pada suatu prinsip universalitas. Segera sesudah
kepedulian dan perhatian ’dipisahkan dari berbagai tuntutan akan pertalian yang
berakar secara historis dan unik—segera sesudah pertalian ini disangka sebagai
dihasilkan hanya oleh kelompok-kelompok yang terpengaruh ‘kemanusiaan umum’,
atau oleh kenyataan bahwa berbagai kelompok itu semuanya memiliki kepentingan,
atau semuanya dapat terpengaruh, maka ‘kita benar-benar kehilangan perbedaan
antara kekhususan pertalian dan keumuman prinsip. Dengan kehilangan ini, kita
nampaknya hanya ditinggali suatu pendekatan yang mencoba memecahkan berbagai
dilema moral melalui identifikasi dengan semua kelompok yang terpengaruh secara
simpatik. Dan jenis universalitas ini ’setidaknya berpertalian erat dengan
pengamat yang baik dan imparsialitas yang biasa dikenal itu’ kita temukan dalam
teori-teori Kantian dan Utilitarian (Sher 1987: 184). Meskipun Gilligan
mengindari bahasa universalitas, studinya ‘mengindikasikan bahwa kepedulian dan
rasa tanggungjawab kaum wanita terhadap pihak lain seringkali di universalkan’
(Okin 1990: 158; bandingkan Broughton 1983: 606; Kohlberg 1984: 356).
Jadi, komitmen pada ‘pemeliharaan jaringan pertalian’ mungkin bertentangan
dengan komitmen pada universalitas atau mungkin juga tidak, bergantung pada
bagaimana kita menginterpretasikannya. Kebanyakan literatur tentang etika
kepedulian dipusatkan pada ‘ketegangan yang saling bertentangan namun kreatif’
antara konsepsi yang universalistik dan yang lebih lokal berkenaan dengan
pertalian kita dengan orang lain (Ruddick 1984: 239). Para ahli teori
kepedulian menyatakan bahwa kita ’mencapai kemajuan moral…dengan memperluas
jangkauan aturan resmi untuk memperlihatkan kepedulian dan mempertahankan
berbagai pertalian’ (Meyers 1987: 142), biarpun hal ini mensyaratkan
‘perubahan’ dan ‘penggeneralisasian’ sejumlah parktek kepedulian yang ada
sekarang (Ruddick 1980: 222, 226). Tetapi benar juga bahwa ‘rasa tanggungjawab
pada inti perspektif kepedulian’ mencoba menghindari ‘pemaksaan imparsialitas
dengan mengorbankan keterlekatan yang terjadi’. (Meyers 1987: 142). Maka
nampaklah bahwa sebagian besar ahli teori kepedulian menerima komitmen Gilligan
akan jaringan pertalian yang universalistik, tapi lebih menekankan
kontinuitasnya dengan jaringan pertalian Tronto yang lebih lokal. Namun,
sebagaimana Blum mencatat, ’bagaimana perluasan ini pada semua orang akan
diselesaikan tidak dibuat jelas’ (Blum 1988: 473)[12]
(ii) Penghormatan pada kemanusiaan dan
pada individualitas
Menurut beberapa ahli teori kepedulian,
masalah yang mengiringi keadilan bukan bahwa keadilan memberikan tanggapan
secara universal terhadap semua yang menerima kemanusiaan kita, melainkan
bahwa keadilan memberikan tanggapan
semata-mata pada kemanusiaan umum orang-orang, ketimbang pada individualitas
nyata orang-orang. Para
ahli teori kepedulian mengklaim bahwa bagi para ahli teori yang berbasis
keadilan, ‘arti penting moral orang sebagai obyek perhatian moral hanyalah
sebagai pembawa sifat-sifat yang dapat diulang dan sepenuhnya umum meskipun
bermakna secara moral’ (Blum 1988: 475).
Keadilan menaruh perhatian pada ‘penyemarataan yang lain’ (generalized other), dan mengabaikan
‘kemenentuan yang lain’ (concrete other):
Sudut pandang
penyamarataan yang lain mensyaratkan kita memandang setiap dan masing-masing
individu sebagai mahluk rasional yang berhak atas hak-hak dan tanggungjawab
yang sama yang kita ingin mengganggap berasal dari kita sendiri. Dalam mengasumsikan sudut pandang ini,
kita memisahkan dari individualitas dan identitas kongkrit dari yang lain. Kita
menganggap bahwa yang lain, seperti kita sendiri, merupakan mahluk yang
memiliki berbagai kebutuhan, hasrat dan pengaruh yang kongkrit, namun bahwa apa
yang membentuk martabat moralnya bukan apa yang membedakan kita satu sama lain,
tetapi lebih karena apa yang menyamakan kita, sebagai agen yang berbicara dan
bertindak rasional…Sudut pandang kemenentuan yang lain, sebaliknya,
mensyaratkan kita memandang setiap dan masing-masing mahluk rasional sebagai
individu dengan sejarah, identitas, dan keadaan jasmani perasaani-kesukaan yang
kongkrit. Dalam mengasumsikan sudut pandang ini, kita memisahkan dari apa yang
membentuk komunalitas kita…Dalam memperlakukanmu sesuai dengan norma-norma
persahabatan, cinta dan kepedulian, aku menegaskan bukan hanya kemanusiaan-mu, tetapi individualitas kemanusiaan-mu (Benhabib
1987: 87; bandingkan Meyers 1987: 146-7; Friedman 1987a: 105-10).
Sebagaimana
Benhabib menekankan, sudut pandang penyamarataan yang lain dan kemenentuan yang
lain keduanya benar-benar di universalkan (memang, Benhabib menamakan masing-masing sebagai
‘universalisme substitutionalist’ dan ‘universalisme interactive’). Tetapi
kepedulian, tidak seperti keadilan, memberikan tanggapan terhadap
perbedaan-perbedaan kongkrit kita, ketimbang kemanusiaan kita yang abstrak.
Tetapi perbandingan ini nampak dilukiskan
terlalu berlebih-lebihan dalam kedua arah. Yang pertama, etika kepedulian,
sekali diuniversalkan, juga menyerukan pada kemanusiaan umum. Sebagaimana Sher
mencatat, segera sesudah kepedulian dan perhatian ‘dikira dihasilkan oleh
kelompok-kelompok yang terpengaruh kemanusiaan umum, atau oleh kenyataan bahwa
berbagai kelompok itu semuanya memiliki kepentingan, atau semuanya dapat
terpengaruh’, maka hal itu akan dipandang sebagai tanggapan yang sesuai
terhadap sifat-sifat yang dapat berulang dan dimiliki bersama’ (Sher 1987:
184).
Yang kedua, teori-teori keadilan
tidak terbatas menghormati penyamarataan yang lain. Hal ini jelas dalam kasus
utilitarianisme, yang harus menangani partikularitas dalam rangka mengetahui
apakah suatu kebijaksanaan akan memajukan berbagai preferensi orang. Hal ini
mungkin nampak kurang jelas dalam teori Rawls, dan tidak mengejutkan, banyak
kaum feminis menunjuk pada posisi asli Rawls sebagai sebuah paradigma pemikiran
keadilan. Karena posisi asli mensyaratkan para individu memisahkan diri dari
kedirian mereka yang khusus, hal ini dikira memberikan contoh suatu tradisi,
dalam mana diri moral dipandang sebagai mahluk yang terlepas dan tanpa tubuh’
(Benhabib 1987: 81). Namun hal ini salah dalam menggambarkan posisi asli.
Sebagaimana Okin mencatat,
Posisi asli mensyaratkan bahwa, sebagai subyek moral, kita menganggap
berbagai identitas, tujuan dan keterkaitan setiap orang yang lain, meskipun
mereka mungkin sangat berbeda dari kita sendiri, merupakan bagian perhatian
yang sama dengan kita sendiri. Jika kita, yang sungguh-sungguh mengetahui siapa
kita, berpikir seolah kita dalam posisi asli, kita harus mengembangkan
kemampuan yang sungguh-sungguh berkenaan dengan empati dan kekuasaan
mengkomunikasikan dengan pihak lain mengenai seperti apakah perbedaan hidup
manusia. Namun hal-hal ini saja tidak cukup untuk mempertahankan dalam diri
kita suatu rasa keadilan. Karena kita mengetahui siapa kita, dan apa kepentingan
dan konsepsi khusus kita tentang kebaikan, kita juga memerlukan komitmen yang
lebih besar akan perbuatan baik: untuk memperdulikan setiap dan masing-masing
pihak lain sebanyak kita memperdulikan kita sendiri (Okin 1989a: 246).
Karena itu,
‘teori keadilan Rawls dengan sendirinya bergantung secara sentral pada
kapasitas moral orang-orang untuk memperhatikan dan mendemonstrasikan
kepedulian bagi pihak lain, terutama pihak lain yang paling berbeda dari diri
mereka sendiri’ (Okin 1989a: 247). Para ahli teori kepedulian seringkali
mengatakan bahwa penyelesaian pertentangan ‘harus tercapai melalui pemikiran
yang induktif dan kontekstual yang merupakan ciri-ciri dari penerimaan peranan
akan kekhususan yang lain’ (Harding 1987: 297). Namun, hal ini justru adalah
apa yang dipersyaratkan posisi asli tentang kita.
Benhabib mempertanyakan apakah
‘mengambil sudut pandang pihak lain’ adalah benar-benar sesuai dengan penalaran
dibelakang selubung ketidaktahuan (a veil
of ignorance), karena keadilan yang dengan demikian ‘disamakan dengan
perspektif penyamarataan yang lain yang terlepas dan tanpa tubuh…Masalahnya
dapat dinyatakan sebagai berikut: menurut Kohlberg dan Rawls, pertukaran moral
melibatkan kemampuan untuk mengambil sudut pandang pihak lain, untuk meletakkan
diri seseorang secara imaginatif di tempat pihak lain, namun dengan adanya
persyaratan “selubung ketidaktahuan”, perbedaan
yang lain dari diri sendiri menghilang’ (Benhabib 1987: 88-9; bandingkan
Blum 1988: 475; Gilligan 1986: 240; 1987: 31). Namun ini salah dalam
menggambarkan bagaimana posisi asli bekerja. Kenyataan bahwa orang diminta
untuk menalar dalam keterpisahannya dari posisi sosial, bakat-bakat alamiah,
dan preferensi pribadi mereka sendiri
ketika memikirkan tentang yang lain tidak berarti bahwa orang-orang itu harus
mengabaikan berbagai preferensi, bakat dan posisi sosial khusus pihak lain. Dan
sebagaimana sudah kita lihat, Rawls mendesakkan bahwa berbagai kelompok (parties) di belakang posisi asli harus
mempertimbangkan berbagai hal ini (bab 3, bagian 3 di atas). Benhabib
menganggap bahwa posisi asli bekerja dengan mensyaratkan pelaku kontrak
mempertimbangkan berbagai kepentingan pelaku kontrak yang lain (yang semuanya
menjadi ‘penyamarataan yang lain’ dibelakang selubung ketidaktahuan). Namun, dalam
kenyataannya, pengaruh selubung itu adalah bahwa ‘ia tidak lagi penting bagi
[pelaku kontrak dalam] posisi asli yang, seandainya mencakup semua orang,
menempati posisi dengan dirinya atau apa kepentingan penghuninya. Apa yang
penting bagi diri pelaku kontrak adalah hasrat-hasrat dan tujuan-tujuan dari
setiap anggota yang sesungguhnya dari masyarakatnya, karena selubung itu
memaksa pelaku kontrak itu untuk menalar seolah
ia merupakan salah satu dari mereka’ (Hampton 1980: 335). Seperti yang
sudah kita saksikan, pendukung cita-cita (ideal
sympathizer) yang disebutkan Hare memaksakan persyaratan yang sama (bab 2
bagian 5b di atas). Kedua peralatan, pelaku kontrak yang tanpa keperpihakkan (impartial contractor) dan pendukung
cita-cita, bekerja dengan mensyaratkan orang agar mempertimbangkan kemenentuan
yang lain (bandingkan Broughton 1983: 610; Sher 1987: 184)[13]
(iii) Menerima
tanggungjawab dan mengklaim hak-hak
Karena kedua
etika itu adalah universal dan keduanya menghormati baik komunalitas maupun
individualitas, perbedaannya (jika ada sebuah perbedaan) terletak di tempat
lain. Salah satu pembedaan akhir yang ditawarkan oleh Gilligan adalah bahwa
keadilan memikirkan pemikiran tentang perhatian bagi yang lain dalam arti
menghormati klaim atas hak-hak, sementara kepedulian memikirkan pemikiran
tentang perhatian bagi yang lain dalam arti menerima tanggungjawab. Tetapi apa
yang ditambahkan oleh perbedaan ini? Salah satu pokok perbedaan, menurut
Gilligan, adalah bahwa menerima tanggungjawab demi pihak lain mensyaratkan
sejumlah perhatian positif berkenaan dengan kesejahteraan mereka, sementara
hak-hak pada dasarnya merupakan mekanisme perlindungan diri yang dapat
dihormati hanya dengan membiarkan orang-orang lain sendirian. Maka, ia
menyamakan pembicaraan tentang hak-hak dengan individualisme dan pementingan
diri sendiri, dan mengatakan bahwa tanggungjawab berdasarkan hak-hak bagi pihak
lain terbatas pada ketiadaan campur tangan secara timbal balik (Gilligan 1982:
22, 136, 147; bandingkan Meyers 1987: 146).
Namun ini hanya berlaku bagi
teori-teori keadilan tentang hak. Semua teori yang lain yang telah saya periksa
mengakui kewajiban positif berkenaan dengan kesejahteraan pihak lain. Jadi
meskipun kerangka-kerja keadilan menegaskan hak-hak orang, adalah cukup tepat
untuk mengatakan bahwa hak-hak ini memaksakan tanggungjawab pada pihak lain.
Dan tentu saja itulah cara bagaimana beberapa responden Gilligan
mendeskripsikan etika kepedulian mereka. Misalnya, salah seorang wanita
mengatakan bahwa ‘orang menderita, dan itu memberikan mereka hak-hak tertentu,
dan memberikan anda sebuah tanggungjawab tertentu’ (dikutip dalam Broughton
1983: 605). Benar bahwa beberapa wanita ‘sedikit memikirkan tentang hak mereka
ketimbang tentang tanggungjawab yang mereka berikan’. Namun mereka mungkin
menganggap mereka sendiri bertanggungjawab dalam memberikan kepedulian terhadap
yang lain justru karena mereka menganggap yang lain berhak atasnya—‘beranggapan
sebaliknya akan menyerupai penggabungan klaim yang terdukung dengan baik bahwa
kaum wanita kurang berminat dibandingkan kaum laki-laki dengan perlindungan
atas hak-hak mereka dengan klaim yang
sangat berbeda bahwa kaum wanita kurang cenderung dibandingkan kaum laki-laki
untuk berpikir bahwa orang memiliki hak-hak (atau mendukung pandangan yang
secara fungsional sama dengan ini)’ (Sher 1987: 187).
Sekali kita melepaskan tafsiran
libertarian tentang hak sebagai tanpa campur-tangan, keseluruhan perbedaan
antara tanggungjawab dan hak terancam bubar (Okin 1990: 157). Sebagaimana
Broughton menyatakan, ’Gilligan dan subyeknya nampak mengisyaratkan sesuatu
seperti “hak semua orang untuk menghormati sebagai orang”, “hak untuk
diperlakukan dengan penuh perhatian dan secara sama”, dan “kewajiban untuk
mengormati dan tidak meluaki pihak lain”’. Maka ‘adalah sulit melihat dengan
cara apa ia disini tidak merekomendasikan hak-hak dan kewajiban yang kurang
lebih mengikat atau bahkan mungkin “prinsip-prinsip” kesejahteraan personal dan
perhatian yang penuh kebaikan’ (Broughton 1983: 612). Dan meskipun Gilligan
bersikeras bahwa kedua etika itu berbeda secara mendasar, ia sendiri nampaknya
tidak mengambil sikap mengenai hubungan keduanya. Ia ‘bergeser diantara gagasan
bahwa kedua etika itu merupakan alternatif yang tidak dapat dipertemukan satu
sama lain namun keduanya mencukupi dari sudut pandang normatif; bahwa keduanya
melengkapi satu sama lain menyangkut sejenis saling mempengaruhi yang tegang;
dan yang satu akan kurang sempurna tanpa yang lain dan karena itu harus
diintegrasikan’ (Flanagan dan Jackson 1987: 628). Pergeseran seharusnya tidak
mengejutkan seandainya, seperti yang sudah saya katakan, konsep kunci yang
dipergunakan Gilligan untuk membedakan kedua etika itu tidak menentukan
perbedaan yang sebenarnya[14].
Meskipun hak dan tanggungjawab bukan
merupakan konsep moral yang saling membedakan, terdapat perbedaan pada jenis
tanggungjawab yang dipaksakan masing-masing etika pada kita. Menurut Sandra
Harding, penelitian Gilligan menunjukkan bahwa ‘perasaan terluka secara
subyektif kelihatan imoral bagi kaum wanita tidak peduli apakah fair atau
tidak’, sementara laki-laki ‘cenderung menilai sebagai imoral hanya pada
ketidakadilan objektif—tidak peduli apakah suatu tindakan menciptakan luka
subyektif’ (Harding 1982: 237-8; 1987: 297). Misalnya, laki-laki cenderung
kurang mengenali kewajiban moral untuk memperbaiki luka subyektif yang muncul
dari kelalaian seseorang sendiri, karena hal itu merupakan kesalahannya
sendiri. Disini ada luka subyektif, tetapi bukan ketidakadilan obyektif,
sehingga laki-laki cenderung tidak mengakui tanggungjawab moral. Bagi kaum
wanita, di pihak lain, imoralitas dari luka subyektif tidak bergantung pada
kehadiran ketidakadilan obyektif.
Terdapat perbedaan yang
sungguh-sungguh antara menerima luka subyektof atai ketidakdilan obyektif
sebagai landasan bagi klaim-klaim moral. Apakah ini merupakan perbedaan
fundamental antara kepedulian dan keadilan? Tentunya benar bahwa sebagian besar
ahli teori keadilan mengikat klaim moral kepada ketidakadilan obyektif
ketimbang kepada luka subyektif[15]. Namun tidak begitu jelas apakah etika
kepedulian mengatakan bahwa luka subyektif membentuk landasan bagi klaim-klaim
moral. Memperdulikan seseorang tidak tentu berarti bahwa seseorang merasakan
suatu tanggungjawab moral untuk menangani setiap kemauan mereka, atau untuk
mencegah mereka dari semua luka atau ketidakpuasan subyektif. Para ahli teori
kepedulian dalam kenyataannya tidak berbicara banyak, sejauh ini, tentang
bagaimana mereka memahami hubungan antara luka subyektif, ketidakdilan obyektif
dan berbagai klaim moral, dan ada kemungkinan konsepsi yang berbeda tentang
kepedulian etis itu akan sampai pada kesimpulan yang berbeda. Jadi, adalah
gegabah untuk menganggap bahwa kepedulian dan keadilan memiliki pandangan yang
berlawanan secara fundamental terhadap masalah ini.
Akan tetapi, walaupun pokok
ketidaksepakatan yang sebenarnya tidak jelas, nampaknya benar bahwa para ahli
teori kepedulian cenderung menekankan luka subyektif ketimbang ketidakfairan
obyektif sebagai landasan bagi klaim-klaim moral. Sebelum mempertimbangkan
sejumlah alasan yang dimiliki oleh teoritisi kepedulian dalam menekankan luka
subyektif, saya akan mengamati sejumlah alasan yang dimiliki teoritisi keadilan
dalam melebih-lebihkan ketidakfairan obyektif sebagai lansadan bagi klaim-klaim
moral. Saya akan menyatakan bahwa tekanan pada ketidakfairan obyektif, meskipun
semula masuk akal, hanya absah dalam konteks tertentu—yaitu, interaksi diantara
orang dewasa yang kompeten. Tentu saja, ketidakfairan obyektif boleh jadi hanya
absah ketika interaksi kita dengan orang-orang dewasa yang kompeten secara
tajam dipisahkan dari interaksi kita dengan orang-orang yang bergantung. Jika
demikian, maka perdebatan antara penalaran kepedulian dan penalaran keadilan
terkait secara tak terhindarkan dengan perdebatan antara pembedaan domestic dan
publik.
Mengapa para ahli teori keadilan
menganggap penting untuk membatasi tanggungjawab kita terhadap pihak lain
kedalam klaim-klaim kefairan? Jika luka subyektif selalu memunculkan
klaim-klaim moral, maka saya dapat mengharapkan secara absah, sebagai soal
kepedulian etika, bahwa pihak lain mengurus semua kepentingan saya. Namun bagi
para ahli teori keadilan, hal ini mengabaikan kenyataan bahwa saya harus
menerima tanggungjawab penuh akan sejumlah kepentingan saya. Dalam perspektif
keadilan, saya dapat mengharapkan secara absah, sebagai soal kefairan, bahwa
pihak lain mengurus sejumlah kepentingan saya, bahkan jika hal ini membatasi
pengejaran akan kebaikan mereka sendiri, karena terdapat sejumlah kepentingan
yang tetap merupakan tanggungjawab saya sendiri, dan akan keliru untuk
mengharapkan pihak lain tidak jadi menjalankan kebaikan mereka guna mengurus
hal-hal yang merupakan tanggungjawab saya.
Pertimbangan seseorang yang dermawan
dengan uang dan waktunya ketika sahabatnya sedang membutuhkan, namun juga luar
biasa ceroboh dalam pembelanjaan. Sebagai hasilnya, ia seringkali (secara tidak
seharusnya) membutuhkan pertolongan, dan ia menyandarkan diri pada pihak lain
untuk menghindarkan dirinya dari akibat kecerobohannya. Apakah ia memiliki
harapan sah bahwa pihak lain akan membantunya---harus kita secara moral merasa
terikat untuk menghindarkannya dari hasil-hasil kecerobohannya? Pendekatan luka
subyektif mengatakan bahwa kita tidak bertanggungjawab jika kita tidak menangani
penderitaannya. JIka ia merasakan suatu luka
subyektif, maka kita dipersyaratkan untuk menanganinya, meskipun luka
itu merupakan hasil dari perencanaan ceroboh atau pemborosannya sendiri. Etika
keadilan, bagaimanapun, mengatakan bahwa ia tidak bertanggungjawab dalam
mengharapkan kita menghindarkan dirinya dari setiap penderitaan.
Tindakan-tindakannya adalah tanggungjawabnya sendiri, dan adalah immoral
meminta orang lain membayar biaya-biaya dari kecerobohannya.
Dipandang dengan cara ini, perdebatan
antara luka subyektif dan ketidakfairan obyektif merupakan perdebatan yang sungguh-sungguh,
karena terdapat berbagai posisi penting yang berbeda yang dapat kita ambil
sehubungan dengan masalah tanggungjawab demi kesejahteraan hidup kita sendiri.
Bagi para ahli teori kepedulian, tekanan pada ketidakfairan obyektif menyetujui
suatu pelepasan tanggungjawab moral, karena ketidakfairan obyektif membatasi
tanggungjawab kita terhadap pihak lain pada berbagai klaim tentang
ketidakfairan, dan secara demikian mengijinkan orang untuk tidak memperdulikan
penderitaan yang dapat dihindari. Bagi para ahli teori keadilan, tekanan pada
luka subyektif menyetujui suatu pelepasan tanggungjawab moral, karena luka
subyektif menyangkal bahwa yang tidak berhati-hati harus membayar biaya dari
pilihan-pilihan mereka, dan dengan demikian memberikan ganjaran mereka yang
tidak bertanggungjawab, sementara menghukum mereka yang berbuat secara
bertanggungjawab.
Perdebatan antara kepedulian dan
keadilan, karena itu, bukan merupakan perdebatan antara tanggungjawab dan hak.
Sebaliknya, tanggungjawab adalah penting bagi etika keadilan. Alasan mengapa
klaim saya pada orang lain terbatas pada kefairan bukan bahwa orang-orang itu
memiliki hak, melainkan bahwa saya memiliki tanggungjawab—sebagian dari
tanggungjawab saya berkenaan dengan pihak lain melibatkan penerimaan
tanggungjawab berkenaan dengan keinginan saya sendiri, dan berkenaan dengan
biaya dari pilihan-pilihan saya. Sebagaimana Rawls menyatakan, teorinya
‘disandarkan pada kecakapan memikul tanggungjawab demi tujuan-tujuan kita’
(Rawls 1982b: 169). Sebaliknya, mereka yang mengikat kewajiban moral dengan
luka subyektif, ketimbang dengan ketidakfairan obyektif harus menyangkal bahwa
kita merupakan agen-agen yang bertanggungjawab; mereka harus menyatakan ‘bahwa
tidak masuk, jika bukan tidak adil, menganggap [orang] bertanggungjawab atas
preferensi-preferensi mereka, dan untuk mensyaratkan mereka untuk memahaminya
sebaiknya mungkin’ (Rawls 1982b: 168). Karena Rawls berpikir kita memiliki kemampuan
untuk memikul tanggungjawab ini, teorinya mensyaratkan orang untuk hidup dalam
sarana-sarana merreka, guna menyesuaikan rencana mereka dengan pendapatan yang
secara sah dapat mereka harapkan. Sebagai hasilnya, orang yang sembarangan dan berlebih-lebihan tidak dapat mengharapkan
mereka yang lebih bertanggungjawab untuk membayar biaya dari
ketidak-hati-hatian mereka: ‘akan dianggap tidak fair bahwa mereka sekarang
harus kekurangan agar bisa menghindarkan (nya) dari akibat-akibat akan
ketiadaan pandangan masa depan dan disiplin-diri’ (Rawls 1982b: 169). Jika kita
berkewajiban menghindarkan orang dari semua luka subyektif, maka mereka yang
telah mengurus kesejahteraan mereka sendiri secara bertanggungjawab akan
diminta memberikan pengorbanan secara terus menerus untuk membantu mereka yang
secara tidak bertanggungjawab sembarangan dan berlebih-lebihan, dan itu hal itu
tidak fair.
Pandangan bahwa luka subyektif
selalu menyebabkan klaim-klaim moral bukan hanya tidak fair, ini juga
menyembunyikan penindasan. Luka subyektif terkait dengan harapan-harapan, dan
masyarakat yang tidak adil menciptakan harapan-harapan yang tidak adil.
Pertimbangkan hubungan-hubungan perkawinan tradisional, dimana ‘laki-laki tidak
mengabdi kepada wanita seperti wanita mengabdi pada laki-laki’ (Frye 1983: 9,
10; bandingkan Friedman 1987a: 100-1; Grimshaw 1986: 216-19). Laki-laki
mengharapkan wanita untuk mengurusi kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga mereka
merasakan luka subyektif kapapun mereka diminta menanggung beban kehidupan domestik.
Tentu saja, ‘dalam setiap usaha merubah hubungan-hubungan yang eksploitatif dan
menindas, seseorang akan tercerabut dari sesuatu. Mereka barangkali tercerabut
dari sejumlah perhatian, pelayanan atau keramah-tamahan yang mereka biasa
menerimanya. Mereka mungkin mengalami sejumlah kesulitan dan penderitaan dan
mengalami ini sebagai ketiadaan kepedulian’ (Grimshaw 1986: 218). Penindas
jelas akan merasakan setiap kehilangan atas hak-hak istimewa, sementara yang
tertindas sering dibiasakan untuk tidak merasakan luka subyektif pada
penindasan mereka. Sebagai hasilnya, memusatkan perhatian pada luka subyektif
sebagai landasan bagi klaim-klaim moral menyebabkan penindasan lebih sulit
untuk dilihat. Dalam perspektif keadilan, di pihak lain, luka subyektif sang
penindas tidak memiliki bobot moral, karena ini timbul dari harapan yang tidak
fair dan mementingkan diri sendiri. Klaim-klaim akan keadilan ditentukan oleh
harapan-harapan sah orang, bukan oleh harapan-harapan mereka yang sebenarnya.
(Ini menjelaskan kenapa para ahli teori keadilan mengatakan bukan hanya bahwa
luka subyektif kehilangan signifikansi moral tetapi juga bahwa ketidakfairan
obyektif adalah imoral bahkan ketika tidak disertai oleh luka subyektif,
seperti kita orang dibiasakan menerima penindasan mereka—bandingkan Harding
1987: 297). Dalam arti ini, ‘bentuk-bentuk kepedulian dan komunitas yang valid
secara moral mensyaratkan keadaan yang penting dan pertimbangan keadilan’
(Kohlberg 1984: 305)[16].
Ada masalah lain dengan penggunaan
luka subyektif sebagai landasan bagi klaim-klaim moral. Meskipun luka subyektif
memaksakan tanggungjawab yang terlalu kecil bagi kesejahteraan hidup kita
sendiri, ia memaksakan tanggungjawab yang terlalu besar bagi pihak lain. Jika
luka subyektif selalu menyebabkan adanya suatu respon kepedulian, nampaknya
tidak akan ada yang membatasi kewajiban kita untuk mengurusi pihak lain. Selalu
ada sesuatu yang lebih yang dapat kita lakukan bagi pihak lain, jika kita
mengikuti cukup dekat terhadap keinginan-keinginan mereka—selalu ada sejumlah
keinginan yang dikecewakan yang kita dapat membantu memenuhinya. Dan ini akan
memperkuat dirinya sendiri, karena sekali seseorang tahu bahwa kita mengurus
berbagai keinginan itu, mereka akan
mulai mengharapkan perhatian, dan kemudian bahkan akan lebih terluka jika
perhatian kita tarik kembali. Sebagai hasilnya, agen selalu menghadapi
klaim-klaim moral berkenaan dengan waktu dan energinya, klaim-klaim yang tidak
memberikan ruang bagi pengejaran proyek-proyeknya sendiri secara bebas.
Jadi gagasan bahwa luka subyektif
mendorong munculnya klaim-klaim moral mengancam baik kefairan dan otonomi.
Banyak ahli teori kepedulian mengakui masalah ini, dan mencoba untuk menaruh
pembatasan pada apa yang secara absah diharapkan pihak lain tentang kita. Sejumlah
teoritikus mengatakan bahwa pemberi-kepedulian harus mengurus kebutuhan mereka
sendiri demi otonomi, atau bahwa kepedulian yang sungguh-sungguh melibatkan
berbagai macam resiprositas, sehingga terdapat batas-batas mengenai seberapa
banyak pihak lain dapat mengharapkan kita tanpa memberikan kita bantuan sebagai
balasannya (Ruddick 1984: 238; Gilligan 1982: 149; Noddings 1984: 105).
Namun, berapa banyak otonomi yang
dapat kita klaim untuk diri kita sendiri, dan berapa banyak resiprositas yang
dapat kita tuntut dari pihak lain, tanpa mengabaikan secara tidak
bertanggungjawab luka subyektif pihak lain? Sejalan dengan metodologi umum
mereka, para ahli teori kepedulian mengatakan bahwa pertentangan antara otonomi
dan tanggungjawab bagi pihak lain harus diputuskan secara kontekstual. Tidak
seperti salah seorang responden laki-laki Gilligan, yang menyatakan bahwa kita
harus memperlakukan pertentangan ini sebagai ‘persamaan matematika’ yang
solusinya terletak dalam rumus seperti ‘seperempat untuk pihak lain dan tiga
perempat untuk anda sendiri’ (Gilligan 1982: 35-35), para ahli teori kepedulian
mengatakan kita harus mempertimbangkan ketepatan dari semua tuntutan bagi
otonomi dan resiprositas ‘berdasarkan apa yang pantas diharapkan dari individu
yang dipedulikan, sebagai tambahan terhadap apa yang seharusnya diharapkan dari
individu semacam itu mengingat sifat-sifat dari pertalian kepedulian yang ada’
(Wilson 1988: 20). Para ahli teori kepedulian, tidak seperti ahli-ahli teori
keadilan, tidak mencoba memecahkan masalah ini dengan mengembangkan suatu
sistem yang komprehensif dari aturan-aturan abstrak yang tidak mengindahkan
kekhususan orang dan pertalian mereka.
Akan tetapi, ini merupakan salah
satu tempat dimana abstraksi merupakan suatu kebajikan penting. Jika tujuan
kita adalah untuk memastikan bahwa pengejaran proyek-proyek seseorang secara
bebas tidak sama sekali terendam oleh berbagai persyaratan etika kepedulian,
maka kita tidak hanya sekadar membutuhkan batas-batas atas tanggungjawab moral
kita, kita membutuhkan batas-batas yang dapat diramalkan. Kita perlu mengetahui
terlebih dahulu pada apa kita dapat
bersandar dan pada apa kita bertanggungjawab, seandainya kita membuat rencana jangka panjang. Tidaklah terlalu baik
diberitahu pada detik-detik terakhir bahwa tidak seorangpun membutuhkan bantuan
moral anda, dan bahwa anda bebas mengambil liburan moral, seperti sebelumnya.
Kita hanya dapat mengambil keuntungan dari liburan jika kita dapat
merencanakannya, dan hal itu mensyaratkan bahwa kita dapat memutuskan sekarang kepentingan apa yang kita akan
dianggap bertanggungjawab untuk kemudian.
Dan itu, pada gilirannya, mensyaratkan bahwa ketika memutuskan pada saat
terakhir siapa yang bertanggungjawab untuk mengurus pihak lain, kita tidak
membuat keputusan yang sepenuhnya peka-konteks.
Misalnya, ketika saat liburan
saya dibicarakan di tempat kerja, kita
tidak bertanya siapa yang paling sedikit dibutuhkan dikantor. Kita bertanya
giliran siapa kini menurut sistem aturan. Hasilnya barangkali bahwa sejumlah
orang akan mendapat kekecewaan keinginan bahwa proses pengambilan keputusan
yang lebih kontekstual kiranya sudah terpenuhi (orang lain dalam kantor akan
benar-benar kurang dikecewakan). Tetapi jika kita ingin dapat menunjukkan
komitmen yang ihlas terhadap proyek-proyek kita, maka klaim-klaim kita harus
diisolasi, dalam beberapa hal tertentu, dari keinginan-keinginan sesaat mereka
yang ada disekitar kita. Aturan-aturan abstrak menyediakan sejumlah kepastian
dihadapan keinginan-keinginan yang berubah dari pihak lain.
Tentu saja, para ahli teori
kepedulian benar dalam mengatakan bahwa sejumlah bentuk pertalian harus memohon
standar-standar yang berbeda untuk menyeimbangkan otonomi dan tanggungjawab.
Misalnya, kita tidak dapat mengharapkan anak-anak menerima penghormatan yang
sama berkenaan dengan otonomi dan resiprositas seperti halnya orang-orang
dewasa (Saya akan kembali ke soal ini di bawah). Namun, untuk interaksi
diantara orang-orang dewasa yang kompeten, suatu cara yang penting untuk
mendamaikan tanggungjawab dan otonomi adalah menyusun beberapa tanggungjawab
kita dengan mendahului situasi-situasi khusus, ketimbang menentukannya melalui
penilaian dan penilaian kembali atas situasi-situasi khusus.
Apakah seruan pada aturan-aturan
yang abstrak ini berarti bahwa keadilan mengabaikan ‘individualitas kita yang
jelas’? Adalah benar bahwa keadilan, dalam konteks ini, tidak mensyaratkan kita
untuk menyesuaikan pengertian kita tentang ‘apa yang pantas diharapkan’ dengan
kebutuhan-kebutuhan khusus dari mereka yang ada disekitar kita. Hak-hak dan
tanggungjawab kita dalam konteks ini ditentukan terlebih dahulu oleh oleh
aturan-aturan abstrak, bukan oleh penilaian kebutuhan yang peka-konteks dari
mereka yang ada disekitar kita. Tapi hal ini tidak harus dilihat sebagai bukti tentang
ketidakpekaan akan kebutuhan-kebutuhan khusus itu. Karena hasil bersih
berkenaan dengan abstraksi dari partikularitas ini adalah untuk melindungi
partikularitas secara lebih penuh. Semakin klaim-klaim kita bergantung pada
perhitungan yang peka-konteks atas keinginan khusus setiap orang, semakin
rentan proyek-proyek personal kita pada perubahan keinginan pihak lain. Otonomi
yang bermakna mensyaratkan prediktibilitas, dan prediktibilitas mensyaratkan
sejumlah isolasi dari kepekaan konteks.
Hal ini masih memberikan kemungkinan
bahwa sejumlah orang akan memiliki berbagai keinginan yang kuat yang dihalangi
oleh penerapan akan aturan-aturan yang abstrak. Namun, sebagaimana yang sudah
kita lihat, etika keadilan menganggap bahwa orang-orang dewasa yang kompeten
memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tujuan-tujuan mereka dari sudut pandang
standar-standar publik. Dengan menganggap bahwa aturan-aturan diketahui oleh
umum dan dengan membatasi perhatian kita pada orang-orang dewasa yang kompeten
untuk sementara, maka orang yang menerima akibat buruk dari penerapan
aturan-aturan abstrak adalah mereka yang, karena hasil kesembronoan dan
pemborosan, membentuk berbagai keinginan yang tidak dapat dipenuhi dengan
berbagai sarana mereka yang tersedia secara sah. Barangkali ada orang semacam itu dalam setiap
situasi khusus, dan akibat buruk yang mereka terima mungkin kurang mendapatkan
perhatian dalam sebuah masyarakat yang memohon aturan-aturan abstrak ketimbang
penilaian yang peka-konteks akan kebutuhan-kebutuhan khusus. Tetapi ini
merupakan tanggungjawab mereka sendiri, dan adalah tidak fair meminta pihak
lain memberikan pengorbanan untuk menghindarkan mereka dari ketiadaan (rasa)
tangungjawab mereka.
Kesulitan dalam memperjelas landasan
bagi otonomi personal yang sangat dekat dengan etika kepedulian mengingatkan
kepada masalah serupa yang berkaitan erat dengan utilitarianisme (bab 2, bagian
3a di atas). Dalam kedua kasus, agen
moral rupa-rupanya menghadapi ‘tanggungjawab yang tanpa batas’ untuk ‘bertindak
terbaik dalam suatu kerangka sebab akibat diperoleh sebagian besar melalui
proyek-proyek [pihak lain]’. Keputusan agen menjadi ‘fungsi semua kepuasan yang
dapat ia pengaruhi dari mana ia berasal: dan ini berarti bahwa proyek-proyek
pihak lain, dalam jumlah besar yang tidak dapat diungkapkan, menentukan
keputusannya’, memberikan sedikit ruang bagi pengejaran secara mandiri akan
berbagai keinginan dan keyakinannya sendiri
(William 1973: 115)[17].
Persamaan ini hendaknya tidak
mengejutkan, karena meskipun para ahli teori kepedulian menolak komitmen
utilitarianisme berkenaan dengan maximalisasi, kedua teori cenderung
mendasarkan klaim-klaim moral dalam luka subyektif dan kebahagiaan, ketimbang dalam ketidakfairan obyektif.
Sebagai hasilnya, kedua teori menginterpretasikan perhatian terhadap yang lain
terutama sebagai masalah memberikan tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan
mereka yang sudah diketahui. Tetapi kita hanya dapat melindungi kefairan dan
otonomi jika kita memandang perhatian terhadap pihak lain bukan hanya dalam
arti memberikan tanggapan akan berbagai preferensi yang ada sebelumnya,
melainkan sebagai sesuatu yang harus masuk dalam banyak penyusunan
preferensi-preferensi kita. Alih-alih mempertimbangkan berbagai tujuan spesifik
orang dalam mengambil keputusan tentang distribusi yang adil, orang harus
mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dalam mengambil keputusan tentang
tujuan dan ambisi mereka. Sebagaimana Rawls menyatakan, dalam etika keadilan,
para individu bertanggungjawab untuk menyusun ‘berbagai tujuan dan ambisi
mereka dari sudut pandang apa yang dapat secara layak mereka harapkan’. Mereka
yang gagal melakukan hal demikian ini mungkin menerima akibat buruk kekecewassn
dari keinginan yang kuat, tetapi orang tahu bahwa ‘bobot klaim-klaim mereka
tidak diberikan oleh kekuatan dan intensitas berbagai keinginan dan hasrat
mereka’ (Rawls 1980: 545). Jadi, kita bergeser dari luka subyektif atau
kebahagiaan ke ketidakfairan obyektif sebagai landasan bagi klaim-klaim moral.
Kita sekarang dapat melihat inti
kebenaran yang mendasari kedua perbedaan sebelumnya antara kepedulian dan
keadilan. Menurut Tronto, keadilan menekankan pembelajaran tentang
aturan-aturan diatas pembelajaran tentang kepekaan moral, dan penerapan tentang
prinsip-prinsip abstrak diatas pembuatan penilaian yang peka konteks akan
kebutuhan-kebutuhan khusus. Perdebatan berkenaan dengan abstraksi dan
kepekaan-konteks dalam kapasitas moral dan penalaran moral kita ini seringkali
disajikan sebagai berbeda dari perdebatan berkenaan dengan hak-hak dan tanggungjawab
sebagai konsep moral. Ini seringkali dipandang sebagai suatu perdebatan
epistemolgis, seolah-olah para hali teori keadilan berpikir bahwa
prinsip-prinsip abstrak adalah lebih ‘obyektif’ dan lebih ‘rasional’, sementara
para ahli teori kepedulian menolak pengertian obyektifitas sebagai tidak sehat
secara epistemologis (misalnya, Jaggar 1983: 357; Young 1987: 60). Saya
menyatakan sebelumnya bahwa keseluruhan kontras ini dilukiskan terlalu
berlebih-lebihan, karena jenis abstraksi yang terlibat dalam penalaran keadilan
tidak selalu bersaing dengan kepekaan-konteks (misalnya, kepekaan moral
dibutuhkan untuk menjadi seorang juri yang baik). Tetapi kita sekarang bisa
melihat bahwa ketika bahkan keadilan kurang peka-konteks, penjelasannya adalah
moral bukan epistemologis. Alasan mengapa keadilan menekankan pembelajaran dan
penerapan aturan-aturan adalah bahwa ini dibutuhkan demi kefairan dan otonomi.
Jika kita memiliki otonomi yang sejati, kita harus mengetahui terlebih dahulu
apa tanggungjawab kita, dan penetapan tanggungjawab ini harus dipisahkan dalam
beberapa hal dari penilaian yang peka-konteks akan hasrat khusus. Hasilnya
adalah sejumlah luka subyektif harus diabaikan.
Dan jika sejumlah luka subyektif tidak menimbulkan klaim-klaim moral,
maka orang perlu mengetahui terlebih dahulu yang manakah luka subyektif yang
tidak menimbulkan klaim-klaim moral ini, sehingga mereka dapat menyesuaikan
tujuan-tujuan mereka sesuai dengan hal ini. Karena kedua alasan ini, kita
membutuhkan aturan-aturan yang lebih abstrak dan kurang peka-konteks[18]. Jadi, setiap perbedaan yang tidak ada
berkenaan dengan arti penting kepekaan-konteks dalam kapasitas moral dan
penalaran moral kita diturunkan dari perbedaan yang lebih fundamental berkenaan
dengan arti penting kefairan dan tanggungjawab personal sebagai konsep-konsep
moral. Dua kontras yang pertama merupakan hasil dari yang ketiga.
Tidaklah mengejutkan bahwa
pengertian tentang tanggungjawab berkenaan dengan tujuan-tujuan kita ini
merupakan perbedaan fundamental antara kepedulian dan keadilan, mengingat
kemampuan menembus yang dijalankan oleh distingsi antara publik dan domestik
dalam pemikiran kita. Asumsi bahwa kita bertanggungjawab dengan tujuan-tujuan
kita adalah masuk akal justru sejauh bahwa kita mengeluarkan kepedulian bagi
pihak lain yang tergantung dari jangkauan keadilan. Rawls menolak pandangan
bahwa keinginan subyektif merupakan ukuran dari klaim-klaim moral dengan dasar
bahwa ‘menyatakan ini nampaknya mengisyaratkan bahwa berbagai preferensi warga
negara adalah diluar pengendalian mereka sebagai kecenderungan atau idaman yang
terjadi begitu saja’ (Rawls 1982b: 168-9). Akan tetapi, pra-anggapan ini, tentu
saja, benar bagi banyak orang. Penolakan Rawls atas luka subyektif sebagai
landasan bagi klaim-klaim moral adalah masuk akal sejauh kita hanya memikirkan
tentang orang-orang dewasa yang (secara fisik dapat dan secara mental kompeten)
berinteraksi dalam kehidupan publik, sementara yang sakit, tak berdaya, dan
orang-orang muda usia, dijauhkan aman dari pandangan[19]. Rawls mengatakan bahwa berbagai
interaksi diantara orang-orang dewasa yang secara fisik mampu merupakan
‘alasan-fundamental’ keadilan. Namun,
sekali kita mencari diluar wilayah publik, maka ‘alasan-fundamental’’ itu bergeser,
karena sebagaimana Willard Gaylin menyatakan, ‘kita semua secara tak
terhindarkan menghabiskan kehidupan kita dengan berkembang perlahan-lahan dari
suatu tahap awal menuju tahap akhir ketergantungan. Jika kita cukup beruntung
mencapai kekuasaan dan kemerdekaan relatif
selama waktu itu ia merupakan pemberhentian sementara dan keagungan yang
berlalu’ (dikutip dalam Zaretsky 1983: 193).
Di pihak lain, asumsi bahwa luka
subyektif menimbulkan klaim-klaim moral adalah masuk akal sejauh bahwa kita
menyamaratakan dari pertalian kepedulian yang terlibat dalam pengasuhan
anak-anak. Seorang bayi sama sekali tidak bertanggungjawab dengan
kebutuhan-kebutuhannya, dan tidak dapat diharapkan untuk mengurus kesejahteraan
orang-tuanya: ‘Anak-anak tidak dapat membalas kepedulian secara sama, mereka
membutuhkan suatu derajat ketanpamprihan dan atensi yang khusus bagi mereka’.
Tetapi justru karena alasan ini, peranan orang tua ‘mungkin sering mensyaratkan
seseorang untuk sabar menghadapi, menerima, dan mencoba tidak terluka oleh,
perilaku yang akan sangat tidak bisa diterima atau menjadi penyebab kemarahan
bagi sebagian besar hubungan orang-orang
dewasa…untuk memahami ‘’kebajikan-kebajikan” atau prioritas wanita sebagai
tumbul terutama dari pertalian dengan anak-anak mungkin membawa pada
kecenderungan untuk mengabaikan cara-cara dimana ketabahan telah menjadi
kepasrahan dan penerimaan, perhatian telah menjadi kegelisahan menahun, dan
kepedulian dan ketanggapan menjadi penyangkalan-diri yang kronis’ (Grimshaw
1986: 251, 253).
Haruskan kita mengatakan bahwa kepedulian
berlaku dalam kaitannya dengan yang bergantung, sementara keadilan berlaku
dalam kaitannya dengan orang-orang dewasa yang otonom? Salah satu masalahnya
adalah bahwa distribusi kepedulian dengan sendirinya merupakan sebuah masalah
keadilan. Para ahli teori keadilan cenderung menganggap bahwa sejumlah orang
(wanita) ‘secara alamiah’ akan menginginkan untuk memperdulikan pihak lain,
sebagai bagian dari rencana hidup mereka, sehingga pekerjaan memperdulikan
mereka yang bergantung bukan merupakan sesuatu yang memaksa kewajiban moral
bagi semua orang. Namun sebagaimana Baier menyatakan, kita tidak dapat
memandang kepedulian sekadar sebagai satu kemungkinan rencana hidup, daripada
suatu pembatas moral untuk setiap rencana hidup, karena ‘dorongan beberapa orang
untuk mengolah kepedulian, sedangkan
yang lain tidak mengolahnya, dengan mudah dapat menyebabkan eksploitasi atas
mereka yang mengolahnya. Kepedulian jelas sudah menyenangkan beberapa orang
dalam sebagian besar masyarakat dengan cukup baik bahwa pihak lain menjalankan
tanggungjawab tentang kepedulian (bagi yang sakit, yang tak berdaya dan yang
muda usia) membiarkan mereka bebas mengejar kebaikan-kebaikan meraka sendiri
yang kurang altruistik’. Dan tentu saja, ‘kaum proletar yang secara moral tidak
terperhatikan dalam waktu yang lama adalah kaum pekerja domestik, kebanyakan
wanita’ (Baier 1987b: 49-50). Jika kita ingin memastikan bahwa ‘kepuraan-puraan
(affectivity?) yang bebas’ bagi sejumlah orang tidak ‘menyandarkan pada dan
mengeksploitasi kepura-puraan yang biasanya tidak bebas’ dari mereka yang
menaruh kepedulian pada yang bergantung, maka teori politik kita ‘tidak dapat
menganggap perhatian bagi orang-orang baru dan di masa yang akan datang sebagai
suatu amal bebas pilih yang ditinggalkan bagi mereka yang memiliki selera akan
hal ini. Jika moralitas yang disetujui teori adalah untuk menjaga
keberlanjutannya sendiri, moralitas harus menyediakan bagi pelanjutnya sendiri,
bukan hanya mengambil pinjaman pada insting keibuan yang didorong dengan hati-hati’
(Baier 1987b: 53-4; 1988: 328).
Lebih dari itu, seperti yang sudah
kita lihat, penghapusan kepincangan seksual membutuhkan bukan hanya
redistribusi pekerjaan domestik, tetapi juga penggagalan dalam distingsi yang
tajam antara publik dan domestik. Kita perlu mencari jalan untuk menyatukan
kehidupan publik dan pengasuhan keluarga, misalnya, ketimbang memisahkan
pemeliharaan anak dalam suatu wilayah yang terpisah. Namun, meskipun penyatuan
antara yang publik dan yang domestik ini dibutuhkan demi keadilan seksual, ini
mengancam rusaknya pranggapan akan penalaran keadilan. Karena keadilan tidak
hanya mengisyaratkan bahwa kita adalah orang
dewasa yang otonom, keadilan nampaknya mengisyaratkan bahwa kita adalah
orang dewasa yang bukan penyedia
kepedulian bagi yang bergantung. Sekali orang bertanggungjawab untuk
mengurus berbagai tuntutan (yang tak teramalkan) dari yang bergantung, mereka
tidak lagi dapat menjamin prediktabilitas mereka sendiri. Barangkali
keseluruhan gambaran otonomi sebagai pengejaran berbagai proyek secara bebas
dibentuk dari sudut pandang standar-standar abstrak yang menganggap bahwa
kepedulian bagi yang lain yang bergantung dapat didelegasikan pada orang lain,
atau pada negara. Menarik untuk dicatat berapa sedikit yang dibicarakan para ahli
teori kepedulian mengenai jenis otonomi yang para ahli teori wanita
membicarakannya panjang lebar—latar belakang berbagai tujuan personal,
komitment pada berbagai proyek personal. Menurut Baier, perspektif kepedulian
‘menjadikan otonomi bahkan tidak ideal…Bentuk kemerdekaan tertentu adalah ideal, yaitu
kemerdekaan berpikir dan menyatakan pendapat, tetapi ‘hidup dalam kehidupan
sendiri dengan caranya sendiri’ nampaknya tidak mungkin merupakan bagian dari
tujuan-tujuan orang’ (Baier 1987a: 46). Sejalan dengan ini, Ruddick mengatakan
bahwa pemikiran keibuan melibatkan ‘sikap metafisik yang fundamental’ yang ia
namakan sebagai ‘sokongan’ (holding),
‘diatur oleh prioritas memelihara daripada
mendapatkan’ dimana pemeliharaan ikatan yang ada mendahului pengejaran
atas ambisi-ambisi baru (Ruddick 1980: 217; 1987: 242). Menurut pandangan ini,
komitmen pada otonomi bukan merupakan komitment untuk memperjelas landasan bagi
pengejaran proyek-proyek personal, bebas dari pergeseran kebutuhan dari pihak
lain yang khusus, tetapi lebih merupakan komitmen untuk memenuhi berbagai
kebutuhan ini dalam cara yang berani dan imaginatif, ketimbang suatu cara yang
berbeda atau merendahkan diri. Pengertian lain yang lebih luas dari otonomi
hanya dapat terjadi dengan resiko diabaikannya tanggungjawab kita[20].
Dapatkah kita memenuhi tanggungjawab
kita terhadap yang lain yanng bergantung tanpa mengorbankan gambaran yang lebih
sehat tentang otonomim dan berbagai pengertian akan tanggungjawab dan keadilan
yang membuat otonomi menjadi mungkin? Kiranya akan terlalu pagi untuk
dikatakan. Para ahli teori keadilan telah membangun suatu sistem yang mantap
dengan menghaluskan pengertian tradisional tentang kefairan dan tanggungjawab.
Akan tetapi, dengan melanjutkan isu-isu dasar kuno yang diabaikan sedemikian
lama tentang pengasuhan anak dan kepedulian atas yang bergantung, prestasi para
intelektual ini didadasarkan pada landasan yang tidak teruji dan beresiko tidak
stabil. Setiap teori persamaan seksual yang memadai harus menghadapi
masalah-masalah ini, dan konsepsi diskriminasi dan privasi tradisional yang
menyembunyikannya dari pandangan.
[1] Untuk pengantar tentang madzab pemikiran feminis yang beragam ini,
lihat Jaggar (1983); Nye (1988); Charvet (1982); Tong (1989).
[2] Dalam menerima pandangan yang berlaku bahwa ada ’dasar landasan’
untuk kekuasaan suami sebagai orang yang ‘lebih mampu dan lebih kuat’ (Locke,
dalam Okin 1979: 200), kaum liberal klasik menciptakan kontradiksi serius bagi
mereka sendiri. Karena mereka juga menyatakan bahwa semua manusia pada
hakikatnya sama (equal), bahwa sifat dasar itu tidak memberikan
alasan bagi ketimpangan hak. Hal ini, seperti yang sudah kita lihat, merupakan
pokok pandangan teori mereka tentang keadaan alamiah (state of nature) (bab 3, bagian 3 di atas). Mengapa kenyataan yang
diduga bahwa laki-laki ‘lebih mampu dan
lebih kuat’ hak yang timpang bagi kaum wanita ketika, seperti Locke sendiri
mengatakan, ‘perbedaan dalam keunggulan bagian atau kemampuan’ tidak
membenarkan hak yang timpang? Seseorang tidak dapat mempertahankan sekaligus
dua pendapat bahwa persamaan antara laki-laki sebagai kelas, dengan dasar bahwa
perbedaan kemampuan tidak membenarkan perbedaan hak, dan juga menyisihkan kaum
wanita sebagai kelas, dengan dasar bahwa mereka ini kurang mampu. Jika kaum
wanita disisihkan dengan dasar bahwa rata-rata wanita kurang mampu dibandingkan
dengan rata-rata pria, maka semua kaum pria yang kurang mampu dibandingkan
rata-rata pria harus juga disisihkan. Sebagaimana Okin menyatakan, ‘jika dasar
individualismenya menjadi tegas, ia perlu membuktikan bahwa individu wanita
adalah sejajar dengan individu laki-laki, seperti halnya laki-laki yang lebih
lemah adalah sejajar dengan laki-laki yang lebih kuat’ (Okin 1979: 199).
[3] Barangkali kaum komunitarian tidak dapat menerima pendekatan
dominan, karena pendekatan ini menganggap bahwa orang dapat mempertanyakan
peranannya dalam cara yang disangkal
atau tidak disetujui komunitarianisme (bab 6, bagian 3 di atas—perihal ketegangan
antara feminisme dan komunitarianisme, lihat Greschner 1989; Okin 1989b: 41-62;
Friedman 1989). Dan karena kaum libertarian tidak menerima persamaan yang
terbatas dari kondisi yang mendasari pendekatan perbedaan, mereka tidak berarti
menerima pendekatan perbedaan. Teori yang lain, bagaimanapun, tampak dapat
mengadopsi pendekatan perbedaan. Mackinnon menyatakan bahwa pendekatan
perbedaan di luar wilayah pengetahuan liberalisme karena kaum liberal bermaksud
mencapai hukum ‘formal’ atau ‘abstrak’, yaitu ‘substansi yang jelas’. Saya
tidak memahami pembedaan yang dibuat Mackinnon tentang ‘bentuk’ dan ‘substansi’, atau bagaimana ini
berhubungan dengan prinsip liberal tradisional tentang persamaan dan
kemerdekaan. Mackinnon tampaknya
kerap menyamakan liberalism dengan aliran khusus dari interpretasi konstitusi
Amerika.
[4] Lihat Rawls (1971: 128, 146). Penilaian Rawls tentang keluarga
didiskusikan dalam Okin (1987); Green (1986; English (1977); Kearns
(1983). ‘Pusing kepala Aristotelian’ dalam memperlakukan individu sebagai kepala rumah tangga’ masih tetap lazim dalam
ilmu politik (Stiehm 1983).
[5] Salah satu penjelasan adalah bahwa kaum liberal mempertahankan
sikap penolakan yang sama pada wilayah
domestik sebagaimana kaum kuno. Seperti halnya kaum kuno yang memandang wilayah
domestik sebagai sesuatu yang lebih penting dalam rangka membebaskan kaum
laki-laki berperan serta dalam kehidupan politik, maka kaum liberal memandang kehidupan
domestik sebagai sesuatu yang harus dikuasai dalam rangka membebaskan kehidupan
sosial. Ini nampaknya merupakan bagian dari penjelasan mengapa Mill dan Marx
tidak menganggap reproduksi sebagai wilayah kemerdekaan dan keadilan. Mereka
memandang peranan wanita tradisional hanya sebagai sesuatu yang ‘alamiah’,
tidak sanggup mengembangkan kebudayaan (bandingkan Jaggar 1983: bab 4; Okin
1979: bab 9).
[6] Banyak kaum feminis mengatakan bahwa distingsi antara publik dan
domestik muncul dengan, atau tercerminkan dalam, pemisahan liberalism tentang
wilayah publik dan wilayah privat (misalnya Nicholson 1986: 210; Kennedy dan Mendus
1987: 6-7; Coltheart 1986: 112). Namun secara historis ini tidak akurat, karena
‘penetapan ruang publik bagi kaum laki-laki dan ruang [domestik] bagi kaum
wanita berjalan terus dalam sejarah Barat’ (Eisenstein 1981: 22) Liberalisme
mewarisi, daripada menciptakan, distingsi antara publik dan domestik ini. Mungkin benar bahwa dengan menekankan
distingsi antara publik dan privat dalam masyarakat sipil, kaum liberal
mengaburkan distingsi yang lebih fundamental antara publik dan domestik
(Pateman 1987: 109). Namun, jika demikian, maka
distingsi pra-liberal antara domain
laki-laki dan domain wanita lah yang dikaburkan (Eisenstein 1981: 233;
bandingkan Green 1986: 34; Nicholson 1986: 161).
Mengapa
pemahaman liberal yang asli tentang wilayah privat ini menghilang, sehingga
‘membicarakan yang ideal tentang dunia privat dalam konteks masyarakat Amerika
kontemporer adalah membicarakan tentang keluarga’ (Elshtain 1981: 322;
bandingkan Benn dan Gaus 1983: 54)? Boleh jadi karena orang menganggap bahwa ‘yang publik’ dan ‘yang privat’
menandai pembagian ruang. Jika demikian,
maka lokasi ruang privat yang paling masuk akal adalah rumah tangga
keluarga. Tetapi distingsi liberal tentang yang privat dan yang publik bukan
merupakan distingsi antara dua bidang fisik yang, karena masyarakat dan negara
(polity) secara esensial berbatasan.
Ini adalah distingsi antara dua tujuan dan tanggungjawab yang berbeda. Bertindak
secara publik adalah menerima tanggungjawab mempromosikan kebaikan bersama,
didefinisikan dalam arti memberikan perhatian pada kepentingan tiap-tiap orang
secara imparsial. Tatkala bertindak secara pribadi, seseorang tidak diharuskan bertindak
secara imparsial, melainkan bebas
mengejar tujuannya sendiri, sesuai dengan
hak-hak orang lain, dan terlibat bersama orang lain dalam mengejar
tujuan-tujuan bersama. Kedua aktivitas ini dapat terjadi di mana saja dalam
masyarakat. Fakta bahwa seseorang melepaskan diri dari kehidupan publik tidak
berarti bahwa orang itu bertanggungjawab untuk bertindak imparsial atau wajib
menjelaskan tindakan seseorang. Fakta bahwa seseorang berada di rumah tidak
membebaskan seseorang dari keharusan menghormati hak-hak orang lain.
[7] Terdapat kritik kaum feminis berkenaan dengan pemisahan liberal antara negara
dan masyarakat, bahkan ketika dibedakan
dari pembagian patriarkal antara yang domestik dan yang publik. Pateman,
misalnya, mengatakan bahwa tidak seperti para kritikus republik yang hanya
mencoba ‘mengembalikan politik dalam kehidupan publik’, para kritikus feminis ‘mendesakkan
bahwa alternatif untuk konsepsi liberal
harus juga mencakup hubungan antara kehidupan publik dan kehidupan domestik’
(Pateman 1987: 108). Tapi ia tidak menjelaskan mengapa kaum feminis yang
menolak distingsi publik-privat harus juga menaruh perhatian pada distingsi
liberal antara yang publik dan yang domestik. Komentarnya sendiri menyarankan
bahwa kita tidak memiliki gagasan yang jelas bagaimana penyatuan politik dalam
masyarakat sipil akan mempengaruhi pertentangan antara yang publik dan yang
domestik (Pateman 1987: 120). Frances Olsen memberikan kritik feminis berkenaan
dengan distingsi negara dan masyarakat, dengan memanfaatkan komentar Marx
tentang alienasi (Olsen 1983: 1561-4).
[8] Pandangan Romantik tentang privasi ini
telah menjadi sedemikian menyatu dengan liberalisme modern sehingga sebagian orang
menerimanya sebagai konsepsi liberal asli (misalnya Benn dan Gaus 1983: 57-9).
Akan tetapi, meskipun gagasan pengunduran diri dari masyarakat dapat dijumpai
dalam karya-karya liberal klasik (misalnya, Letter
of Toleration Locke), gagasan ini terutama merupakan adopsi posisi liberal.
Memandang privasi dalam pengertian pengunduran diri dari semua peranan
masyarakat sipil, bukannya menjadi posisi liberal asli, justru berarti bahwa
‘yang personal dan yang privat telah dipisahkan dari hampir semua latarbelakang
kelembagaan. Hasilnya adalah keruntuhan dramatis berkenaan dengan distingsi
liberal tradisional antara yang publik dan yang privat sebagaimana halnya distingsi
antara pemerintah dan masyarakat’ (Rosenblum 1987: 66).
[9] Justru mengaggumkan bagaimana kebijaksanaan yang dibenarkan dengan alasan bahwa
keluarga merupakan properti privat pria sekarang dibenarkan dengan alasan bahwa
pria dan wanita memiliki hak yang sama atas privasi (lihat misalnya Benn dan
Gaus 1983: 38). Sebagaimana Taub dan Schneider mencatat, ‘Kegagalan negara
mengatur wilayah domestik sekarang sering dibenarkan dengan alasan bahwa hukum
harus tidak mencampuri hubungan emosional yang terlibat dalam wilayah keluarga
karena ini terlalu memaksakan…Namun, arti penting keprihatinan ini dirusak oleh
kenyataan bahwa hasil yang sama telah dibenarkan sebelumnya oleh fiksi hukum,
misalnya kematian sipil kaum wanita dalam perkawinan’ (Taub dan Schneider 1982:
122).
[10]
Beberapa kaum feminis liberal sudah mulai menantang keluarga
tradisional. Karakterisasi feminisme liberal dalam bentuk keprihatinanya hanya
dengan akses terhadap wilayah publik ‘telah menjadi semakin problematik. Kaum
feminis liberal, seperti banyak yang lainnya, secara terus menerus telah
memusatkan perhatian mereka pada kehidupan personal kaum wanita’ (Nicholson
1986: 22-3; bandingkan Wendell 1987). Secara paradox, ketika kaum liberal
mendukung pembaharuan keluarga, mereka sering dipersalahkan sebagai ‘menurunkan
nilai wilayah privat’ (Elshtain 1981: 243; bandingkan Nicholson 1986: 24). Jean Elstain mengklaim bahwa ‘keharusan liberal’ adalah ‘sepenuhnya
mempolitisasikan atau mempublikan wilayah privat’ (Elshtain 1981: 248). Dengan
menjadikan pengasuhan anak sebagai tanggungjawab publik, liberalisme akan
‘memangkas habis wilayah privat dari alasan pengada (raison d’être)-nya yang utama dan sumber utama emosi dan nilai
manusia. Demikian pula, mengeksternalisasikan semua aktivitas kerumahtanggaan,
untuk menjadikannya aktivitas publik, akan melemahkan lebih jauh wilayah
privat. “Semua orang akan, sejauh
mungkin, ditransformasikan kedalam persona publik, dan pemisahan bentuk-bentuk
kehidupan publik yang diawali oleh industrialisasi akan dituntaskan melalui
penyerapan yang privat kedalam yang publik selengkap mungkin”. Ini merupakan
penyelesaian dari keharusan liberal’ (Elshtain 1981: 248, mengutip R.P. Wolff).
Untuk diskusi tentang keprihatinan feminis akhir-akhir tentang ‘pembebasan
keluarga’ (misalnya perluasan pemikiran berdasarkan kontrak pada perkawinan dan
keluarga), lihat ‘Rethinking the Family’ yang saya tulis dalam Philosophy dan Publik Affairs, vol 20
(1991).
[11] Juga terdapat sejumlah perdebatan
terhadap penjelasan berkenaan dengan perbedaan gender dalam penalaran
moral. Usulan-usulan bergerak dari
sosialisasi peranan-seks (Meyers 1987: 142-6) sampai pada pengalaman awal masa
bayi kita yang diibukan (Gilligan 1987: 20). Juga terdapat penjelasan yang
kurang melulu memusatkan perhatian pada gender. Berbagai kelompok yang tidak
berdaya seringkali mempelajari empati
karena mereka bergantung pada yang lain untuk perlindungan, dan ‘sebagai
bawahan dari suatu masyarakat yang didominasi laki-laki, [kaum wanita]
dipersyaratkan untuk mengembangkan sifat-sifat kejiwaan yang menyenangkan
kelompok dominan dan memenuhinya kebutuhan-kebutuhannya’ (Okin 1990: 154).
Misalnya, ‘seorang perempuan yang bergantung pada pria mungkin mengembangkan
ketrampilan yang baik dalam mengurusi dan memperdulikannya, dalam ‘membaca’
perilakunya dan mempelajari bagaimana
menginterpresikan suasana hati-nya dan memuaskan keinginan-keinginannya sebelum
sang pria perlu meminta’ (Grimshaw 1986: 252). Ini mungkin menjelaskan kenapa
anggota kelas atau ras yang tertindas memamerkan sejumlah perwujudan dari etika
kepedulian (Tronto 1987: 649-51; Harding 1987: 307).
[12] Sebagaimana Okin mencatat, kajian
Gilligan tidak menghadapi pertanyaan tentang ‘bagaimana perempuan berpikir
ketika dihadapkan pada dilema moral yang melibatkan pertentangan antara
kebutuhan atau kepentingan keluarga dan sahabat dekat dan kebutuhan atau
kepentingan yang “lain” yang lebih berjarak’ (Okin 1990: 158). Jawaban Ruddick
adalah bahwa ‘para ibu dapat…sampai pada kesadaran bahwa kebaikan anak-anak
mereka terjalin dengan kebaikan semua anak-anak’ (Ruddick 1984: 239; tetapi
bandingkan 1987: 250-1). Tetapi adalah meragukan bahwa kebaikan seorang anak
terkait dengan kebaikan semua anak, betapapun jauh jaraknya. Dan bahkan ketika
hal ini terjalin, masalahnya adalah bahwa hubungan itu dapat menjadi kompetitif
ketimbang saling melengkapi. Kebaikan mereka dapat dijalinkan sedemikian rupa
sehingga sumberdaya yang dibelanjakan pada seorang anak pasti ditiadakan pada
anak yang lain. Jika mekanisme untuk memperluas jaringan pertaliaan merupakan
perwujudan bahwa kebaikan seseorang terjalin dengan kebaikan orang lain, maka
ini mungkin merupakan perluasan yang sangat terbatas. Nampaknya merupakan
optimisme yang sia-sia untuk mengatakan bahwa mengurus orang lain yang berjarak
tidak membebani biaya apapun pada keterkaitan yang sedang terjadi, atau bahwa
‘ketidakmerataan berpengaruh sama buruk bagi kedua partai dalam suatu hubungan
yang tidak equal’ (Gilligan 1982:
174). Hanya suatu komitmen eksplisit terhadap keprihatian yang tidak memihak,
dan bukan sekadar mempertahankan koneksi
yang ada yang sekarang yang dapat menjaga keberlanjutan jenis generalisasi yang
dinginkan Gilligan dan Ruddick.
[13] Iris Young menawarkan argumen yang lebih
umum bagi klaim bahwa ‘pandangan yang tidak berpihak’ meniadakan berbagai
perbedaan: ‘Alasan yang tidak berpihak harus dinilai dari sebuah sudut pandang
di luar perspektif khusus orang-orang yang terlibat dalam interaksi, cakap
menjumlahkan keseluruhan perspektif ini dalam suatu keseluruhan, atau kemauan
umum. Subyek yang tidak berpihak tidak perlu mengakui subyek-subyek lain yang
perspektifnya harus dipertimbangkan dan dengan siapa pembicaraan mungkin
terjadi. Dari sudut pandang yang tidak berpihak ini orang tidak perlu
berkonsultasi dengan orang lain, karena sudut pandang yang tidak berpihak telah
memperhitungkan semua kemungkinan perspektif’ (Young 1987: 62). Tetapi,
sebagaimana yang sudah kita lihat, ketidak-berpihakkan ala Rawls justru
mengandung persyaratan bahwa kita mengikuti semua kemungkinan sudut pandang.
Nampaknya adalah bahwa Young menyalahpami persyaratan moral ketidak-berpihakkan
(impartiality) dengan suatu
persyaratan epistemologis tentang ketanpa-kepribadian (impersonality) dan obyektivitas: ‘Sebagai ciri akal,
ketanpa-berpihakkan mengandung arti yang berbeda dengan sikap pragmatik untuk
menjadi fair, mempertimbangkan
kebutuhan dan keinginan orang lain dan juga dirinya sendiri.
Ketidak-berpihakkan menamai suatu sudut pandang akal yang terpisah dari semua
kepentingan dan hasrat. Tidak memihak berarti mampu melihat keseluruhan,
bagaimana semua perspektif dan kepentingan khusus dalam situasi moral yang ada
berhubungan satu sama lain dalam suatu cara bahwa, karena keberpihakkanya,
masing-masing perspektif tidak dapat melihat dirinya sendiri. Penalar moral
yang tidak berpihak karena berada di luar dari dan di atas situasi yang sedang
dipikirkannya, tanpa ada pertaruhan di dalamnya, atau dianggap menerima suatu
sikap kearah situasi yang seolah-olah ia telah berada di luar atau di atasnya’
(Yong 1987: 60). Akan tetapi, seseorang
dapat menerima klaim moral berkenaan dengan posisi asli sebagai mekanisme untuk
mempertimbangkan berbagai kepentingan orang yang jelas tanpa menerima cita-cita
epistemologis tentang mengatasi situasi.
(Sebaliknya, menolak cita-cita impersonalitas itu tidak
menjamin bahwa orang akan mengurus kepentingan orang lain).
[14] Menurut sejumlah komentator, kesulitan dalam mendamaikan kedua
etika itu tidak bersifat konseptual, namun bersifat perkembangan. Menurut
Gilligan, berbagai komponen perkembangan moral yang berbeda berakar pada
berbagai pengalaman masa kana-kanak yang berbeda secara mendasar—yaitu,
pengalaman anak tentang kepincangan/ketidakberdayaan menyebabkan pencarian demi
persamaan dan kebebasan; sementara pengalaman akan keterlekatan dan koneksi
yang dalam memunculkan rasa kasihan dan cinta (Gilligan 1987: 20). Jika
demikian, maka perbedaan dalam pengalaman bayi yang diasuh orang tua mungkin
mempengaruhi kemampuan mereka mempelajari berbagai komponen moralitas yang
berbeda (Flanagan dan Jackson 1987: 629).
[15] Akan tetapi, sebagian besar ahli teori keadilan mengakui kewajiban
kaum Samaritan yang Baik yang tidak berhubungan dengan ketidakfairan obyektif
(bab 2. catatan 9 di atas).
[16] Sejumlah komentator menyatakan bahwa Gilligan, dengan mengabaikan
masalah pertalian yang bersifat menindas, beresiko membahayakan ‘esensialisme
moral’. Ia ‘memisahkan kualitas
kepedulian dan pertalian dari konteks kepincangan dan penindasan-nya, dan
menuntut bahwa hal itu harus dipertimbangkan menurut kualitasnya sendiri,
sesuai dengan manfaat instrinsiknya’ (Houston 1988: 176). Sebagaimana Tronto
mencatat, ‘jika pemeliharaan jaringan pertalian merupakan permulaan premis
etika kepedulian, maka tidak banyak landasan untuk perenungan secara kritis
tentang apakah pertalian itu baik, sehat, atau berharga untuk dipertahankan’
(Tronto 1987: 660; bandingkan Wilson 1988: 17-18).
[17] Maka sangat menyesatkan untuk mengatakan bahwa Gilligan menyetujui
kepercayaan William bahwa imparsialitas adalah ‘terlalu menuntut’, atau
harapannya bahwa dengan menegaskan arti penting ‘sudut pandang personal’ kita
dapat membebaskan proyek-proyek pribadi dari rintangan-rintangan moralitas (contra Adler 1987: 226, 205; Kittay dan
Meyers 1987: 8). Sebagaimana Blum mencatat, ‘keprihatinan personal dilihat oleh
William ‘sebagai absah bukan terutama karena sudut pandang moralitas, tapi dari sudut pandang penalaran praktis yang lebih
luas. Sebaliknya Gilligan menyatakan… bahwa kepedulian dan tanggungjawab dalam
hubungan personal merupakan elemen penting moralitas sendiri, yang
sungguh-sungguh berbeda dari imparsialitas. Bagi Gilligan, setiap orang
tertanam di dalam suatu jaringan pertalian yang sedang berlangsung, dan
moralitas secara berarti jika tidak secara eksklusif mencakup perhatian
terhadap, atau pemahaman tentang, dan daya tanggap emosional kearah para individu dengan siapa seseorang
menggantikan pertalian ini…Pengertian Nagel dan William tentang domain personal
tidak menangkap atau meliputi (meskipun keduanya kadang menyatakan secara tidak
langsung sebagai bertujuan demikian) berbagai fenomena kepedulian dan
tanggungjawab dalam pertalian personal dan tidak menjelaskan mengapa kepedulian
dan tanggungjawab dalam pertalian merupakan fenemona moral yang distingtif’
(Blum 1988: 473). Blum menyimpulkan bahwa kritik Gilligan ‘berbeda
secara berarti’ dengan kritik William tentang imparsialitas, namun ‘tidak
bertentangan’ dengan imparsialitas (Blum 1988: 473). Tetapi ini
masih meremehkan masalahnya, karena William jelas ingin menekankan nilai non-moral dari poyek-proyek personal,
dan ingin mencegah moralitas untuk melindungi nilai-nilai non-moral ini.
Gilligan ingin menjadikan bermoral semua keterlekatan yang oleh William
dikatakan tidak memiliki arti penting moral.
[18] Argumen demi standar-standar publik juga relevan untuk demokrasi. Etika
kepedulian mengklaim bahwa masalah moral seharusnya dipecahkan, bukan dengan
mendambakan aturan-aturan atau prinsip-prinsip publik, tetapi dengan
mempraktekkan kepekaan moral oleh agen yang telah dewasa secara moral, memiliki
persamaan yang kuat dengan argumen kaum konservatif bahwa para pemimpin politik
tidak harus dituntut terlalu bertanggungjawab terhadap proses-proses demokratik
(misalnya Oakeshott 1984). Pemimipin politik yang bijaksana harus dipercaya,
alih-alih diamati dengan cermat, karena penalaran mereka seringkali tidak
terbuka dan tidak mungkin dinyatakan secara sistematis. Dalam hubungan dengan
aturan-aturan keadilan, kita mungkin menginginkan para pemimpin politik agar
menerapkan standard pembenaran publik yang jelas, bukan karena mereka lebih
obyektif, tetapi karena mereka lebih demokratis. See Dietz (1985) untuk kritik
tentang pemikiran keibuan yang mengabaikan nilai-nilai politik seperti
demokrasi.
[19] Teori-teori lain, seperti teori Rawls dan
Dworkin, mengakui bahwa kita mempunyai tanggungjawab terhadap orang lain yang
bergantung (bab 3 bagian 4b di atas). Tetapi mereka menulis seolah-olahh semua
kewajiban ini adalah masalah memastikan bahwa bagian sumberdaya yang adil
dialokasikan pada anak-anak dan orang yang lemah. Mereka tidak mendiskusikan
kewajiban kita untuk memperdulikan orang-orang yang bergantung (dependants).
[20] Misalnya, Leslie Wilson mengatakann bahwa
alasan mengapa ‘kedirian yang etis dari seseorang memerlukan sejenis otonomi
tertentu’ adalah karena memungkinkan kita ‘menjadi orang yang dapat
sungguh-sungguh menjadi kepedulian orang’. Maka, seseorang yang otonom yang
mempraktekkan otonominya ‘mencoba memutuskan cara-cara sehingga seseorang dapat
menjadi pemerduli individu yang lebih baik’ (Wilson 1988: 21-2). Sejalan dengan
ini, Ruddick mengatakan bahwa alasan mengapan cinta yang penuh perhatian
mensyaratkan ‘penjagaan diri yang realistik’, ketimbang ‘penyangkalan diri yang
kronis’, adalah bahwa kita dapat menjadi pemerduli individu dengan lebih baik
melalui cara ini (Ruddick 1984: 238). Demikianlah sebagian jarak dari gambaran
otonomi tradisional sebagai pengejaran proyek-proyek secara bebas yang penting untuk
seseorang karena alasannya sendiri, dan yang kadangkala bersaing demi waktu dan
energi dengan tanggungjawab moral seseorang.