Cerita Musim Hujan : “Tidur Siang”
Oleh : Moh Said
Matahari yang cerah menyinari kota Makassar, setelah sekian hari di
selimuti cuaca gelap, dingin serta hujan pembawah rahmat yang membasahi tiap
sudut kota ini. Sebagai seorang mahasiswa rantau yang hidup dengan beberapa
keterbatasan, pakaian kotorpun menumpuk hingga tak ada yang tersisa kecuali
yang aku kenakan hari ini. Cahaya matahari adalah sesuatu yang sangat berharga
untuk saat ini, tak akan ada pengusaha sukses di muka bumi ini yang mampu membayar
secerca cahaya matahari untuk menghangatkan kelembaban ini walaupun sedetik
saja. Sehingga cahaya matahari di hari ini membuat setiap orang tersenyum
bahagia memanfaatkan sinar yang penuh berkah itu.
Cerita ini aku memulainya di pagi hari ketika aku bangun dengan suasan
hati yang damai serta sambutan manis dari istriku yang masih dalam
angan-anganku. Yah, masih dalam angan-angan tapi yakin dan percaya suatu hari
nanti aku akan segera wujudkan angan-angan itu. pagi yang cerah ini ku sambut
dengan hati yang senang serta jiwa yang tenang
dengan mempersiapkan segala sesuatunya untuk siap bertempur melawan
kuman-kuman bandel yang berani menempel di pakaian kotor yang aku tumpuk mulai
beberapa hari yang lalu. Dengan bangganya aku menuntaskan pekerjaanku pagi ini,
dengan harapan indah yaitu mengenakan pakaian bersih nan wangi yang menurut
saya akan terlihat baru. Baru dalam artian baru di pakai, bukan baru di beli.
Tepat pukul 10.30 waktu Makassar, cucian melelahkan itu aku akhiri
sampai di tali jemuran samping asrama. Akupun melanjutkan aktivitas di dalam
kamar, seperti biasa aku menghabiskan waktuku untuk beada di hadapan laptop
merek hp yang selalu setia menemaniku menjelajahi dunia maya mencari apa saja
yang ingin aku kunjungi. Siang ini aku berkunjung Turkey melihat jejak-jejak
peninggalan islam di sana. Sekilas membaca sejarah Turki Utsmani, akupun
tertarik untuk menonton sebuah film fenomenal yang mengisahkan perjuangan
Sultan Muhammad Alfatih dalam penaklukan konstantinopel yang kebetulan beberapa
hari yang lalu aku copy dari salah satu teman asrama. Film berdurasi 2 jam 36
menit itu sebenarnya telah rilis dua tahun yang lalu, tapi entahlah mungkin aku
kurang update sehingga film keren itu
terlewatkan olehku.
Tepat satu jam aku duduk di hadapan laptop dengan tontonan yang penuh
pelajaran mengenai kepemimpinan, mulai dari ketegasan, keberanian, dan lain
sebagainya, tidak terasa suara muadzin dari masjid Nurul hasan terdengar merdu
hendak memangil semua umat islam yang berada di sekitaran masjid untuk melaksanakan
sholat dzuhur, masjid Nurul Hasan adalah salah satu majid terdekat dari asrama
tempat aku tinggal. Film itupun aku pause
sementara untuk menyegerakan diri mengambil air wudhu hendak memenuhi
panggilan mulia itu. Sembari berwudhu aku menyempatkan diri melihat kondisi
pakaian yang aku nanti-nantikan kelembutannya di saat kering, kebetulan jemuran
pakaian yang berada di asrama dekat dengan sumber air untuk berwudhu. Sesekali
aku menyentuh sehelai kain salah satu pakaian yang sedang dalam penjemurannya,
betapa bahagianya hati ini, sentuhan itu menghasilkan satu kesimpulan
istimewah, yaitu pakaianku yang berhari-hari tidak dapat aku kenakan, akhirnya
sebentar lagi aku akan mengenakannya kembali.
Pukul 13.00 aku kembali duduk di atas kursi empuk warna biru yang ada
dalam kamarku untuk melanjutkan film Al Fatih yang aku pause beberapa menit yang lalu. Setelah beberapa menit menyaksikan
film yang semakin seru, timbul satu masalah besar. Bagaimanapun hebatnya
seorang Al Fatih menyusun strateginya untuk menyerang konstantinopel, rasa
kantukpun tak mau kalah menyusun strateginya yang luar biasa untuk menyerang
kedua mataku, hanya bertahan 35 menit di hadapan laptop, hatiku mulai berperang
untuk menentukan sikap yang harus aku putuskan, berhenti menonton kemudian tidur, atau tetap menahan rasa kantuk dan
menyelesaikan tontonan yang penuh didikan itu. Akhirnya kubu positif kalah, dan
akupun memutuskan untuk menghentikan film tersebut dan membaringkan badan yang
cukup lelah ini pada kasur empuk yang berada tepat di samping meja tempat aku
melangsungkan aktivitasku bersama buku-buku dan laptop yang selalu terkoneksi
dengan internet. Yah tidur siang kali ini mungkin akan sedikit menyenangkan
karena bisa mengistirahatkan badan yang masih terasa pegal karena olahraga futsal
yang aku ikuti kemarin.
Pukul 16.23 aku terbangun dengan perasaan bangga atas kebugaran badan
ini, jika sebuah computer yang terlalu lama bekerja dan mulai “lolam” (loading lama), salah satu cara
mengatasinya adalah melakukan restart untuk memulihkan kembali
perangkat-perangkatnya yang mulai memanas karena bekerja terlalu lama,
demikianlah badanku, serasa seperti telah melakukan restart terhadap otot-otot yang mulai lemah karena bekerja terlalu
lama. Dan sekarang kembali bugar dan bisa bekerja dengan efektif. Tetapi betapa
hancur rasa di hati ketika menyaksikan kondisi lembab di luar jendela di tambah
gelap langit yang menghapus terang mentari. Akupun bergegas meninggalkan kasur
empuk milikku menuju tempat aku menjemur pakaian yang sangat aku rindukan kekeringannya.
Ingin rasanya meneteskan air mata menyaksikan pakaianku berserakan di permukaan
tanah dengan kondisi basah kuyup. Pikiran terasa menggila ingin mengangkat dan
menumpahkan isi perut bumi. Pupus sudah harapan itu, harapan indah yang
menghangatkan hati di tengah dinginnya musim hujan bak salju di kutub utara.
Berbagai macam alasan untuk menyalahkan diriku sendiri, tidur sianglah
yang jadi dalang utama dari kelalaian ini, sempat aku berpikir tidur siang hari
ini adalah yang terakhir kalinya aku lakukan seumur hidupuku, tetapi rasanya
sulit juga untuk meninggalkan aktifitas yang satu ini, sehingga pikiran itu
segera aku hilangkan. Akhirnya aku harus
mengurungkan niatku mengenakan pakaian bersih nan wangi, bersabar menanti
datangnya mentari adalah satu-satunya cara terbaik untuk mengakhiri kisah pahit
ini. Tinggallah aku dengan pakaian yang mulai kotor menyelimuti tubuhku.